Akibat Lockdown, Muslim Uyghur Kelaparan dan Keluarganya Tercerai-berai

16 September 2022, 13:29.
Ili, juga dikenal dengan Yili di wilayah barat Cina, Xinjiang, telah di-lockdown selama lebih dari 40 hari. (AP: Mark Schiefelbein)

Ili, juga dikenal dengan Yili di wilayah barat Cina, Xinjiang, telah di-lockdown selama lebih dari 40 hari. (AP: Mark Schiefelbein)

(abc.net.au) – Namanya Mat, warga Adelaide, Australia. Ia mengisahkan, saudara iparnya di Cina tidak dapat kembali ke rumah untuk merawat ketiga anaknya selama lima minggu, sejak pemberlakuan lockdown Covid-19 di Turkistan Timur (Xinjiang).

“Dia bekerja di sebuah pabrik, sedangkan suaminya bekerja di pabrik yang berbeda,” kata Mat, seorang Uyghur Australia yang tidak ingin menggunakan nama lengkapnya untuk alasan keamanan.

“Saat lockdown (mulai), mereka dikurung di tempat kerja dan tidak diizinkan pulang. Anak-anak sendirian. Suaminya bernegosiasi dengan pabrik dan berhasil pulang setelah tiga minggu, tetapi saudara perempuan istri saya masih di pabrik tanpa baju ganti.”

Kata Mat, anak bungsu dari tiga bersaudara itu baru berusia empat atau lima tahun, dan yang tertua berusia 13 tahun.

“Anak-anak harus berbicara melalui telepon untuk melakukan apa saja yang diminta ibunya.”

Keluarga itu tinggal di Ili, Prefektur Kazakh di Xinjiang. Ini adalah salah satu dari setidaknya enam lokasi di Xinjiang yang mengalami lockdown dengan berbagai tingkat keparahan.

Pada hari Selasa lalu, pihak berwenang Cina melaporkan hanya ada satu kasus terkonfirmasi positif Covid-19 untuk seluruh wilayah Xinjiang, rumah bagi 12 juta orang Uyghur. Sedangkan 25 orang lainnya dinyatakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala. Enam dari kasus tanpa gejala itu berada di Ili.

Pekan lalu, setidaknya 33 kota dilaporkan di-lockdown di bawah kebijakan zero-Covid. Akan tetapi, tidak seperti kondisi di wilayah lainnya, lockdown di Xinjiang sulit diketahui publik akibat sensor ketat internet.

Lockdown Xinjiang terjadi ketika Komisaris HAM PBB, Michelle Bachelet, merilis laporan yang memerinci tuduhan serius pelanggaran HAM Cina terhadap Uyghur dan etnis minoritas lainnya. Laporan itu menyimpulkan ada “pola penyiksaan” dalam apa yang disebut Cina sebagai “pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan”.

Tahanan Rumah

Ratusan orang dari komunitas Uyghur menghadiri protes di Adelaide, Australia, Selasa lalu. Mereka menyerukan penghentian pelanggaran HAM di Xinjiang.

Kata Adam Turan, seorang pemimpin komunitas Uyghur di Australia, meskipun bertahun-tahun mengadvokasi pelanggaran HAM di tanah airnya, keadaan tidak menjadi lebih baik.

“PBB baru saja merilis laporan bahwa ada kamp dan jutaan orang berada di kamp. Sekarang, kami di-lockdown,” ujarnya.

Inty Elham, aktivis HAM Uyghur Australia, mengaku mendapat informasi tentang lockdown dan kelaparan di Ili dari teman-teman etnis Han yang tinggal di sana. Dia merasa amat prihatin, sedangkan warga Uyghur terlalu takut untuk berbicara.

“Semua video dan pesan suara mengerikan yang muncul di media sosial menunjukkan banyak warga yang berteriak minta tolong. Kami juga melihat video otoritas Cina yang secara nyata menendangi dan mendorong orang-orang yang berteriak minta tolong,” ujar Elham.

Elham meyakini bahwa lockdown ini hanyalah taktik untuk menargetkan orang-orang yang kemudian dibawa ke kamp konsentrasi.

