Anak-anak Dipisahkan dari Ibunya, Muhajirin Rohingya di India Kian Terancam Penahanan dan Deportasi

11 May 2022, 14:54.

INDIA (India Spend) – Noor Banoo, seorang Muhajirin Rohingya berusia 40-an tahun yang tinggal di Bengaluru, India, hanya bisa sekali bertemu dengan ketiga anaknya sejak April 2017. Yakni sejak suaminya, Mohammed Sultan (43 tahun), dan putranya Nazrul* (20), Rizwan* (19) dan Amir* (12), ditahan polisi di stasiun kereta Thakurnagar, dengan alasan memasuki wilayah India secara ilegal.

Keluarga itu telah melewati perbatasan Bangladesh dan naik kereta api untuk menuju Jammu, India; di mana terdapat banyak Muhajirin Rohingya lain yang telah berada di sana sebelumnya.

Jika saja Noor Banoo tidak pergi ke kamar kecil di stasiun Bangaon, dan ketinggalan kereta pada saat itu, dia juga akan ikut dipenjara. Di kereta itulah polisi menahan keluarganya.

Sejak penangkapan keluarganya, dia telah lari ke sana kemari untuk mengumpulkan uang demi membebaskan mereka. Pengacara memberitahunya bahwa dibutuhkan Rs 1 lakh (hampir 19 juta rupiah) untuk membebaskan suaminya.

Noor Banoo yang sehari-hari bekerja sebagai seorang pemulung mengatakan, “Saya membutuhkan waktu tiga tahun untuk mengumpulkan uang tersebut. Saya meminta dan meminjam uang dari orang Rohingya lainnya di Delhi, Hyderabad, Jammu, dan Bengaluru, tetapi itu belum cukup untuk membebaskan anak-anak saya.”

Suaminya, Sultan, dibebaskan dari penjara pusat Dum Dum setelah berhasil mendapat jaminan pada bulan Mei 2020. Akan tetapi, ketiga anak mereka–yang ditahan di lembaga penitipan anak di Benggala Barat–masih belum bebas karena mereka tidak mampu membayar tambahan Rs 30.000 (sekira 5,5 juta rupiah) yang diminta oleh pengacaranya.

Penahanan bukan satu-satunya masalah yang dihadapi Muhajirin Rohingya di India. Pada tanggal 22 Maret yang lalu, Hasina Begum, seorang Muhajirin yang telah ditahan sejak Maret 2021 di Jammu, dideportasi India kembali ke Myanmar, meninggalkan suaminya Ali Johar dan tiga anak kecil berusia 13, 11, dan 9 tahun.

“Saya tidak diberitahu secara resmi mengenai deportasinya, selain dari telepon yang saya dapatkan dari nomor tak dikenal yang meminta saya untuk pergi ke Manipur bersama anak-anak saya, jika kami ingin bertemu dengannya,” kata Johar, seorang pekerja serabutan yang bahkan tidak mampu membayar biaya perjalanan tersebut.

Ia masih sulit menjelaskan ketidakhadiran sang ibu kepada anak-anak. Mereka sudah tidak memiliki kerabat lagi di desa asal mereka di Maungdaw, Myanmar, yang mereka tinggalkan akibat operasi pembersihan etnis oleh militer. Johar sangat mengkhawatirkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi terhadap Hasina.

Rohingya adalah etnis minoritas Muslim yang tidak diakui sebagai warga negara resmi di tanah airnya di Myanmar.

Selama puluhan tahun, mereka telah menghadapi berbagai gelombang diskriminasi dan kekerasan hingga sebagian besar mencari suaka ke negeri-negeri tetangga, termasuk India.

Tidak adanya kebijakan mengenai pengungsi maupun undang-undang terkait pemberian suaka merupakan halangan besar bagi para Muhajirin yang mencari perlindungan di negara tersebut.

Pada tahun 2021 saja, sedikitnya terdapat 414 pengungsi dari Myanmar, termasuk 354 Muhajirin Rohingya yang ditangkap aparat India. Penangkapan terbanyak dilaporkan terjadi di Jammu dan Kashmir (174).

