Laporan Langsung Relawan Sahabat Al-Aqsha dari Pengadilan Tinggi Istanbul: ‘Alhamdulillah, Kasus Mavi Marmara Tak Jadi Ditutup’

20 October 2016, 05:53.

diadili

ISTANBUL, Kamis (Sahabat Al-Aqsha): Kabar angin tentang ditutupnya kasus Mavi Marmara itu berhenti seketika kemarin pagi (19 Oktober 2016) di “Ruang Sidang Kejahatan Berat” (Agir Ceza Mahkemesi Durusma Salonu) Gedung Pengadilan Tinggi Istanbul. Takbir diteriakkan berkali-kali di ruang berkapasitas 250-an orang yang membludak itu.

Tiga hakim laki-laki bertoga hitam, berkerah merah, segera meninggalkan ruangan setelah mengumumkan, “Sidang kasus Mavi Marmara akan dilanjutkan pada jam 10 pagi tanggal 2 Desember 2016.” Sebuah usaha untuk menghentikan proses hukum yang mungkin akan menyeret jenderal-jenderal Zionis Israel ke penjara, berhasil digagalkan.

Bagi keluarga Syuhada dan para relawan, ini kabar gembira yang berlawanan dengan kabar angin yang berembus kuat sejak beberapa minggu terakhir, bahwa kasus ini akan ditutup.

Alasan utama kabar angin itu ialah terjadinya normalisasi hubungan antara Turki dan Israel, serta telah dibayarkannya US$ 20 juta dolar uang kompensasi untuk keluarga Syuhada oleh pemerintah Zionis Israel kepada pemerintah Turki.

Mavi Marmara salah satu dari enam kapal kemanusiaan yang pada tanggal 31 Mei 2010 membawa lebih dari 600 relawan dari 32 negara, berusaha menembus pengepungan Zionis Israel atas Jalur Gaza, membawa sekitar 10 ribu ton bantuan.

Di perairan internasional di Laut Mediterania, Mavi Marmara dan lima kapal lain yang menamakan diri Freedom Flotilla (Armada Kemerdekaan) diserang, ditembaki, dan dibajak oleh segerombolan Zionis Israel bersenjata. Sepuluh orang relawan tewas akibat serangan itu, lebih dari 150 orang lainnya luka-luka.

Sejak itu hubungan Turki-Israel memburuk. Kedua negara saling menarik duta besarnya. Sudah 13 kali pengadilan digelar di Istanbul, demi menyeret empat orang jenderal Zionis Israel yang terlibat penyerangan itu ke penjara. Pengadilan-pengadilan juga digelar di beberapa negara yang relawannya ikut diserang dan disekap di Mavi Marmara, seperti Afrika Selatan, Spanyol dan Yunani.

Akibat proses hukum yang dilakukan itu, INTERPOL telah mengeluarkan surat perintah penangkapan empat jenderal penjajah Zionis Israel: yaitu Raul Gabiel Ashkenazi, Kepala Angkatan Bersenjata Zionis Israel waktu kejadian Mavi Marmara; Eliezer Alfred Maron, Panglima Angkatan Laut Zionis Israel; Avishay Levi, Kepala Intelijen Angkatan Udara; dan Amos Yadlin, Kepala Intelijen Zionis Israel.

Perdana Menteri Turki yang sekarang menjabat Presiden Recep Tayyip Erdogan, memberi syarat berat kepada Israel jika hubungan diperbaiki: diantaranya bebaskan Jalur Gaza dari kepungan.

Namun, lima tahun yang penuh ketegangan itu tiba-tiba mencair saat pemerintah Turki memutuskan untuk menerima permintaan maaf Perdana Menteri Zionis Israel Benyamin Netanyahu, serta uang kompensasinya. “Tetapi kami tidak bisa memaksa para keluarga Syuhada untuk menerima uang itu,” tegas Presiden Erdogan suatu ketika.

“Sampai hari ini, pemerintah Turki belum melakukan apapun terhadap uang itu, dan seluruh keluarga Syuhada Mavi Marmara menyatakan menolak uang itu,” jelas Gulden Sonmez, ketua tim pengacara IHH organisasi kemanusiaan yang memberangkatkan kapal Mavi Marmara.

