‘Mereka Mengancam Akan Membunuh Kami Jika Tidak Tinggalkan India’

25 January 2019, 22:10.
Hossain menetap di kota Hyderabad, India, pada tahun 2014 sebelum terpaksa pindah ke Bangladesh. Foto: Abdul Aziz/Al Jazeera

Hossain menetap di kota Hyderabad, India, pada tahun 2014 sebelum terpaksa pindah ke Bangladesh. Foto: Abdul Aziz/Al Jazeera

COX’S BAZAR, Jum’at (Al Jazeera): Oktober lalu, Zakir Hossain sedang memotong rambut di sebuah salon di kota Hyderabad, India selatan, ketika TV di dalam salon itu menayangkan laporan tentang India yang mendeportasi tujuh pengungsi Rohingya ke Myanmar.

“Kemungkinan dideportasi ke Myanmar sungguh mengerikan,” kata Hossain, pria 25 tahun, yang bersama keluarganya telah melakukan perjalanan melelahkan ke Hyderabad dari negara bagian Rakhine, Myanmar, yang sedang bergejolak pada 2014.

Setelah terjadi pembantaian yang dimulai pada 2012, puluhan ribu warga Rohingya meninggalkan desa-desa mereka, melarikan diri dari gerombolan kaum Budha yang dibantu oleh militer Myanmar.

Rohingya yang mayoritas Muslim itu dipaksa tinggal di kamp-kamp kumuh, yang telah disamakan dengan kamp-kamp konsentrasi, dengan pembatasan ketat pada pergerakan mereka.

Sejak saat itu, lebih dari satu juta warga Rohingya telah meninggalkan Myanmar, melakukan perjalanan putus asa melewati laut dan darat demi keamanan, serta masa depan yang lebih baik.

Diperkirakan 40.000 warga Rohingya telah menetap di India. Badan pengungsi PBB, UNHCR, mengatakan sekitar 18.000 dari mereka terdaftar sebagai pengungsi dan pencari suaka.

Hossain adalah salah seorang di antara mereka. Ia memasuki Bangladesh dan kemudian melintasi perbatasan lain beberapa hari kemudian untuk sampai ke India.

“Kehidupan di dalam kamp pengungsi di Balapur, Hyderabad, tidak buruk. Setelah apa yang kami saksikan dan derita di Rakhine, kota itu jelas merupakan pilihan yang lebih baik,” kata Hossain.

Akan tetapi, kenikmatan merasa aman di India tidak bertahan lama bagi Hossain.

“Sejak April tahun lalu, polisi India mulai mengunjungi kamp kami secara teratur, meminta kami mengisi formulir dan memberikan data biometrik kami. Berita tersebar di seluruh kamp bahwa kami akan dideportasi kembali ke Myanmar,” ujarnya kepada Al Jazeera.

Kepanikan bermula pada 4 Oktober ketika India mendeportasi tujuh warga Rohingya, yang berada di penjara di negara bagian Assam sejak 2012 karena memasuki negara itu tanpa dokumen resmi.

Kelompok-kelompok HAM mengecam India yang menyerahkan warga Rohingya kepada pemerintah Myanmar karena melanggar prinsip non-refoulement – yang melarang negara-negara mendeportasi seorang pengungsi atau pencari suaka ke wilayah-wilayah di mana kehidupan dan kebebasannya dapat terancam.

Militer Myanmar dituduh melakukan “pembersihan etnis” dalam operasi militer mereka yang melibatkan pembunuhan massal, pemerkosaan berkelompok dan pembakaran terhadap warga Rohingya. Dalam beberapa bulan serangan militer brutal yang diluncurkan pada Agustus 2017, lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri ke negara jiran, Bangladesh.

Pemerintah Myanmar membantah tuduhan itu, namun kelompok-kelompok HAM mengatakan negara itu terus melanjutkan kebijakan diskriminatif terhadap warga Rohingya –yang dicabut kewarganegaraan mereka pada tahun 1982.

Menurut PBB, Rohingya saat ini adalah komunitas yang paling teraniaya di dunia.

Eksodus dari India

Hossain mengatakan dia mengumpulkan keluarganya, termasuk ibu dan saudara lelakinya, kemudian memutuskan untuk kembali ke Bangladesh sebelum “keadaan menjadi lebih buruk” di India.

