Tak Ingin Menjadi Generasi yang Tertinggal, Muhajirin Rohingya Berharap Penguatan Pendidikan
12 September 2022, 18:55.

Foto: Anadolu Agency
RIBUAN Muslim Rohingya di kamp pengungsian Bangladesh baru saja menyelesaikan salat Zuhur dan bergerak menuju tenda masing-masing untuk makan siang. Lantunan merdu ayat suci Al-Qur’an oleh anak-anak terdengar dari masjid yang bertempat di kamp no. 12 itu.
Permukiman pengungsi terbesar di dunia ini terbagi menjadi 34 kamp dan menampung lebih dari 1,2 juta Muhajirin Rohingya, yang sebagian besar melarikan diri dari operasi militer brutal di negara asal mereka, Arakan (sekarang bernama Rakhine), Myanmar pada Agustus 2017.
Mohammad Ekram Ullah, 42 tahun, sedang mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak di dalam masjid. Ia yang merupakan imam di masjid itu, secara sukarela menyalurkan ilmunya kepada anak-anak di komunitasnya, bahkan telah berlangsung sampai tiga angkatan.
Sebelum melarikan diri dari genosida di negaranya pada tahun 2017, Ullah merupakan seorang guru di sebuah pesantren Islam di sana. Ratusan anak belajar Al-Qur’an bersama dengan pendidikan tradisional di pondok itu.
“Sekarang, saya berusaha membuat anak-anak kami sibuk membaca Al-Qur’an di sekolah agar akhlak mereka terjaga baik dan tidak terjerumus dalam hal-hal yang tak berfaedah,” ucap Ullah kepada Anadolu Agency.
Ullah mengatakan, karena status mereka sebagai “warga Myanmar yang telantar,” dan bukan pengungsi, para Muhajirin Rohingya di kamp pengungsian Bangladesh hanya diperbolehkan mengikuti pendidikan dasar di sejumlah pusat pembelajaran yang disetujui oleh pemerintah.
“Sudah, kami telah melewati lima tahun di sini sejak gelombang eksodus terakhir. Ratusan anak kami telah putus sekolah dan banyak anak-anak tumbuh tanpa pendidikan dasar yang dibutuhkan dan tidak ada peluang untuk menempuh perguruan tinggi,” jelas Ullah.
Ullah mengatakan, etnis Rohingya berisiko tinggi tak memiliki sosok pemimpin di masa depan.
Pembatasan Pendidikan yang Merampas Hak Rohingya
Ayah dari tiga anak, Abdul Hamid mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa pendidikan bukan merupakan hak istimewa, tetapi hak dasar setiap manusia. Putra sulungnya seharusnya sudah belajar di tingkat menengah.
“Akan tetapi, saya tidak memiliki kesempatan di Bangladesh untuk melanjutkan pendidikan putra saya. Sekarang, saya khawatir akan nasib dua anak saya yang lain dan apakah saya dapat memberikan pendidikan, meski hanya pendidikan dasar untuk mereka,” terang Hamid.
Ia kemudian bertanya: Apa yang akan terjadi di masa depan bagi generasi berikutnya jika mereka tidak berpendidikan?
Sebelumnya, Bangladesh telah melarang aktivitas ribuan sekolah rumahan yang dijalankan oleh para pemuda Muhajirin Rohingya yang berpendidikan.
“Pada Desember 2021, Bangladesh berbalik arah dan melarang semua fasilitas pendidikan yang dibentuk oleh para pengungsi Rohingya berikut sekolah-sekolah rumahan, yang berdampak terhadap sekira 32.000 siswa,” terang Human Rights Watch (HRW) bulan Maret lalu.
Lembaga HAM yang berbasis di New York itu menyatakan bahwa pemerintah Bangladesh telah memperketat aturan untuk membatasi anak-anak Muhajirin dari akses apa pun ke pendidikan formal, setelah bertahun-tahun dengan sengaja menghilangkan sekolah yang layak bagi mereka.
Butuh Lebih Banyak Dukungan
Menurut sebuah pernyataan pada April 2019 oleh PBB dan International Organization for Migration (IOM), hampir setengah dari 540.000 anak Muhajirin Rohingya di bawah usia 12 tahun telah terputus dari pendidikan.
“Sisanya, hanya memiliki akses ke sekolah yang sangat terbatas. Hanya segelintir anak remaja yang saat ini dapat mengakses segala bentuk pendidikan maupun pelatihan,” sebutnya.
Ketua European Rohingya Council (ERC), Ambia Perveen, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa bila pendidikan tak segera disediakan, termasuk di tingkat yang lebih tinggi, masa depan akan sangat suram bagi etnis Muslim Rohingya.
“Kita tidak boleh lupa bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia, tanpa perlu memandang warna kulit, latar belakang, dan agama,” ucap Perveen, seraya menambahkan bahwa Rohingya harus diberi “pena dan kertas” beserta hak-hak dasar lainnya, untuk menulis sejarah mereka sendiri.
“Karena kami tidak tahu berapa tahun lagi yang dibutuhkan untuk memulai repatriasi yang berkelanjutan, pemerintah Bangladesh dan masyarakat internasional harus fokus pada pendidikan bagi warga Rohingya di kamp-kamp pengungsian. Karena kami pun tidak diberi akses pendidikan ke luar,” jelasnya.
ERC juga memperingatkan bahwa jika anak-anak tidak dididik, mereka akan menjadi sasaran pelecehan; termasuk pernikahan di bawah umur, peredaran narkoba, dan perdagangan manusia.
“Akibatnya, mereka tidak hanya akan menjadi ancaman lokal dan regional, tetapi juga bagi seluruh dunia,” katanya. (Anadolu Agency)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.