Gaza 2020: Akankah Wilayah Palestina Mencapai Titik yang Tak Bisa Kembali?

10 December 2019, 18:05.
Foto: AFP

Foto: AFP

TAHUN 2012, sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa mendeskripsikan situasi suram Jalur Gaza dan kondisi yang akan dihadapi penduduk Palestina.

PBB memprediksi ekonomi Jalur Gaza akan lesu, sistem perawatan kesehatannya terkepung ketat, dan sumber daya alamnya menyusut. Tetapi hari-hari yang lebih gelap diprediksi akan datang.

Laporan itu memproyeksikan; pada tahun 2020, populasi Gaza akan melampaui dua juta jiwa. Permintaan puncak untuk listrik akan melonjak hingga lebih dari 50 persen. Wilayah akuifer pesisir akan rusak dan tak dapat diperbaiki.

PBB menyerukan suntikan besar-besaran sumber daya, termasuk tambahan ribuan dokter dan perawat, dua kali lipat kapasitas listrik, dan setidaknya 440 sekolah baru.

Sumber: UN report (2012), PCBS (2019), WFP (2018)

Sumber: UN report (2012), PCBS (2019), WFP (2018)

Sekarang hampir tahun 2020. Proyeksi PBB tentang melonjaknya permintaan telah terbukti sebagian besar akurat. Namun pengiriman layanan-layanan penting telah gagal mengejar ketertinggalannya.

Menurut statistik resmi dan data lembaga bantuan, pengangguran di Gaza telah mencapai hampir 50 persen, rasio dokter dan perawat per orang telah menurun, lebih dari duapertiga rumah tangga tidak aman pangan, dan hanya tiga persen air akuifer Gaza yang aman untuk diminum.

Bertahan di Gaza

Sejak Hamas naik ke tampuk kekuasaan di Gaza pada 2007, Israel telah memblokade kantong pantai, dengan pembatasan ketat terhadap pergerakan orang dan barang.

Kekurangan bahan bakar, pemadaman listrik, air yang terkontaminasi, dan infrastruktur yang hancur telah diperparah dengan serangan berulang Israel.

Perang terbaru, pada musim panas 2014, menewaskan lebih dari 2.200 warga Palestina dan menghancurkan puluhan ribu rumah.

Selama tahun-tahun awal pengepungan, Israel menghitung jumlah minimum kalori yang dibutuhkan warga Palestina di Gaza (informasi tersebut terungkap setelah perjuangan hukum yang sukses oleh LSM Israel, Gisha).

Angka-angka ini kemudian digunakan untuk menentukan berapa banyak bantuan makanan yang harus diangkut dengan truk, yang pada dasarnya “menjaga ambang batas kehidupan” di wilayah tersebut.

Sumber: UN report (2012), PCBS (2011), PCBS (2018), World Bank (2019)

Sumber: UN report (2012), PCBS (2011), PCBS (2018), World Bank (2019)

“Itu akan membuat Gaza lapar tetapi tidak kelaparan, dan itu terus menjadi … strategi Israel terhadap ini,” kata Michael Lynk, pelapor khusus PBB tentang hak asasi manusia di wilayah Palestina, kepada MEE.

“Selama Gaza tidak memberontak; selama tidak ada lagi hantaman berkala terhadap Gaza, penggunaan persenjataan paling canggih yang dimiliki dunia; selama Gaza tetap menjadi berita utama di dunia, dunia tidak akan melakukan banyak hal untuk mengubah situasi ini,” ujar Lynk.

Haidar Eid, seorang profesor di Universitas Al-Aqsa di Gaza, menggambarkan kebijakan Israel terhadap Palestina di daerah kantong itu sebagai “genosida”.

“Mereka adalah pengingat akan dosa asal yang dilakukan pada tahun 1948,” kata Eid kepada MEE, merujuk Nakba, pengusiran massal warga Palestina yang menyertai pendirian Israel.

“Israel ingin menghukum mereka karena perlawanan mereka, karena tidak menjadi subjek yang tunduk, dan membuat mereka menyerah memperjuangkan hak untuk kembali yang dijamin secara internasional”.

Penurunan Kronis bukan Tiba-tiba

Pengamat lain telah mencatat bahwa jauh sebelum batas waktu 2020, pengepungan Israel telah menghasilkan kondisi yang memburuk di seluruh Gaza.

Pembatasan zona penangkapan ikan – dikurangi menjadi 10 mil laut dari 15 awal tahun ini – menghambat mata pencaharian masyarakat.

Larangan impor mencegah barang-barang penting, seperti bahan bakar dan gas untuk memasak, memasuki wilayah tersebut. Pemadaman rutin membuat kehidupan sehari-hari menjadi penuh kesulitan, dengan kekuatan listrik terkadang tersedia hanya beberapa jam dalam sehari.

Bagi beberapa warga Palestina yang paling terpukul, bantuan adalah hal yang mustahil.

September lalu, Israel menyetujui kurang dari dua pertiga aplikasi bagi pasien untuk meninggalkan wilayah itu karena alasan medis.

Beberapa pasien diinterogasi sebagai prasyarat untuk persetujuan izin – sebuah praktik yang dikecam oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia, seperti Dokter untuk Hak Asasi Manusia, yang menunjukkan sejarah Israel memaksa pasien untuk menjadi kolaborator sebagai alat tukar untuk perawatan medis yang diperlukan.

Sumber: UN report (2012), WHO (2018)

Sumber: UN report (2012), WHO (2018)

“De-development” layanan kesehatan berarti bahwa teknologi dasar seringkali tidak tersedia di Gaza, sementara obat-obatan dan tenaga medis tidak mencukupi, kata Gerald Rockenschaub, kepala kantor Organisasi Kesehatan Dunia untuk wilayah Palestina yang diduduki.