Hossain butuh waktu selama tiga bulan untuk menemukan cara sampai ke Bangladesh. “Di perbatasan, Pasukan Keamanan Perbatasan India menahan saya dan ibu saya selama sehari, tapi kemudian mengizinkan kami menyeberangi perbatasan,” ujarnya.

Penjaga Perbatasan Bangladesh, kata Hossain, menyerahkan mereka kepada polisi yang kemudian mengirim mereka ke kamp transit di distrik Cox’s Bazar, tempat lebih dari satu juta pengungsi Rohingya berlindung di kamp-kamp yang luas.

Sejak awal tahun ini, setidaknya 1.300 warga Rohingya seperti Hossain telah menyeberang ke Bangladesh dari India.

Pekan ini, sekitar 61 warga Rohingya ditangkap oleh polisi India. Pada Selasa, 31 dari mereka, terjebak di “tanah tak bertuan” antara India dan Bangladesh, ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Tahun lalu, pemerintah India memerintahkan semua negara bagiannya mengidentifikasi dan mendeportasi warga Rohingya, dengan menyatakan mereka “sangat rentan direkrut oleh organisasi teroris”.

Maryam Khatun (55), ibunda Hossain, merasa lega. “Sejak tahun lalu, kami telah hidup di tengah ketegangan karena ancaman terus menerus dari polisi lokal di sana.”

Khatun mengatakan tidak ada gunanya kembali ke Myanmar. “Kami telah meninggalkan tempat itu sejak lama. Tidak ada apa pun di sana untuk kami.”

Faies Ahmed (75), meninggalkan India pada 7 Januari setelah tinggal di sebuah kamp di kota Jammu, India utara.

“Bangladesh sepertinya tempat teraman bagi kami sekarang. Kami memiliki banyak kerabat di sini di berbagai kamp,” kata Ahmed, yang sekarang tinggal di kamp transit di Cox’s Bazar.

“Saya tinggal di kamp pengungsi di sana (Jammu) selama enam tahun. Akan tetapi, keadaan berubah tahun lalu ketika polisi mulai mengunjungi kamp kami. Mereka meminta kami memberikan informasi pribadi kami.”

Ia menambahkan bahwa situasi di sana berubah menjadi sangat bermusuhan. “Para pemimpin Hindu setempat mulai mengancam kami. Mereka mengatakan akan membunuh kami jika kami tidak meninggalkan India.”

Di sebuah kamp Rohingya di ibukota India, New Delhi, rasa takut itu begitu nyata. Mohammad Salimullah mengelola sebuah toko kelontong kecil di kamp yang terletak di daerah Kalindi Kunj. Ia mengatakan, polisi Delhi meminta para pengungsi untuk menyerahkan formulir “data pribadi” enam halaman beberapa bulan lalu.

“Warga kami takut bahwa otoritas di sini mungkin mendeportasi kami kembali ke Myanmar, seperti yang mereka lakukan pada beberapa warga Rohingya di Assam dan Manipur,” kata Salimullah.

Salimullah mengatakan, segalanya lebih baik ketika ia tiba di India pada 2012.

“Selama tahun-tahun awal, kami mendapatkan pekerjaan di sini. Anak-anak kami bisa bersekolah dan hanya satu dokumen –kartu pengungsi– yang diperlukan untuk verifikasi.”

“Sekarang, anak-anak kami tidak bisa bersekolah karena semua lembaga pendidikan meminta kartu Aadhaar (kartu identitas nasional untuk warga negara India) dan kami tidak memilikinya,” kata Salimullah.

“Kami tidak menyalahkan India atau Bangladesh atas apa pun. Ini adalah takdir kami.”

Aktivis Zakat Foundation yang berbasis di New Delhi, Zafar Mahmood, menyatakan organisasinya berusaha membantu warga Rohingya, tapi otoritas India memasang penghalang jalan.

“Zakat Foundation siap membangun pemondokan di tanahnya sendiri untuk warga Rohingya, namun pemerintah tidak mengizinkan pembangunan itu,” kata Mahmood kepada Al Jazeera.

Ia menyalahkan “politik anti-Muslim” pemerintah nasionalis Hindu yang kini berkuasa atas permusuhan terhadap Rohingya.

Meenakshi Ganguly, direktur Human Rights Watch di Asia Selatan, mengkritik India karena sikapnya yang “sangat tidak berperasaan” terhadap warga Rohingya.

