Pengungsi Rohingya Keluhkan Perlakuan Buruk Otoritas Bangladesh

5 November 2019, 19:46.
Konflik antara warga asli Cox’s Bazar dengan pengungsi Rohingya sering berakhir dengan dibakarnya toko-toko milik pengungsi. Foto: The Guardian

Konflik antara warga asli Cox’s Bazar dengan pengungsi Rohingya sering berakhir dengan dibakarnya toko-toko milik pengungsi. Foto: The Guardian

COX’S BAZAR, Selasa (Rohingya Vision | The Guardian): Sejumlah Muslim Rohingya di kamp-kamp pengungsian di Cox’s Bazar, Bangladesh, mengeluhkan berbagai ‘penindasan’ oleh otoritas setempat beberapa bulan terakhir ini, demikian dilaporkan beberapa media.

Termasuk penindasan yang disebutkan itu adalah tindakan otoritas Bangladesh menutup toko-toko milik pengungsi, memblokir layanan internet, menyita telepon seluler (ponsel), memasang pagar-pagar dan kawat berduri di sekeliling kamp, memberlakukan jam malam, dan memindahkan paksa pengungsi ke lokasi-lokasi terpencil.

Para pengungsi mengkhawatirkan pemindahan itu upaya pengembalian pengungsi ke Myanmar yang berarti kemungkinan terjadinya lagi pembantaian massal atas kaum Muslimin Rohingya yang pada akhir 2017 menyebabkan gelombang pengungsian besar-besaran dari Myanmar ke Bangladesh.

Pemerintahan Bangladesh tampak semakin kewalahan oleh kehadiran lebih dari satu juta orang pengungsi di Cox’s Bazar. Perubahan situasi politik setempat ditandai dengan munculnya berbagai pemberitaan bagaimana warga Bangladesh di Cox’s Bazar telah kehilangan kesabaran terhadap para pengungsi. Survei Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) mengungkapkan: sekitar dua per tiga warga asli Cox’s Bazar meyakini kehadiran pengungsi merugikan kehidupan mereka.

Dilaporkan pula, pelarangan pemakaian ponsel diawali dengan pemblokiran jaringan internet 3G dan 4G sepenuhnya. Panggilan telepon pun dibatasi hanya 59 detik. Belakangan, pengungsi Rohingya juga dilarang menggunakan jaringan telekomunikasi baik dari penyedia jaringan lokal maupun dari Myanmar. Warga lokal pun dilarang menjual kartu SIM kepada pengungsi. Hal ini diikuti dengan razia, penyitaan dan bahkan penghancuran ponsel pengungsi.

Terakhir, 18 Oktober 2019, CIC (Camp-in-Charges) memerintahkan para pemimpin kamp mengambil kartu SIM pengungsi di kamp masing-masing. Jum’at lalu, polisi kamp mulai mengadakan razia dan penggeledahan. Menurut saksi mata dan para korban, pengungsi wanita digeledah polisi wanita di kamp Lamba Shiya 1 dan 2. Seorang pengungsi menyatakan, “Perlakuan ini disengaja untuk memaksa kami kembali ke Myanmar. Komunikasi itu kebutuhan fundamental, terutama di kawasan padat penduduk seperti ini. Ketika hak ini dilanggar, kami harus mencari jalan keluar.”* (Rohingya Vision | The Guardian | Sahabat Al-Aqsha).

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Jerman Tuntut Dua Orang Kaki Tangan Assad atas Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Polisi Zionis Culik Tiga Pemuda Palestina dari Desa ‘Issawiya »