Penahanan Tanpa Batas dan Masa Depan yang Tak Pasti

Sudah lima tahun anak-anak Sultan dan Banoo menghabiskan umurnya dengan ditahan di lembaga penitipan anak. Sementara Mohammed Hamid Rahman (18) yang juga ditangkap di kereta bersama mereka, “lebih beruntung” dengan hanya menghabiskan 41 hari masa tahanan di tempat yang sama.

“Ayah saya bisa membebaskan saya setelah mendapat bantuan dari LSM lokal,” terang Rahman.

Ayahnya, Abdul Kalam (38) yang datang ke India sebelum Rahman, begitu bersyukur mendapat dukungan yang tak terduga itu.

“Saya tidak ingat nama organisasinya, tetapi saya tidak perlu membayar apa pun kecuali untuk perjalanan saya ke Kolkata,” ujar Kalam.

Noor Banoo dan Mohammed Sultan, Muhajirin Rohingya yang menyelamatkan diri dari genosida Myanmar, mengkhawatirkan nasib anak-anak mereka yang telah ditahan selama hampir lima tahun. Foto: Shreehari Paliath

Noor Banoo dan Mohammed Sultan, Muhajirin Rohingya yang menyelamatkan diri dari genosida Myanmar, mengkhawatirkan nasib anak-anak mereka yang telah ditahan selama hampir lima tahun. Foto: Shreehari Paliath

“Jika seseorang tidak dapat memberikan jaminan, maka orang tersebut akan tetap berada di penjara, bahkan setelah mereka menyelesaikan masa hukumannya,” kata Ravi Nair, Direktur Eksekutif South Asia Human Rights Documentation Centre (SAHRDC), sebuah lembaga HAM.

“Ada banyak orang (pengungsi yang ditahan) yang berada di penjara maupun panti jompo, bahkan setelah habis masa hukuman mereka,” lanjutnya.

Sultan dan Banoo harus menunggu di Kolkata selama hampir tiga bulan sebelum mereka dapat menemui anak-anak mereka pada bulan November 2021. Pertemuan yang berlangsung hanya “selama 15 atau 20 menit” ini adalah satu-satunya momen Noor Banoo bisa bertemu mereka dalam kurun hampir lima tahun.

“Ketika bertemu dengan pengacara saat saya di penjara, dia mengatakan kepada saya bahwa biayanya akan mencapai Rs 50.000, tetapi dia ternyata meminta dua kali lipatnya kepada istri saya [untuk mengeluarkan saya dari penjara]. Dan kemudian dia meminta lagi tambahan Rs 30.000 untuk membebaskan anak-anak,” kata Sultan.

Bodi Amin (21) turut melalui cobaan yang sama seperti yang dialami Banoo dan Sultan. Adiknya yang masih berusia 16 tahun telah mendekam di penjara dengan orang-orang yang lebih tua selama hampir lima tahun.

Dia tetap tidak yakin akan pembebasan saudaranya, meskipun sampai saat ini ia sendiri telah menghabiskan hampir Rs 70.000 (lebih dari 13 juta rupiah).

Amin, sebagaimana banyak Muhajirin Rohingya lainnya di Bengaluru, hanya berpenghasilan sekitar Rs 400 sehari (sekira 75 ribu rupiah) sebagai pemulung. Ia mentransfer sejumlah uang kepada saudaranya di penjara setiap dua atau tiga bulan sekali.

Bodi Amin, seorang pengungsi Rohingya dari Myanmar, telah menghabiskan hampir Rs 70.000 untuk membebaskan saudaranya dari tahanan, sejak 2017. Foto: Shreehari Paliath

Bodi Amin, seorang pengungsi Rohingya dari Myanmar, telah menghabiskan hampir Rs 70.000 untuk membebaskan saudaranya dari tahanan, sejak 2017. Foto: Shreehari Paliath

India adalah salah satu negara yang mempidanakan para pencari suaka maupun pengungsi. Di bawah Undang-Undang India, bepergian tanpa dokumen yang sah dapat dikenai hukuman hingga delapan tahun penjara. Meski begitu, tak jarang mereka yang telah selesai menjalani hukuman tetap mendekam di dalam tahanan.