“Sesungguhnya, selain terjadi pelanggaran HAM yang parah, warga Uyghur yang berada di luar kamp seperti berada dalam tahanan rumah. Mereka dikunci dalam waktu yang panjang. Sudah 40 hari,” kata Elham.

Lotfi Taranchi, pria Uyghur yang tinggal di Norwegia, mengisahkan kepada ABC tentang sebuah video. Ada tayangan yang diposting di media sosial tentang saudara iparnya di Ili, Abdulla Ablimit, yang pingsan dan jatuh ke tanah. Istri Taranchi tidak bisa berhenti menangis setelah melihat video itu pada hari Ahad lalu.

Menurut Taranchi, Ablimit sakit infeksi TBC dalam tahanan kamp konsentrasi di Ili. Dia kemudian dipulangkan. Taranchi dan istrinya sungguh khawatir dengan kondisi kesehatannya, namun mereka tidak berani melakukan kontak dengan keluarga di Xinjiang.

“Kami sudah lama kehilangan kontak dengan keluarga kami, padahal kami ingin tahu bagaimana keadaan mereka,” ujarnya.

Hanya Tersisa Minyak Goreng dan Tepung

Seorang wanita Uyghur yang tinggal di Adelaide, yang juga tidak ingin disebut namanya, mengatakan bahwa bibinya di Ili hanya memiliki minyak goreng dan tepung yang tersisa di rumah awal pekan ini.

“Dia menangis histeris melalui telepon. Katanya, situasi semakin buruk dan orang-orang tidak mendapatkan makanan dan obat-obatan. Satu-satunya cara dia bisa mendapatkan sayuran adalah dari tetangganya yang beretnis Han. Dia tidak tahu bagaimana tetangga itu menerima suplai makanan,” kisahnya.

Warga Adelaide itu mengaku sedih karena lockdown telah menyebabkan kondisi warga Uyghur semakin sulit. Di sisi lain, mereka takut dihukum jika mengontak atau meminta bantuan ke pihak lain, atau menceritakan kisahnya secara terbuka tentang kehidupan mereka. Banyak yang telah menghapus koneksi media sosial dengan teman dan keluarga yang tinggal di luar negeri, karena koneksi tersebut dapat membuat mereka bermasalah di Cina.

“Mereka meminta bantuan (saya) karena tidak punya pilihan dan mereka mempertaruhkan nyawa (untuk menghubungi kami). (Jika tidak) mereka mungkin mati karena kelaparan.”

Radio Free Asia melaporkan bagaimana penduduk di Yining, ibu kota Ili, melakukan protes di jalan-jalan setelah dikunci di rumah dengan persediaan makanan yang terbatas. Banyak yang kemudian ditangkapi oleh polisi, kata laporan itu.

Meskipun rezim komunis Cina melakukan sensor ketat di media sosial, tetap ada saja postingan yang tersebar luas. Misalnya video tentang kelaparan dan minimnya perawatan medis.

Pekan lalu viral di Weibo–tetapi kemudian disensor–seorang ibu Uyghur yang mengirim video tentang anak-anaknya yang demam tinggi. Dia mengirimnya ke grup WeChat pejabat setempat, memohon dokter agar memeriksa anak-anaknya. Pihak pemerintah menanggapinya secara online dan mengatakan anan-anak itu telah diberi obat dan telah pulih.

Ada pula video yang diposting di WeChat oleh orang-orang yang tinggal di Ili, menunjukkan seorang pria di bawah lampu jalan yang redup, mengatakan, “Jika ada di antara Anda yang mengatakan satu kata tentang Ghulja, secara sadar atau tidak, itu saja, itu sudah cukup.”

Ghulja adalah kata Uyghur untuk Ili.

ABC telah menghubungi kedutaan Cina untuk memberikan komentar terkait kondisi terkini di Xinjiang, tetapi belum ada tanggapan. (abc.net.au)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Anak Palestina Tewas Dibunuh Serdadu Penjajah yang Melakukan Serangan Dini Hari di Jenin
VIDEO – 40 Tahun Pembantaian Sabra dan Shatila, Tak Ada Pelaku yang Diseret ke Meja Hijau »