“Dunia sadar akan kesimpulan PBB bahwa militer Myanmar bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan terhadap warga Rohingya,” ujar Ganguly kepada Al Jazeera.

“India tidak hanya gagal mengutuk kekejaman dan menyerukan Myanmar untuk menjamin keadilan, malah beberapa pengungsi Rohingya telah dikirim kembali ke otoritas yang sama yang memaksa mereka untuk pergi.”

Ganguly mengatakan, “India harus melindungi para pengungsi dan menyediakan akses yang layak bagi UNHCR.”

Akan tetapi, juru bicara Partai Bharatiya Janata yang berkuasa di India, Nalin Kohli, mengesampingkan status pengungsi bagi Rohingya, dengan mengatakan bahwa New Delhi bukan penanda tangan protokol internasional.

“Kami tidak ingin beropini apakah Myanmar aman untuk Rohingya atau tidak. Pemerintah Myanmar mengatakan mereka bersedia mengambil mereka kembali,” katanya.

Kohli menegaskan kembali pendirian pemerintah India bahwa Rohingya adalah “ancaman keamanan yang besar”.

‘Kami tidak akan mengusir mereka’

Abul Kalam, Komisaris Pengungsi, Bantuan dan Repatriasi di Bangladesh, membenarkan kedatangan warga Rohingya di negaranya. “Para pengungsi Rohingya dari India memasuki Bangladesh setiap hari sejak awal tahun ini,” katanya.

“Sampai sekarang, jumlahnya sudah melampaui 1.300,” urai Kalam, “Dan banyak lagi yang akan datang.”

Kalam, yang bertanggung jawab atas semua kamp pengungsi, menyatakan warga Rohingya dari India telah berada di kamp transit di Ukhia dekat perbatasan Myanmar.

“Kamp ini dikelola oleh Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Mereka menyediakan makanan, tempat tinggal, dan perlindungan untuk mereka.”

Juru bicara UNHCR Firas al-Khateeb mengatakan pada Al Jazeera bahwa warga Rohingya yang tiba dari India “diberikan layanan di pusat transit”.

Ketika ditanya apa rencana pemerintah Bangladesh untuk para pengungsi baru dari India, Kalam berkata, “Kami telah memberi tempat perlindungan kepada lebih dari satu juta pengungsi Rohingya dari Myanmar. Jadi, saya dapat meyakinkan Anda bahwa kami tidak akan mengusir mereka.”

Akan tetapi, Kalam menyatakan pemerintah Bangladesh mungkin akan membicarakan masalah ini dengan India. “Ini bukan terserah saya. Ini keputusan yang harus diambil di tingkat tertinggi.”

Seorang pejabat di Kementerian Luar Negeri Bangladesh mengatakan bahwa Menteri Luar Negeri Bangladesh yang baru diangkat AK Abdul Momen akan segera mengunjungi India, di mana ia kemungkinan akan membahas krisis pengungsi.

Sementara itu, di kamp pengungsi Rohingya di New Delhi, Sanjeeda Begum (25) khawatir ia mungkin akan dideportasi ke Myanmar.

“Semua orang mengetahui situasi di Myanmar. Kami tidak ingin pergi ke sana dalam keadaan saat ini,” ungkap ibu dua putri itu.

“Lebih baik mati di sini di India daripada kembali ke Burma (Myanmar) tanpa hak atau jaminan atas hidup,” tegas Begum* (Al Jazeera | Sahabat Al-Aqsha)

Faies Ahmed meninggalkan India pada 7 Januari setelah tinggal di sebuah kamp di kota Jammu selama enam tahun. Foto: Abdul Aziz/Al Jazeera

Faies Ahmed meninggalkan India pada 7 Januari setelah tinggal di sebuah kamp di kota Jammu selama enam tahun. Foto: Abdul Aziz/Al Jazeera

Zafar Mahmood dari Zakat Foundation di kamp Kalindi Kunj di New Delhi. Foto: Bilal Kuchay/Al Jazeera

Zafar Mahmood dari Zakat Foundation di kamp Kalindi Kunj di New Delhi. Foto: Bilal Kuchay/Al Jazeera

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Penjajah Zionis Tak Takut Bohong, Bunuhi Warga Palestina Karena Kebal Hukum
Dokter Kesulitan Perbaiki Tulang Demonstran yang Hancur Akibat Peluru Penjajah Zionis di Gaza »