Bukti Baru Ungkap Fakta Rezim Myanmar Merencanakan Pembersihan Etnis Rohingya (#2)

11 August 2022, 16:15.
Seorang Muslimah Rohingnya berinisial F (22 tahun kala itu) berderai air mata ketika mengisahkan pemerkosaan yang dialaminya, yang dilakukan oleh serdadu Myanmar. Bencana tersebut terjadi pada bulan Juni dan terulang kembali pada bulan September. Foto diambil dari kamp pengungsian Kutupalong, Bangladesh, pada tanggal 22 November 2017. (AP)

Seorang Muslimah Rohingnya berinisial F (22 tahun kala itu) berderai air mata ketika mengisahkan pemerkosaan yang dialaminya, yang dilakukan oleh serdadu Myanmar. Bencana tersebut terjadi pada bulan Juni dan terulang kembali pada bulan September. Foto diambil dari kamp pengungsian Kutupalong, Bangladesh, pada tanggal 22 November 2017. (AP)

ARAKAN (Daily Sabah) – Selain menghadapi diskriminasi parah, hak kewarganegaraan Muslim Rohingya telah dilucuti sejak lama. Pada 1990-an, rezim Myanmar berhenti mengeluarkan akta kelahiran untuk anak-anak Rohingya. Mereka dipaksa meminta izin, meski hanya untuk menikah maupun pergi keluar desa mereka.

Rezim membatasi akses bagi warga Rohingya menempuh pendidikan tinggi ke universitas. Mereka juga dilarang memegang jabatan di pemerintahan. Pasangan Rohingya yang sudah menikah dilarang memiliki lebih dari dua anak.

Dokumen CIJA memberikan gambaran tentang birokrasi represif ini, termasuk pembentukan Polisi Penjaga Perbatasan baru pada tahun 2013, sebuah kesatuan yang difasilitasi senjata dan kendaraan untuk mencegah “dominasi orang India dan Bengali”, menurut dokumen tahun 2014 dari departemen yang dikendalikan militer.

Dokumen tersebut menjabarkan sebuah “proyek nasional” yang akan memaksa warga “Bengali” yang tidak mau diperiksa oleh pihak berwenang untuk meninggalkan negara itu.

Hal ini serupa dengan operasi pada tahun 1977 yang telah mengusir ratusan ribu Muslim Rohingya. Operasi semacam itu “harus dilaksanakan seperti sebelumnya, ketika muncul pencampuran antaretnis,” jelas dokumen itu.

Kesempatan untuk mengimplementasikan rencana ini muncul pada 9 Oktober 2016 dini hari. Sekelompok orang Rohingya menyerbu beberapa pos penjaga perbatasan di negara bagian Rakhine utara, yang menewaskan sembilan petugas polisi. Tentara menutup daerah itu dan mulai memburu para penyerang.

Seorang tentara yang membelot, Kapten Nay Myo Thet, mengatakan kepada Reuters bahwa dia bertugas di Rakhine pada saat itu, dalam penyediaan dukungan logistik untuk militer. Dia dan batalionnya diberitahu bahwa mereka sedang melakukan “operasi pembersihan” di Rakhine. Akan tetapi, atasan mereka tidak memberikan perintah khusus tentang apa yang harus diselesaikan.

Mereka seharusnya memberikan target kepada para serdadu, “Siapa pemimpinnya, siapa pengikutnya, senjata apa yang mereka miliki,” jelasnya. Namun ternyata, militer justru “membersihkan” seluruh populasi Muslim Rohingya.

Dia menceritakan penjarahan terjadi di desa-desa Rohingya setelah berhasil dikosongkan. Para serdadu mengambil ternak, furnitur, maupun panel surya yang digunakan warga Rohingya untuk menyediakan daya listrik pada rumah-rumah mereka.

Barang-barang besar dimuat ke truk, di bawah pengawasan seorang perwira senior. Dia juga ditugaskan untuk menangkap tiga ekor kambing milik warga Rohingya untuk dijadikan makan malam bagi para pasukan.

