Anra Rohingya – Memotret dari Dekat Lika-liku Kehidupan Rohingya di Kamp Pengungsian

25 June 2022, 22:46.

(ALJAZEERA) – Sebuah pameran virtual oleh sekelompok fotografer Rohingya telah diluncurkan untuk mendokumentasikan kehidupan di kamp pengungsian di Bangladesh.

Pameran tersebut bertujuan agar dunia bisa lebih memahami kehidupan ratusan ribu Muhajirin Rohingya yang terpaksa meninggalkan tanah airnya di Arakan, Myanmar, bertahun-tahun lalu.

Pameran berjudul “Anra Rohingya (We Are Rohingya)” menampilkan karya 11 fotografer dari Rohingyatographer, sebuah majalah yang diproduksi oleh tim media yang berbasis di kamp pengungsian.

Nur Akter berusia 10 tahun. Dia merawat adiknya yang berusia empat bulan sepulang sekolah, karena ibunya harus bekerja [Md Jamal/Anra Rohingya (We Are Rohingya)]

Nur Akter berusia 10 tahun. Dia merawat adiknya yang berusia empat bulan sepulang sekolah, karena ibunya harus bekerja [Md Jamal/Anra Rohingya (We Are Rohingya)]

Sahat Zia Hero, seorang Muhajirin Rohingya dan pendiri Majalah Rohingyatographer yang mengkurasi pameran dan buku tersebut, menyatakan dalam rilis medianya bahwa “Kami ingin dunia bisa memandang komunitas pengungsi Rohingya melalui mata kami sendiri.”

“Kami ingin orang-orang melihat kami sebagai manusia, yang sama seperti orang lain juga, serta untuk berbagi harapan dan impian kami, kesedihan dan penderitaan kami, dengan orang lain, untuk menjalin keterhubungan.

Pameran dan peluncuran majalah Rohingyatographer edisi pertama ini menggambarkan kehidupan sehari-hari di kamp pengungsian Kutupalong, Bangladesh.

Wajah-wajah tua dan muda, yang penuh harapan dan yang serius, ditampilkan dalam pameran, meski baru segelintir dari ratusan ribu wajah lain yang berada di kamp pengungsian.

Ada juga wajah bayi-bayi yang terlahir sejak tahun 2017, di mana menurut laporan Save the Children, secara keseluruhan ada lebih dari 100.000 anak.

Dengan berkuasanya kembali militer di Myanmar, yang berarti semakin tidak memungkinkan bagi para Muhajirin untuk bisa pulang ke tanah air, kamp Kutupalong mungkin akan menjadi satu-satunya rumah yang mereka ketahui untuk beberapa tahun yang akan datang.

Kamp-kamp pengungsian seperti di Kutupalong telah terbentuk di Bangladesh sejak awal 1990-an, ketika rezim militer Myanmar mengusir paksa sekira seperempat juta warga Rohingya untuk melintasi perbatasan, yang ditandai oleh Sungai Naf.

Md Jamal, salah satu fotografer Rohingya yang ditampilkan dalam pameran dan buku tersebut, lahir di kamp Kutupalong pada tahun 1991.

Dia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa dia terjun ke dunia fotografi “untuk menunjukkan kepada dunia bagaimana para pengungsi Rohingya telah disiksa”.

“Saya berharap para hadirin akan tertarik untuk melihat kehidupan komunitas pengungsi Rohingya melalui mata kami sendiri,” jelasnya.

Jamal, yang tidak dapat mengungkapkan nama lengkapnya demi keamanan, juga mengatakan bahwa media tersebut membantu mengatasi trauma yang dialaminya.

Sampul depan Majalah Rohingyatographer [Sahat Zia Hero Anra Rohingya (We Are Rohingya)]

Sampul depan Majalah Rohingyatographer [Sahat Zia Hero Anra Rohingya (We Are Rohingya)]

“Setiap fotografer memiliki bahasa visual masing-masing,” ujar Jamal, “saya sendiri masih belajar menggunakan fotografi untuk belajar observasi. Akan tetapi, itu juga membantu saya untuk menghadapi dan mengatasi masalah yang kami hadapi setiap hari di sini.”