“Ini bukan penurunan mendadak; ini penurunan kronis,” katanya kepada MEE. “Sistemnya selalu sangat dekat atau di ambang kehancuran.”

Sumber: UN report (2012), PCBS (2019), UNICEF (2019)

Sumber: UN report (2012), PCBS (2019), UNICEF (2019)

Bantuan internasional untuk wilayah berpenduduk padat, sembari mencegah penutupan total, telah menciptakan ketergantungan kemanusiaan daripada mendorong pembangunan di Gaza, catat para pakar.

Pada saat yang sama, pemotongan bantuan dana tahun ini oleh administrasi Trump ke UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina, kian memperdalam krisis.

“Ada jurang pembangunan dalam konteks Gaza,” ujar Jamie McGoldrick, koordinator kemanusiaan PBB untuk wilayah Palestina yang diduduki, kepada MEE.

Jamien mencatat bahwa kondusi itu telah dirasakan secara akut di sektor kesehatan dan pendidikan.

Sekolah berjalan dengan dua bahkan tiga shift (gelombang belajar) untuk mengakomodasi pertumbuhan populasi kaum muda.

Sementara itu, rumah sakit telah melampaui kapasitasnya, terutama ketika protes Great March of Return, yang dimulai pada 2018, telah mengakibatkan ribuan orang terluka.

Namun, ketika bantuan kemanusiaan tak lebih dari solusi cepat sementara, para analis mengatakan, menyapih atau menghentikan bantuan di wilayah ini akan menjadi proses yang kompleks dan sulit.

“Kamu tidak bisa hanya mengatakan, ‘OK, besok tidak ada makanan lagi, tidak ada lagi dukungan. Kamu pergi ke tempat lain. Tidak ada ‘tempat lain’ di Gaza … Orang-orang bergantung pada [bantuan] kemanusiaan, “kata McGoldrick.

“Kita harus beralih ke sesuatu yang lebih berkelanjutan, dan tentunya sesuatu yang jauh lebih bermartabat daripada yang kita miliki saat ini.”

‘Israel’ Bujuk Negara Lain Tampung Warga Gaza

Kamel Hawwash, seorang profesor Inggris-Palestina yang berbasis di University of Birmingham, mengatakan kepada MEE bahwa, terhadap orang-orang Gaza, prediksi PBB tahun 2020 telah lama menjadi kenyataan. Dia mengatakan bahwa banyak yang mengutip perkataan Arab: “Kami hidup karena kekurangan kematian.”

Kebijakan ‘Israel’ adalah salah satu “penjara”, kata Hawwash, dan pada akhirnya, “Israel ingin tetap ‘diam’ di Gaza. Jika Hamas menyediakannya, maka baiklah. Jika tidak, maka [Israel] menyerang jalur tersebut”

Israel juga dilaporkan telah mendorong warga Palestina untuk meninggalkan Gaza secara permanen, yang bertujuan untuk mengurangi kehadiran mereka di lahan tersebut.

Awal tahun ini, sebuah sumber pemerintah dilaporkan mengakui bahwa “upaya telah dilakukan” untuk membujuk negara lain untuk mengambil atau menampung mereka, seraya menambahkan bahwa Israel akan membantu dengan transportasi.

Sumber: UN report (2012), UNOCHA (2019)

Sumber: UN report (2012), UNOCHA (2019)

Agar Gaza bangkit dari kesulitannya saat ini, Hawwash mengatakan, keretakan intra-Palestina antara Fatah dan Hamas harus diperbaiki dan pengepungan Israel harus berakhir, yang memungkinkan stabilitas berakar kokoh.

“Jelas, jika para pengungsi yang berjumlah 80 persen dari populasi harus kembali ke rumah mereka – sebagaimana mereka berhak berdasarkan hukum internasional – maka Gaza bisa ditinggali dan makmur.”

Proses politik yang sukses dapat membuka jalan bagi strategi yang lebih berorientasi pembangunan di Gaza, kata McGoldrick, yang berpotensi menarik investasi baru dalam sistem pasokan air, zona industri dan penciptaan lapangan kerja.

Dia menyebut bahwa blokade merupakan “penghambat terbesar untuk pembangunan” sembari mengakui bahwa “batas waktu tidak hidup 2020 tergantung pada dirinya sendiri” adalah buatan PBB.

Sumber: UN report (2012), PCBS (2019), UNDP (2018)

Sumber: UN report (2012), PCBS (2019), UNDP (2018)

“(Deadline buatan PBB) itu tidak berarti apa-apa bagi orang Palestina … Orang-orang hanya berusaha untuk melewati hari, bertahan hari demi hari,” katanya.

Namun, dengan pertumbuhan populasi yang berkelanjutan, pengurangan layanan dan pengangguran yang melonjak, Gaza mungkin mendekati titik tidak bisa kembali.

Sara Roy, seorang sarjana peneliti senior di Pusat Studi Timur Tengah Universitas Harvard, mengatakan kepada MEE: “Istilah ‘tidak hidup’ … dimaksudkan sebagai bel alarm bagi komunitas internasional, tetapi bel itu sudah berdering lama sekali.”

Peringatan itu, katanya, telah diabaikan di tengah ketidakpedulian internasional dan intervensi kemanusiaan yang hanya berfungsi sebagai pengganti hak asasi manusia.

“Tanpa gerakan tulus warga dunia dan bantuannya yang terus mengalir,” kata Roy, “Gaza akan dikutuk untuk terus hancur.” (MEE)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« ‘Israel’ Larang Gubernur Baitul Maqdis Gelar Pertemuan di Dalam Kota
Polisi ‘Israel’ Tangkap Penjaga Masjid Al-Aqsha, Puluhan Pemukim Yahudi Melenggang Masuk »