Ramadhan Bersama Mujahid Palestina (Bagian Terakhir dari 3 Tulisan): ‘Saya Akan Buta, Maukah Jadi Istri Saya?’
22 July 2013, 10:07.
YOGYAKARTA, Ahad (SahabatAlAqsha.com): Laporan ini diterbitkan pertama kali tahun Ramadhan 1428 Hijriyah (2007) dengan dukungan Hidayatullah.com. Selamat menikmati kembali laporan relawan Sahabat Al-Aqsha ini, semoga menambah gairah iman kita di bulan berkah ini.
Sekeluarnya dari penjara tahun 1982, Abu Bakr sudah menjadi imam dan khatib di sebuah masjid di Khalil-Hebron. Nama masjidnya Al-Mughtaribin (orang-orang yang terusir) di kampung Karmah.
Ia merasa sudah waktunya untuk menikah. Kepada keluarganya ia maklumatkan syarat utama untuk menjadi istrinya, perempuan yang berhijab sesuai syari’ah dan rajin berpuasa Senin Kamis.
“Keluarga saya bilang, kamu nggak akan dapat perempuan seperti itu,” ujarnya. Namun pada bulan Pebruari 1983 ia mendapatkan perempuan itu lalu melamarnya. Abu Bakr tidak menyebutkan nama istrinya.
Sebelum melamar, Abu Bakr berterus terang kepada dambaan hatinya itu, bahwa penglihatannya lemah. Ia masih bisa melihat secara remang-remang tapi sudah tak bisa lagi menulis dan membaca. “Kalau ditangkap dan disiksa lagi mungkin saya akan buta sama sekali. Maukah jadi istri saya?”
Jawaban gadis itu sungguh di luar dugaan, “Semoga Allah membalas kamu dengan pahala yang banyak.” Lalu gadis itu mengutip surat al-Haj ayat 46, “Bukan mata yang buta tetapi Allah yang membutakan mata hati…”
Alhamdulillah, lamarannya diterima, tapi 4 bulan sesudah melamar, Abu Bakr ditangkap lagi. Namun dengan izin Allah mereka tetap bisa melangsungkan pernikahan pada tanggal 9 September 1983.
Pernikahan itu penuh keberkahan dan dikaruniai 5 anak laki-laki dan 3 anak perempuan, Abu Bakr bersyukur kepada Allah karena ia telah mengajarkan kepada mereka aqidah Islam yang benar, mengajari mereka menghafal Al-Quran hingga sekarang 4 orang anaknya yang pertama sudah menjadi hufazh al-Qur’an.
Kekuatan Ruhiyah
Melakukan perjalanan bersama Syeikh Abu Bakr di Indonesia (selama lebih dari sepuluh hari), memberi pelajaran luar biasa berharga. Bahwa ternyata, pekerjaan utama seorang mujahid bukanlah pertempuran-pertempuran dengan senjata.
Yang paling banyak menyita waktu seorang ‘alim mujahid seperti Abu Bakr adalah usaha terus menerus untuk taqarrub ila-Allah (menjaga kedekatan dengan Allah), dengan berbagai cara yang dicontohkan Panglima Mujahidin sepanjang zaman, Muhammad Shalallaahu ‘alaihi wa sallam.
“Tidak ada kemenangan sejati tanpa pertolongan Allah yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana,” katanya berbisik memetik ayat Al-Qur’an.
Malam pertama tiba di Jakarta, seorang kawan mentraktirnya makan di sebuah restoran. Sesudah makan Syeikh Abu Bakr mengajak kami shalat ‘Isya berjamaah di mushalla restoran yang mungil.
Perkiraan kami sesudah shalat sunnat ba’diyah, kita segera pulang karena malam sudah beranjak larut, dan tamu kita ini masih terlihat letih sesudah berjam-jam duduk di pesawat.
Di luar dugaan, beliau berdiri dan mengisyaratkan kami untuk melaksanakan shalat tarawih berjama’ah. Ayatnya lumayan panjang-panjang dan bacaannya menggetarkan dada. Bacaan al-Qur’an dengan lagu yang sederhana, tapi dengan tekanan-tekanan suara seseorang yang begitu akrab dengan Penciptanya.
Setuntas shalat tarawih dan witir 11 rakaat, barulah saya menyadari, dadanya basah oleh air mata yang menetes-netes dari jenggotnya. Subhanallaah.