Pada Januari 2022, sebuah petisi tertulis diajukan ke Pengadilan Tinggi Manipur untuk membebaskan dua Muhajirin Rohinya yang telah dipenjara sejak Februari 2012, di mana masa tahanan sebenarnya hanya enam bulan. Sementara beberapa orang lain yang ditangkap pada saat yang sama telah dideportasi ke negara asal.

Deportasi atau pengembalian orang dari komunitas yang sedang dalam bahaya ini bertentangan dengan prinsip non-refoulement, di mana para pengungsi dan pencari suaka harus dilindungi dan tidak dipulangkan ke negara asal karena dapat membuat mereka menghadapi bermacam penyiksaan atau hukuman yang kejam dan tidak manusiawi.

“Meskipun kami telah mengajukan perwakilan untuk membebaskan dua warga Rohingya yang telah ditahan sejak 2012, pemerintah negara bagian tetap tidak mau mempertimbangkannya,” kata Rakesh Meihoubam, Direktur Human Rights Law Network di Manipur, yang mengajukan petisi.

Kartu UNHCR Tidak Memberi Perlindungan

Hasina Begum, yang dideportasi pada Maret 2022, telah berada di penjara Hiranagar di Jammu selama hampir satu tahun sebelumnya, sebut suaminya, Ali Johar.

Dia tidak diberitahu sama sekali mengenai keputusan pemerintah tersebut, dan tidak ada komunikasi dengan keluarga yang diberikan kecuali setelah dia dibawa ke Manipur.

“Saya baru bisa berbicara dengannya beberapa minggu sebelum (deportasi). Saya tidak tahu mengapa dia dideportasi dan ke mana dia akan pergi begitu dia berada di Burma,” terang Johar.

Meskipun Hasina dan Johar sama-sama memiliki kartu UNHCR, namun kartu tersebut tak mampu memberi perlindungan yang dibutuhkan.

Kartu UNHCR bukanlah dokumen yang mempunyai kekuatan hukum dan tidak bisa menggantikan visa India, melainkan hanya bukti bahwa UNHCR mengetahui keberadaan individu di negara tersebut, sebagaimana disampaikan pemerintah pada Desember 2019.

“Kartu UNHCR tidak memberikan perlindungan dari penangkapan atau penahanan,” kata Nair dari SAHRDC.

Ia menjelaskan, kartu UNHCR hanya memberikan hak kepada para pengungsi untuk mengajukan permohonan visa jangka panjang yang dikeluarkan oleh Kantor Pendaftaran Orang Asing; sementara sangat sedikit orang Rohingya yang bisa mendapatkan visa tersebut.

“UNHCR di India tidak menjalankan mandat perlindungannya,” tegas Nair.

Pada bulan Maret tahun ini, Sabber Kyaw Min, salah satu pendiri dan direktur Rohingya Human Rights Initiative dan juga koordinator Free Rohingya Coalition, yang telah tinggal di India sejak 2005, tiba-tiba dijemput oleh polisi dan intelijen di Hyderabad.

“Saya dibawa ke kantor polisi Balapur lalu dianiaya dan ditampar, meskipun saya memberi tahu mereka bahwa saya memiliki kartu UNHCR dan telah melakukan perjalanan ke Hyderabad dari Delhi berkali-kali sebelumnya untuk bertemu kerabat saya,” kata Kyaw Min.

Untungnya Kyaw Min, yang tidak diberitahu alasan penahanannya tersebut, dapat meninggalkan kantor polisi lima jam setelahnya karena jaringan pengacara dan aktivis yang dimilikinya.

Noor Banoo dan Mohammed Sultan, yang memutuskan untuk datang ke India demi mendapat kehidupan yang lebih baik, terus berharap akan pembebasan anak-anak mereka.

“Akan tetapi, seandainya mereka tahu apa yang akan mereka alami ini, mereka mungkin tidak akan datang ke India,” kata Sultan. (India Spend)

*Nama telah diubah untuk melindungi identitas mereka

 

 

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Penjajah Zionis Hancurkan Bangunan Dua Lantai Milik Keluarga Palestina di Distrik Silwan Baitul Maqdis
Al Jazeera: “Serdadu Zionis Sengaja Bunuh Shireen Abu Akleh yang Kenakan Jaket Pers saat Bertugas” »