Foto: Mavi Marmara, Mei 2010 | Sahabat Al-Aqsha

Foto: Mavi Marmara, Mei 2010 | Sahabat Al-Aqsha

Dramatis

Sejak tengah malam sebelum sidang, suasana tegang tapi penuh semangat sudah terasa. Terutama saat Gulden Sonmez, Muslimah berjilbab ketua tim pengacara IHH menjelaskan kepada para relawan internasional yang hadir siap menjadi saksi korban, “Pada sidang besok pagi, kemungkinan hakim akan membacakan keputusan, karena lemahnya bukti dan kurangnya kehadiran saksi, kasus Mavi Marmara akan ditutup.”

Sekitar 50-an relawan berbagai negara yang hadir langsung ribut. Mereka datang dari Inggris, Yordania, Aljazair, Maroko, Indonesia, Afrika Selatan, Yunani, Ceko, Swedia, Bosnia-Herzegovina dan lain-lain.

Seorang relawan dari Yordania berdiri dan berteriak emosional, “Ini saya bersama Ismail Nasywan, 87 tahun, kemarin dia berangkat kesini meninggalkan adik perempuannya yang sekarat. Hari ini adiknya meninggal dunia. Syaikh Ismail tetap bertahan di sini, karena yakin urusan Mavi Marmara dan Gaza ini lebih penting daripada urusan duka cita pribadinya!” Ismail Nasywan adalah relawan tertua di Mavi Marmara.

Pagi hari sejak dua bus yang membawa rombongan relawan internasional tiba di Gedung Pengadilan Tinggi Istanbul, suasana sudah menegang meski tetap tenang. Antrean pemeriksaan x-ray dan pemindai metal di pintu utama memanjang meski tetap lancar. Nama resmi gedung berlantai sepuluh ini “Istanbul Çaglayan Adalet Sarayi” (Istana Keadilan Çaglayan Istanbul). Lobi raksasanya dihiasi dua patung perunggu perempuan berpenutup mata, menghunus pedang dan timbangan. Dari lobi raksasa itu para relawan diarahkan naik ke lantai dua.

Di lantai dua, di depan pintu koridor menuju ruang-ruang sidang di sayap kanan, kerumunan orang semakin meramai. Keluarga Syuhada Mavi Marmara, relawan Turki, relawan internasional, mahasiswa-mahasiswa hukum dari berbagai universitas, pelajar dan puluhan simpatisan, semua ingin masuk. Tiga orang petugas keamanan di pintu koridor itu terlihat agak tegang.

Setelah setengah jam, keluarga Syuhada dan relawan internasional, termasuk Sahabat Al-Aqsha dipersilakan masuk. Di sebuah lobi kecil di depan ruang sidang, Allah pertemukan kawan-kawan lama di Mavi Marmara.

Fehmi Bülent Yildirim, Presiden IHH, organisasi kemanusiaan terbesar di Turki yang menyelenggarakan Fredom Flotilla, memeluk hangat relawan Sahabat Al-Aqsha dan relawan lainnya. Diciumnya dalam-dalam tangan Ismail Nasywan yang berkafiyeh Palestina.

Sahabat Al-Aqsha juga Allah pertemukan dengan janda serta ibu para Syuhada Mavi Marmara, seraya memanjatkan doa dan menyampaikan salam dari rakyat Indonesia. Sekitar 15 menit kemudian “Ruang Sidang Kejahatan Berat” dibuka dan semua dipersilakan masuk. Ruangan langsung penuh sesak. Hampir separuh hadirin terpaksa berdiri.

Suasana sebelum dimulainya sidang ke-13 kasus penyerangan Zionis Israel atas kapal kemanusiaan Mavi Marmara 31 Mei 2010. Foto: Sahabat Al-Aqsha

Suasana sebelum dimulainya sidang ke-13 kasus penyerangan Zionis Israel atas kapal kemanusiaan Mavi Marmara 31 Mei 2010. Foto: Sahabat Al-Aqsha

Ganti Hakim

Tim Pengacara Mavi Marmara, yang didampingi tim pengacara internasional, langsung mencecar majelis hakim, “Atas nama hukum, kami meminta kepada Pengadilan Tinggi Istanbul dan Mahkamah Agung Turki agar majelis hakim kasus Mavi Marmara diganti seluruhnya karena ‘sudah tidak bisa dipercaya’.”

