HRW: “Dalam Satu Dekade, Rezim Myanmar Tahan Lebih dari 135.000 Muslim Rohingya”

17 June 2022, 21:57.
Seorang bocah Rohingya melihat serdadu Myanmar yang berpatroli di kamp pengungsian internal di Sittwe (Gemunu Amarasinghe/AP)

Seorang bocah Rohingya melihat serdadu Myanmar yang berpatroli di kamp pengungsian internal di Sittwe (Gemunu Amarasinghe/AP)

(HRW) – Human Rights Watch (HRW), Rabu (15/6/2022), mengatakan pihak berwenang Myanmar telah menahan lebih dari 135.000 Muslim dari etnis minoritas Rohingya secara sewenang-wenang selama satu dekade di negara bagian Rakhine, tanpa kejelasan kapan hal tersebut berakhir.

Berdasarkan wawancara dengan warga Rohingya dan petugas kemanusiaan dari tahun 2012 hingga saat ini, HRW mendokumentasikan bagaimana pihak berwenang memanfaatkan operasi pembersihan etnis yang diluncurkan pada Juni 2012 untuk memisahkan dan membatasi populasi yang telah lama berusaha dihilangkan tersebut dari negara yang didominasi penganut Buddha.

Termasuk di dalam upaya rezim Myanmar tersebut ialah apartheid, penganiayaan, dan pemenjaraan yang kemudian merampas kebebasan serta mengancam kehidupan para Muslim Rohingya.

“Penindasan kejam junta Myanmar terhadap warga Rohingya adalah buah dari militer yang tidak pernah menghadapi konsekuensi berarti selama satu dekade pembersihan etnis dan sistem apartheid yang dilakukannya,” kata Shayna Bauchner, peneliti HRW untuk wilayah Asia.

“Pemerintahan negara-negara yang peduli, sekarang harus melakukan apa yang sudah seharusnya dilakukan di tahun 2012 dulu, yakni menempuh semua cara untuk menghukum para pejabat Myanmar atas kejahatan besar mereka serta memberikan keadilan bagi para korbannya.”

Setelah insiden kekerasan Juni 2012, pemerintah lokal dan aparat mulai memaksa warga Rohingya untuk pindah ke kamp-kamp yang terisolir dengan pagar kawat berduri dan pos-pos pemeriksaan militer.

Pembatasan sewenang-wenang atas pergerakan, mata pencaharian, dan akses bantuan kemanusiaan maupun perawatan kesehatan kian memburuk selama dekade terakhir. Kondisi kehidupan di kamp tak lagi manusiawi. Laporan dari warga Rohingya beserta dokumen lembaga kemanusiaan mengungkapkan jumlah kematian yang sebenarnya dapat dicegah semakin meningkat.

Transisi Myanmar yang baru lahir dari rezim militer ke pemerintahan sipil yang demokratis tak membuat perubahan terhadap Muslim Rohingya. Diskriminasi melalui perundang-undangan dan dikobarkannya sentimen anti-Muslim di seluruh negeri terus meningkat. Meletuslah operasi biadab militer yang brutal dan terorganisir pada tahun 2016 dan 2017.

Dunia internasional, bukannya segera bertindak untuk meminta pertanggungjawaban atas genosida tersebut, justru satu per satu mencabut sanksi lalu memosisikan diri membuka hubungan politik dan ekonomi dengan para penjahat kemanusiaan.

Kemudian pada Februari 2021, pasukan keamanan melancarkan kudeta dan menahan para pemimpin sipil negara itu, memaksa Myanmar kembali di bawah kekuasaan militer.

Kudeta telah menimbulkan pembatasan yang lebih berat serta blokade bantuan ke kamp-kamp pengungsian Rohingya. Meningkatnya ketegangan dan pertempuran di Negara Bagian Rakhine antara militer Myanmar dengan kelompok bersenjata Buddha lokal telah membuat Rohingya terjebak di tengah-tengah konflik.

“Satu dekade terakhir telah menjadi catatan sejarah yang kelam bagi 135.000 warga Rohingya yang ditahan di kamp-kamp Myanmar, dan selama ini telah diabaikan oleh dunia internasional,” kata Bauchner. (HRW)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Muhajirin Uyghur Temukan Keluarga dan Teman yang Hilang di Bocoran Arsip Polisi Xinjiang
Gerombolan Pemukim Kolonial Serang Warga Palestina di Duma, Bayi Tiga Bulan Alami Cedera »