Selama berbulan-bulan, pasukan keamanan menjarah dan membakar desa-desa di Rakhine utara. Sekira 70.000 warga Rohingya menyelamatkan diri ke Bangladesh dalam “operasi pembersihan” itu. Pasukan keamanan melakukan pembunuhan dan pemerkosaan beramai-ramai, menurut laporan kelompok hak asasi manusia dan PBB.

Nay Myo Thet mengatakan dia lalu kabur pada bulan November dan melarikan diri ke negara tetangga.

Pada Februari 2017, militer menyatakan operasi berakhir. Akan tetapi, permusuhan terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya terus berlanjut.

Pada Juli 2017, sekelompok orang bertemu secara rahasia untuk membahas operasi di Rakhine, sebagaimana ditunjukkan salah satu rekaman cache. Mereka yang hadir termasuk Maung Maung Soe, kepala Komando Barat, yang telah mengawasi operasi penumpasan tahun sebelumnya, dan Thura San Lwin, kepala Polisi Penjaga Perbatasan.

Turut hadir pula para Panglima dari Divisi Komando Operasi Militer ke-15 dan beberapa pejabat setempat. Seorang pejabat senior mengatakan bahwa setidaknya 50% dari populasi Rohingya mendukung terorisme. Seorang anggota senior pasukan keamanan mengatakan desa-desa mereka memberikan “perlindungan” kepada kelompok militan.

Maung Maung Soe mengungkapkan rasa frustrasinya tentang kemampuan intelijen pasukan keamanan di desa-desa etnis Muslim. Seorang komandan mengusulkan untuk merekrut “kalar sebagai mata-mata”. “Kalar” adalah cercaan rasial lain bagi umat Islam di Myanmar.

Pada akhirnya, pertemuan rahasia tersebut setuju untuk mengirim petugas kesehatan ke desa-desa Muslim untuk mengumpulkan “informasi berharga”. Mereka juga memutuskan bahwa tindakan militer ini perlu disembunyikan dari dunia luar.

Pembersihan Wilayah 

Pada pertemuan lain di bulan Agustus–antara seorang komandan dan administrator lokal–komandan mengeluh ada terlalu banyak Muslim yang tinggal di dekat detasemen militer. Mereka menyebut mayoritas warga di desa-desa “Bengali” telah “dilatih untuk melakukan aksi terorisme. Akhirnya diputuskanlah untuk menghancurkan rumah dan masjid Rohingya, menurut satu catatan.

Berselang waktu yang tak jauh berbeda, menurut catatan lain, pejabat tingkat nasional dan negara bagian mengunjungi sekelompok biksu Buddha ultranasionalis di negara bagian Rakhine utara, yang mengatakan kepada mereka “imigran gelap Bengali” telah membunuh etnis mayoritas untuk menguasai wilayah tersebut. Salah satu biksu menghasut bahwa tindakan perlu diambil.

Thura San Lwin, kepala Polisi Penjaga Perbatasan, mengatakan kepada para biksu bahwa pasukan akan dikerahkan untuk patroli dan melakukan “pembersihan wilayah”, bekerja sama dengan militer, menurut dokumen itu. Para pejabat meminta para biksu dan penduduk setempat untuk bekerja sama dengan pasukan keamanan dan berbagi informasi.

Pada pertengahan Agustus 2017, ratusan pasukan telah diterbangkan ke Rakhine utara, termasuk dua Divisi Infanteri elit, Divisi ke-33 dan ke-99. Militer mengatakan secara terbuka bahwa mereka berusaha menstabilkan situasi di sana dan bahwa yang mereka sebut “teroris Muslim” telah melakukan pembunuhan, baik terhadap warga etnis Rakhine maupun etnis Muslim.

Pada dini hari 25 Agustus, sekira 30 pos polisi di Rakhine utara diserang oleh sekelompok pria Rohingya, menewaskan 12 anggota pasukan keamanan, kata rezim.

Orang-orang itu sebagian besar tidak terlatih dan sebagian besar membawa tongkat, pisau, dan bom rakitan, menurut PBB. Sebuah kelompok bernama Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), yang mengklaim sedang memperjuangkan hak politik untuk warga Rohingya, mengaku bertanggung jawab atas serangan itu.