Hakim ketua, seorang pria berambut hitam tebal, mengenakan toga hitam berkerah merah menjawab, “Apakah permintaan ini merupakan permintaan para saksi korban? Siapa saja diantara saksi korban yang hadir di sini?”

Mendadak puluhan relawan Turki angkat tangan dan meneriakkan satu per satu namanya, dan dicatat oleh panitera. Puluhan relawan internasional ikut berdiri mengangkat tangan. Namun, karena banyak nama asing yang susah didiktekan, maka nama-nama itu ditulis di kertas-kertas dan disampaikan ke meja hakim.

Terhitung lebih dari 26 orang pengacara Turki yang hadir, ditambah beberapa pengacara dari negara lain yang sebagian mengenakan toganya.

“Ruang Sidang Kejahatan Berat” itu sekaligus jadi ajang reuni ratusan relawan Mavi Marmara. Senyum hangat, pelukan dan salam terdengar hampir tanpa henti sambil sesekali perhatian tertuju ke majelis hakim.

Para petugas keamanan kewalahan melarang hadirin untuk mengambil gambar. Para relawan dari Yordania malah dengan santainya selfie di depan para hakim dan pengacara.

Kapten kapal Mavi Marmara, Mahmut Tural hadir dan nampak semakin gagah. Pria ini, lima tahun yang lalu, dengan gagah berani menakhodai kapalnya menuju kepungan Zionis Israel. Ia baru berhenti setelah anjungan kapalnya ditembaki serdadu Zionis, anak buahnya serta puluhan relawan ditembaki, dan kepalanya ditodong senjata api.

Hassan, montir kamar mesin kapal bersejarah itu juga hadir. Dengan riang dan bersemangat ia menyapa Sahabat Al-Aqsha. Pelaut tangguh ini beberapa kali berlayar sampai ke Dumai, Belawan dan Jakarta.

Saliha Yaldiz, ibu dari Syahid Fahri Yaldiz tak mampu menahan tangis selama mengikuti sidang. Istri para Syuhada lain seperti Ibrahim Bilgen, Cevdet Kiliclar, dan Prof Ahmet Dogan ayah dari Syahid termuda Furkan Dogan juga hadir.

“Karena kita harus menunggu keputusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung tentang penggantian majelis hakim, maka sidang ditunda dan akan dilanjutkan pada bulan Desember 2016,” demikian kata Hakim Ketua.

Gulden Sonmez menyela, “Kami minta waktunya ditentukan secara pasti, karena relawan internasional sudah jauh-jauh datang hari ini tapi sidang ditunda lagi.”

Setelah terjadi debat yang cukup hangat akhirnya majelis hakim mengalah, “Sidang ditunda dan akan dilanjutkan pada jam 10 pagi tanggal 2 Desember 2016.”

Seketika seorang relawan Turki berteriak, “Takbir!”

Allahu Akbar wa lillaahil Hamd, membahana.

Saat bertemu dengan salah seorang relawati Sahabat Al-Aqsha, Gulden Sonmez pengacara Muslimah itu berhenti dan menyapa, “Sister, good?” Wajahnya nampak sangat puas dengan hasil sidang hari ini.

Di luar gedung Pengadilan Tinggi Istanbul, ratusan pengunjuk rasa sudah menunggu. Sebuah nasyid Jihad diperdengarkan lewat pengeras suara. Lalu pidato demi pidato. Lalu hari ini harus ditutup dengan istighfar, dengan alhamdulillah, dengan permohonan akan bimbingan Allah.

Bagi Sahabat Al-Aqsha, tiada jalan untuk membebaskan Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsha selain jalan yang telah ditempuh Rasulullah Shallallaahu ‘alayhi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar bin Khattab, dan Shalahuddin Al-Ayyubi.* (Sahabat Al-Aqsha)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina - Mendobrak Tembok Gaza - Pilihan Redaksi

« ‘Mayoritas Anak-anak Palestina di Tahanan ‘Israel’ Disiksa’
Empat Pengungsi Palestina, Termasuk Bayi Tewas Dibom di Suriah »