“Anak Saya Tak Mungkin Menikam Siapapun”
23 August 2015, 21:47.
JENIN, Ahad (Middle East Eye): Mahmoud Amsha Atrash dan saudara kembarnya Mohammed Amsha Atrash sedang membangun sebuah rumah bersama-sama. Mereka berencana melakukan pernikahan bersama-sama dan pindah ke rumah yang baru mereka bangun pada hari yang sama. Mahmoud dan Mohammed dilahirkan hanya berjarak beberapa detik di sebuah rumah sakit kecil di Jenin, sebuah kota di utara Tepi Barat terjajah. Keduanya dibesarkan di desa Kufr Rai. Mereka selalu bersama-sama, tak pernah terpisah.
Mahmoud masih merasakan kesedihan mendalam akibat kehilangan saudara kembarnya. Pasukan Zionis menembak mati Mohammed (24) pada 17 Agustus lalu di pos pemeriksaan di kawasan Nablus. Penjajah Zionis mengatakan bahwa Mohammed meminta air minum kepada serdadu Zionis di pos pemeriksaan, kemudian menyerang dan menikam seorang serdadu dengan pisau. Barulah kemudian pasukan Zionis melepaskan tembakan. Begitulah cerita versi penjajah Zionis.
Mohammed ditembak enam kali dan tewas di tempat kejadian. Ia merupakan warga Palestina ke-25 yang dibunuh pasukan Zionis sejak awal 2015. Mahmoud dan keluarganya menolak dengan keras pernyataan penjajah Zionis itu. “Pertama, Mohammed tidak membawa pisau. Saya akan tahu jika ia membawa pisau dan Mohammed tidak membawanya,” tegas Mahmoud.
“Ke dua, kami berada di bawah penjajahan selama 67 tahun. Kami bukan keluarga politik, tapi Mohammed pemuda yang sehat, dan saya tidak tahu (jika) ada warga Palestina yang akan meminta air minum pada serdadu Zionis kecuali ia sekarat. Ke tiga, mencoba menikam serdadu di pos pemeriksaan merupakan misi bunuh diri, dan Mohammed bukan tipe orang seperti itu.”
Mahmoud menceritakan kembali kenangan-kenangan bersama saudaranya, Mohammed. Keluarga dan teman-temannya menggambarkan Mohammed sebagai orang yang lucu. Saat Mahmoud masih kecil, ia dan Mohammed bolos sekolah untuk berburu burung-burung kecil di gunung. Kata Mahmoud, ia merindukan masa-masa itu lebih dari yang bisa ia ungkapkan. Masih terpancar kesedihan mendalam di raut wajahnya, meski tanpa mencucurkan airmata.
“Mohammed selalu lebih baik dari saya dalam hal berburu,” rona kesedihannya tiba-tiba sirna, Mahmoud tersenyum saat menceritakan kenangannya bersama Mohammed. “Ia selalu lebih baik dalam segala hal. Ia mungkin hanya terlahir berjarak beberapa detik dari saya, tapi dialah yang tertua, itu sangat jelas bagi semua orang.” Sang ayah, Besham, yang sedang duduk di samping Mahmoud mengatakan, Mohammed selalu membela saudaranya.
“Kalau Mahmoud melakukan kesalahan, Mohammed akan bersikeras ia yang melakukannya dan menerima hukuman,” kata Besham sambil tersenyum. Mohammed keluar dari sekolah saat berusia 15 dan mulai melakoni pekerjaan tidak tetap untuk membantu ayahnya –yang memiliki masalah jantung– menafkahi keluarga mereka.
Akhirnya, Mohammed belajar melukis dan menjadi ahli di bidang tersebut. Desain unik langit-langit di ruang tamu rumah keluarganya dilukis oleh Mohammed, kata Masada, kakak Mohammed. Masada sedang berada di Universitas Terbuka Al-Quds saat menerima telepon yang mengabarkan bahwa Mohammed tewas terbunuh.
“Mohammed-lah yang membayar uang kuliah saya,” kata Masada terbata-bata menahan tangis. “Ia tidak lulus sekolah, tapi ia bersikeras agar saya bisa lulus kuliah. Saya memiliki ijazah di bidang pendidikan anak usia dini karena dia dan saya bekerja. Akan tetapi, Mohammed bersikeras bahwa saya juga harus kuliah,” katanya.
Masada tak dapat membayangkan hidup tanpa Mohammed. Mohammed adalah kebahagiaannya. Tak ada kondisi, seserius apapun itu, yang Mohammed tak bisa mengatasinya. Masada mengatakan, ia akan kuliah dan meraih gelar sarjananya. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi demi Mohammed.
Ibunda Mohammed, Rabia, duduk di sebelah Masada di ruang tamu keluarganya yang kecil. Keduanya memakai pakaian serba hitam dan berusaha keras menahan air mata mereka.
‘Saya Mengenal Anak Saya’
Rabia syok mengetahui Mohammed tewas dibunuh serdadu Zionis. Menurut Rabia, Mohammed tidak pernah terlibat politik, ia selalu menomorsatukan pekerjaan dan keluarga di atas apapun. “Sejak masih remaja, Mohammed sudah bekerja. Bekerja adalah hidupnya. Bahkan ketika ia dibunuh, ia baru pulang dari bekerja di Ramallah. Dan ia berencana kembali ke Ramallah untuk bekerja,” kata Rabia.
Saat mendengar kabar bahwa ada seorang pemuda terbunuh di Nablus, mereka tidak menjelaskan nama pemuda tersebut karena ia tidak memiliki kartu identitas. Kata Rabia, kartu identitas Mohammed tertinggal di rumah. Karena itulah, ia kembali ke Kufr Rai. Para saksi mata di tempat kejadian mengatakan pada keluarga Mohammed bahwa ia diminta keluar dari mobil karena tak memegang kartu identitas.
Seluruh anggota keluarga Mohammed bersikeras bahwa pernyataan Zionis di balik kematian Mohammed bahwa ia menikam serdadu Zionis, tidak benar sama sekali. Mereka yakin “cerita” itu tipu daya untuk melindungi para penembak. Itu terkait dengan perubahan terbaru peraturan militer Zionis.
Sepekan sebelum kematian Mohammed, media Ibrani menduga perubahan dalam kebijakan pasukan Zionis berkaitan dengan interaksi antara para serdadu di Tepi Barat dan warga Palestina. Perubahan peraturan militer yang dimaksudkan adalah ketetapan bahwa pasukan Zionis tidak boleh menembak warga Palestina, kecuali tersangka melakukan tindakan yang membahayakan jiwa serdadu Zionis.
Sebelumnya, pasukan Zionis diizinkan untuk menembak tersangka bahkan saat nyawa mereka tak terancam, asalkan mereka terlebih dulu melepaskan tembakan peringatan ke udara.
Keluarga Mohammed menegaskan bahwa setelah adanya perubahan tersebut, empat pria termasuk Mohammed ditembak oleh pasukan Zionis di pos pemeriksaan karena dituduh menyerang dengan pisau.
Mereka yakin saat Zionis mengatakan Mohammed berupaya menikam seorang serdadu, itu hanya dalih untuk membenarkan kematiannya. “Saya mengenal anak saya, saya ibunya,” kata Rabia sambil menangis. “Tak sedikit pun tebersit dalam benak saya bahwa Mohammed menikam seseorang, serdadu, apalagi mereka yang bukan serdadu.” *(Middle East Eye | Sahabat Al-Aqsha)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.