Ingin Kembali dengan Aman

Ronan Lee, penulis Myanmar’s Rohingya Genocide, mengatakan bahwa kudeta militer 2021–ketika Jenderal Senior Min Aung Hlaing merebut kekuasaan–hanya menambah kesengsaraan bagi etnis minoritas Muslim Rohingya, baik di Arakan maupun Bangladesh.

“Min Aung Hlaing, dengan kekuatan yang lebih besar dibanding tahun 2017 ketika dia mendalangi genosida dan mengusir paksa sebagian besar warga Rohingya untuk keluar dari Myanmar ke Bangladesh, membuat situasi saat ini mengerikan bagi bangsa Rohingya,” ucapnya.

“Militer tidak menginginkan keberadaan etnis Rohingya di Myanmar, itu sebabnya mereka melakukan genosida terhadap kelompok tersebut.”

Lee juga mengatakan, situasi warga Rohingya yang masih berada di Myanmar, baik di desa-desa maupun kamp-kamp pengungsian internal, “sangat berbahaya”.

“Ini adalah militer yang telah menunjukkan dirinya tidak segan untuk menodongkan senjatanya kepada para pengunjuk rasa damai di seantero negeri yang merupakan etnis mayoritas Buddha,” katanya.

Di Myanmar, puluhan ribu Rohingya telah diasingkan di kamp-kamp konsentrasi yang tersebar di negara bagian Rakhine sejak 2012. Mereka harus hidup dengan pembatasan ketat yang menghalangi kebebasan, pergerakan, dan hak-hak dasar mereka.

Laporan Human Rights Watch (HRW) baru-baru ini yang mendokumentasikan 10 tahun sejak etnis Rohingya dipaksa masuk ke kamp konsentrasi, mengungkapkan bahwa kondisi kehidupan di sana kian memburuk sejak kudeta.

“Situasinya terus memburuk dalam sepuluh tahun terakhir,” kata seorang peneliti HRW untuk wilayah Asia, Shayna Bauchner.

Sekira 600.000 Rohingya yang selamat dari kekejaman tahun 2017 dan tetap bertahan di desa-desa pinggiran Myanmar juga menghadapi pembatasan yang serupa dengan yang ada di kamp-kamp.

“Sistem apartheid yang diberlakukan militer berlaku untuk semua warga Rohingya, di mana pun mereka tinggal,” sebut Bauchner.

Lee dan Bauchner sama-sama mengatakan bahwa komunitas internasional perlu memikul tanggung jawab atas apa yang telah terjadi pada Rohingya.

“Pada tahun 2012, jika komunitas internasional mengakui kejahatan militer sebagai pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan, serta mengambil tindakan untuk meminta pertanggungjawaban militer, yang terjadi sepuluh tahun berikutnya mungkin akan terlihat sangat berbeda,” katanya.

Seorang wanita muda Rohingya di kamp pengungsi [Shahida Win/Anra Rohingya (We Are Rohingya)]

Seorang wanita muda Rohingya di kamp pengungsi [Shahida Win/Anra Rohingya (We Are Rohingya)]

Sementara Lee mengatakan, “Adalah tugas komunitas internasional untuk membuat situasi aman bagi mereka.”

“Tidak semestinya ada toleransi bahwa rezim militer yang melakukan genosida bisa terus berkuasa di Myanmar, yang mencegah kembalinya para pengungsi Rohingya ke tanah leluhur mereka,” lanjut Lee.

Fotografer Md Jamal mengatakan, seperti kebanyakan Muhajirin Rohingya lainnya, dia juga ingin bisa kembali ke Arakan, tetapi hanya jika kondisi sudah aman.

Sampai saat itu datang, dia berkata, “Saya berencana untuk terus memotret para pengungsi Rohingya.”

Anra Rohingya (We Are Rohingya) dan Majalah Rohingyatographer dapat dilihat di: https://www.rohingyatographer.org/

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Penjajah Bakal Bangun Permukiman Ilegal Baru, Bersiap Rampas Tanah di Qalqilia dan Salfit
VIDEO – Penjajah Zionis Hancurkan Kolam Irigasi di Utara Ramallah »