Keesokan subuhnya, waktu sahur kami lagi-lagi disentakkan oleh usaha gigihnya untuk taqarrub ila-Allah. Seusai menyantap hidangan sahur, saya dan seorang kawan asyik ngobrol melepas rindu. Tiba-tiba Syeikh Abu Bakr bertanya, “Berapa menit lagi adzan subuh?” Kami jawab sekitar 5 menit lagi. Ia lalu mengingatkan bahwa ini waktu-waktu terbaik untuk memohon ampun kepada Allah. Seketika kami berhenti ngobrol dan ikut beristighfar.
Perjalanan di atas mobil selalu dilantuni oleh senandung ayat-ayat al-Quran dan doa-doa. Salah satu doa favoritnya, “Bismillahi nasiiru, wa bismillaahi nuqaatil, dengan nama Allah kami melakukan perjalanan dan dengan nama Allah kami berperang!”
Setiap kali naik pesawat, beliau melafalkan doa dengan suara yang cukup bisa didengar oleh para penumpang di sekitarnya. Seakan-akan mengajak semua orang untuk ingat bahwa hanya kepada Allah saja mereka seharusnya mempasrahkan nyawa dan keselamatannya. Beberapa kepala tak tahan menoleh, ingin melihat wajah orang yang membaca doa-doa safar dengan suara tegas itu.
Setiap kali naik pesawat juga, sejak lepas landas sampai menjelang mendarat lagi, waktu dihabiskannya untuk shalat dhuha.
Suatu malam, mobil yang kami kendarai terjebak macet hebat ala Jakarta. Hampir dua jam kami di atas kendaraan padahal baru membatalkan puasa hanya dengan segelas es buah di rumah Ustadz Arifin Ilham.
Seperti biasa Syeikh Abu Bakr tidak mengeluh sama sekali baik soal makanan, soal tempat tidur (selama lebih dari 10 hari perjalanan, hanya dua malam Syeikh Abu Bakr tidur di atas ranjang, sisanya di matras atau karpet sederhana), atau soal transportasi. Sedangkan kami, para pengantarnya, sudah gelisah setengah mati karena perut tamu pasti sudah keroncongan.
Satu-satunya yang membuat beliau gelisah adalah waktu ‘Isya yang sudah masuk.
Ketika akhirnya kami tiba di restoran yang cukup nyaman, kami cepat-cepat memesan makanan dan minuman. Namun beliau mengajak kami shalat dulu di mushalla restoran. Kami para pengantarnya sudah saling senyum, membayangkan kejadian berikutnya. Ternyata benar dugaan kami, sesudah shalat ‘Isya, kami langsung diajaknya shalat tarawih dan witir. Peduli amat dengan perut yang sudah keroncongan dan hidangan lezat yang sudah terhidang di meja. Allah nomor satu! Mantaaap!
Di sela shalat-shalat, tilawah al-Qur’an dan doa-doa yang banyak itulah saya sempat memancing cerita-ceritanya yang luar biasa tentang keberhasilan demi keberhasilan pasukan mujahidin merebut Gaza, mengusir Israel dan kaum munafiqin yang bersekongkol dengannya, dan tentang keyakinannya bahwa Masjidil Aqsa akan dibebaskan dalam waktu tidak lama lagi.
Dalam taushiyahnya di berbagai tempat di Indonesia, Syeikh Abu Bakr Al-‘Awawidah mengharapkan saudara-saudaranya untuk ikut berjihad membebaskan Masjidil Aqsa yang masih terjajah.
“Kalau tak bisa berjihad dengan diri kalian, dengan harta kalian. Kalau tak bisa dengan harta kalian, dengan doa-doa kalian sehabis shalat tahajjud dan shalat fardhu. Kalau tak bisa dengan doa-doa, dengan mendidik anak-anak kalian menjadi generasi Al-Quran dan As-Sunnah yang akan ikut berjihad membebaskan negeri-negeri Muslim yang terjajah, terutama Masjidil Aqsa dan Palestina dari Zionis Israel.”
Sementara menunggu kita di Indonesia ikut bergabung dalam kafilah itu, kata beliau, kami bangsa Palestina akan terus bersabar dan bertahan di jalan jihad.* (tamat) (Sahabat Al-Aqsha)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.