Relawan Internasional: ‘Kami akan Kembali ke Gaza’
18 August 2010, 10:13.
Sahabatalaqsha.com—AMMAN—“Shaufa na’ud! Shaufa na’ud! Kami akan kembali!”
Demikian seruan janji para relawan Muslim, terutama dari negara-negara Arab, yang ikut dalam Freedom Flotilla to Gaza, setibanya mereka di Yordania sesudah dievakuasi dari penjara Israel akhir Mei lalu.
“Israel mengira sudah mematikan semangat kami untuk menolong saudara-saudara di Gaza, karena berhasil membunuh dan melukai para relawan. Mereka keliru. Kami akan terus mencoba!” demikian janji salah seorang relawan dari Indonesia.
Yang tak kalah lantang adalah seruan para relawan non-Muslim, dari berbagai negara, menjanjikan bahwa mereka tidak akan berhenti mencoba sampai Israel menghentikan blokade atas Gaza sama sekali.
Non-Muslim
“We will be back! Kami akan kembali.”
Salah satu relawan non-Muslim yang menyerukan teriakan ini adalah Nicola Enchmarch, atau Nicci, yang juga selamat dalam penyerangan oleh ratusan tentara elit Israel atas kapal Mavi Marmara dan kapal-kapal lain di atas perairan Laut Tengah tanggal 31 Mei. Sembilan orang relawan dari Turki syahid dalam penyerangan ini, sementara lebih dari 50 orang lainnya luka-luka parah.
Enchmarch yang berasal dari Selandia Baru tiba kembali di kotanya, Ashburton, pekan ini untuk liburan bersama orangtuanya selama dua pekan, sambil mempersiapkan diri untuk kembali ke Gaza.
“Saya harus menemui orangtua saya setelah peristiwa Mavi Marmara. Saya rasa mereka agak terguncang,” ujar Enchmarch.
Pada peristiwa penyerangan oleh Israel itu, sama seperti para relawan lainnya, Enchmarch juga diborgol dan dipenjarakan oleh Israel, sebelum kemudian dideportasi ke Turki pada 2 Juni. Enchmarch adalah seorang professional project manager yang sudah menetap di London selama 13 tahun ini, dan bertugas sebagai project co-ordinator Viva Palestina yang mengkoordinir konvoi darat terbesar menuju Gaza. Diperkirakan akan ada 500 buah truk dan kendaraan besar lainnya yang akan bertolak dari Inggris melewati Maroko dan Qatar, sebelum menembus Mesir dan akhirnya masuk ke Gaza pada bulan Oktober.
Sementara itu sudah ribuan orang mendaftarkan diri untuk ikut Freedom Flotilla 2 yang akan berangkat dari Brussels, dan direncanakan tiba di Gaza pada waktu yang bersamaan dengan konvoi darat Viva Palestina tersebut.
Direncanakan konvoi ini akan membawa peralatan sekolah dan kedokteran, susu bayi, alat-alat pertanian dan nelayan, serta bahan-bahan bangunan.

Nicola Enchmarch
Sudah Bertahun-tahun
Dari belasan relawan Inggris yang ikut dalam Freedom Flotilla, sebagian besar adalah “alumni” gerakan yang mendukung pembebasan Palestina. Beberapa di antaranya, seperti Laura Stewart, seorang Muslimah bercadar, sudah beberapa kali berhasil menembus blokade Israel atas Gaza dalam dua tahun terakhir ini.
Hampir semuanya adalah “veteran” yang tampak seakan tidak perduli pada risiko kematian yang menghadang mereka.
Ewa Jasiewicz adalah seorang relawan dan wartawan yang sudah bertahun-tahun berkampanye untuk pembebasan Palestina.
Santi Soekanto dari Sahabat Al-Aqsha pertama kali berkenalan dengan Ewa di dalam Penjara Ella di Bersheeva, ketika wajah cantik Ewa muncul di depan pintu sel 305 tempat Santi ditahan bersama tiga orang relawan dan wartawan bule.
“Marhaban Santi! How are you feeling? Bagaimana kabarmu?” tanya Ewa, dari balik jeruji pintu sel 305 yang ketika itu belum dibukakan. Sesudah sel dibuka, maka sel 305 menjadi tempat berkumpulnya para relawan dari negara-negara Barat – merundingkan langkah-langkah yang harus mereka ambil untuk bisa segera meninggalkan penjara Israel.