Nay Myo Thet dan anggota pasukan keamanan lainnya mengatakan kepada Reuters bahwa mereka terkejut dengan tanggapan militer yang sangat berlebihan terhadap serangan kecil dan tidak terorganisir tersebut, terutama apabila dibandingkan dengan pemberontakan yang dilakukan kelompok bersenjata lokal di Rakhine.

Sebuah catatan kegiatan serdadu yang disusun oleh otoritas militer dan berhasil diperoleh oleh CIJA mencatat, ada 18 serangan pada pagi itu oleh “pemberontak Bengali”, yang dimulai dengan beberapa ledakan dari bom buatan tangan.

Catatan itu tidak menunjukkan adanya kematian pihak pasukan keamanan, meskipun militer mengklaim bahwa serangan tersebut telah membunuh informan Rohingya dan beberapa warga sipil Rakhine.

Keesokan paginya, pembakaran desa Rohingya dimulai. Catatan tersebut menggambarkan “serangan pembumihangusan” di kota Maungdaw di Rakhine, dengan daftar rumah, toko, masjid, dan sekolah bahasa Arab yang dihancurkan.

Pembakaran berlanjut selama berminggu-minggu. Lebih dari 7.000 bangunan tercatat dalam catatan, telah habis terbakar antara 25 Agustus dan pertengahan September. Beberapa pembakaran ditulis berasal dari “pemberontak Bengali.” Sebagian lain ditulis tanpa ada pelaku yang disebutkan.

Moe Yan Naing, seorang kapten polisi yang ditempatkan di Rakhine, mengatakan kepada Reuters bahwa meski tidak ada serangan lagi oleh ARSA setelah 25 Agustus, tetapi atasannya memerintahkan dia dan rekan-rekannya untuk tetap membakar desa-desa Rohingya. Ada banyak mayat bergelimpangan, sebut Moe Yan Naing.

“Pasukan sudah melakukan tembakan ke arah desa sebelum masuk,” ujarnya, mengacu pada desa Inn Din, di mana Reuters menemukan terjadinya pembantaian warga sipil Rohingya. “Mereka menembak dan membunuh siapa pun yang mereka temukan di desa.”

Moe Yan Naing adalah kapten polisi yang bersaksi dalam persidangan jurnalis Reuters, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo pada tahun 2018, yang ditangkap setelah mereka mengungkap pembantaian di Inn Din, dan dipaksa menghabiskan 511 hari di balik jeruji besi.

Moe Yan Naing menyanggah narasi rezim di pengadilan, dengan mengatakan bahwa kedua wartawan itu telah dijebak oleh pihak berwenang. Dia melarikan diri dari negara itu setelah kudeta, karena takut ditangkap oleh pasukan junta.

Sekira 392 desa (40% dari total desa di Rakhine utara) hancur sebagian maupun seluruhnya, menurut penyelidik PBB, yang menyalahkan aksi pembakaran itu kepada pasukan keamanan Myanmar dan penduduk lokal Rakhine.

Menurut CIJA, Panglima Angkatan Darat, Min Aung Hlaing melakukan perjalanan ke Rakhine utara pada periode operasi pengusiran Rohingya. Sebuah dokumen mencatat komentarnya kepada pejabat di Rakhine selama perjalanan. Dia memerintahkan penduduk lokal non-Rohingya untuk tetap di rumah mereka dan mengatakan bahwa dia mengerti, mereka “tidak ingin berdekatan dengan desa-desa Bengali.”

Selama operasi pengusiran Rohingya, para pasukan diberi instruksi untuk menghapus foto-foto yang bisa memberatkan militer, kata Nay Myo Thet.

Dia dan Moe Yan Naing, mantan kapten polisi, mengatakan bahwa anggota pasukan keamanan sengaja menempatkan parang di samping mayat Rohingya yang mati dan mengambil foto sehingga mereka terlihat seperti pemberontak. (Daily Sabah)

 

 

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Bukti Baru Ungkap Fakta Rezim Myanmar Merencanakan Pembersihan Etnis Rohingya (#1)
Anak Perempuan Berusia 9 Tahun Meninggal, Korban Agresi Zionis Bertambah Menjadi 48 Orang »