Ewa Jasiewicz
Termasuk yang hadir dalam “rapat gelap” di sel 305 yang dimonitor lewat sound system penjara itu adalah Anne de Jong dari Belanda, Theresa McDermott dari Skotlandia, wartawan Kate Geraghty dari Sydney, Australia, Alex Harrison dari Inggris, dan beberapa aktivis Free Gaza Movement dari Eropa.

Theresa McDermott
“Tell us, Kate, bagaimana kami bisa mempertahankan perhatian masyarakat dunia sesudah peristiwa ini,” tanya Ewa kepada Kate. “This is really big. Ini gede sekali. Seluruh dunia tahu sekarang apa yang dilakukan Israel. Bagaimana mempertahankan perhatian dunia sesudah ini.”
Ewa adalah satu dari sejumlah relawan International Solidarity Movement yang dibentuk 2002 dan bergerak di Tepi Barat. “Ini hal yang harus dilakukan oleh semua orang, demi menghentikan pembunuhan,” tutur Ewa kepada The Guardian sesudah dideportasi ke Istanbul.
Di London, pada 5 Juni, ketika ribuan orang hadir dalam demonstrasi besar memprotes penyerangan Israel atas Mavi Marmara, Ewa dan Alex menjadi pembicara utama. Ewa menyapa para demonstran dengan seruan “Assalaamualaikum!” (http://www.youtube.com/watch?v=GoGvMlUNF8A&feature=youtu.be&a)
Tak Takut Mati
Relawan Inggris Sarah Colborne adalah direktur kampanye dan operasional Palestinian Solidarity Campaign yang juga ada di Mavi Marmara saat penyerangan Israel. Dialah yang dengan berani berteriak kepada tentara-tentara Israel yang menodongkan senjata ke arah para relawan untuk memberi minuman para tawanan mereka yang sudah dalam lemah karena dehidrasi dan dijemur di bawah matahari terik Laut Tengah di atas Mavi Marmara.
Salah satu tentara itu lalu melepas borgol Sarah dan temannya, Alex Lort-Philips, agar mereka bisa mengambil segalon air mineral dan membagi-bagikannya kepada para relawan yang masih terus terborgol. Sarah membagikan seluruh air yang dimilikinya, sampai dia sendiri tidak mendapatkan sedikit pun air.
Wanita mungil dan cantik berusia 43 tahun ini menegaskan bahwa pengalamannya – ditahan, digeledah, diborgol dan dipenjarakan – tidak sedikit pun mengurangi tekadnya untuk kembali lagi ke Palestina.
“(Para relawan) berangkat karena mereka merasa harus melakukan sesuatu untuk menentang Israel dan blokade atas Gaza. Kami tidak mengira akan dibunuhi seperti ini. Tapi orang-orang Palestina dibunuhi setiap hari, dan saya harap bahwa apa yang telah kami lakukan akan bisa mengubah situasi dan memaksa dunia untuk menghentikan pelanggaran-pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel,” demikian ujar Sarah.
Sarah sudah melibatkan diri dalam berbagai kegiatan kampanye hak asasi sejak masih kuliah. “Saya rasa ini sikap yang timbul dari keyakinan dalam diri saya, bahwa hidup saya tidak berarti sama sekali kalau saya tak melakukan apa pun untuk melawan kezaliman,” tutur Sarah.

Sarah Colborne
Alex Harrison yang berambut merah panjang dan dikepang itu pertama kali mengunjungi Tepi Barat pada tahun 2003. Ketika itu dia mengira bahwa itulah perjalanan pertama dan terakhir kalinya ke daerah jajahan Israel.
Namun ternyata Alex tak bisa melupakan Palestina.

Alex Harrison
“Itulah satu dari sedikit saja kesempatan dalam hidup ketika kita yakin bahwa kita bisa membawa perubahan. Kalau sudah timbul keyakinan seperti itu dalam diri kita, maka kita tidak akan bisa ‘membuang muka’ (dari masalah Palestina),” ujar Alex yang pernah menghabiskan waktu dua tahun untuk kerja kemanusiaan di Tepi Barat.
Kata Alex, dia tak takut mati. “Yang lebih saya takutkan adalah luka-luka, lalu menjadi beban bagi orang lain,” tutur Alex.(Sahabat Al-Aqsha/EZ/IA/Dari berbagai sumber)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.