Turkistan Timur: Ada Lima Masjid di Kota Saya, Empat Dihancurkan
21 September 2022, 07:54.

Seorang wanita memegang poster bertuliskan ‘Cina sedang menghancurkan masjid bersejarah di Turkistan Timur’ (sebutan yang dipakai warga Uyghur untuk wilayah Xinjiang) pada saat aksi protes yang dilakukan komunitas Muhajirin Uyghur di depan gedung Kedutaan Cina di Istanbul, 2 Juni 2021. Foto: Associated Press
AMNESTY INTERNATIONAL – Kejahatan rezim komunis Cina terhadap kaum Muslimin di Turkistan Timur (Xinjiang) terus berlangsung hingga kini. Amnesty International tak henti menerima laporan tentang kekejaman itu, utamanya dari para korban maupun keluarganya yang berhasil meloloskan diri.
Antara Januari hingga Juni 2022, Amnesty mengunjungi kawasan Asia Tengah dan Turki untuk mewawancarai orang-orang yang baru saja meninggalkan Turkistan Timur dan anggota keluarga mereka yang ditahan secara sewenang-wenang.
Banyak di antara mereka yang takut untuk berbicara secara terbuka tentang pengalaman mereka. Mereka takut akan pembalasan terhadap anggota keluarga yang masih tinggal di Turkistan Timur. Akan tetapi, ada enam orang yang melarikan diri antara akhir 2020 dan akhir 2021 yang mau berbicara, dengan syarat anonim.
Mereka menggambarkan kehidupan penuh penindasan tanpa henti di Turkistan Timur. Ada pelanggaran berat terhadap hak atas kebebasan dan keamanan, privasi, kebebasan bergerak, berpendapat dan berekspresi, pikiran, hati nurani, agama dan kepercayaan, budaya, kesetaraan dan non-diskriminasi, serta kerja paksa.
Masjid Dihancurkan
Seorang pria etnis Kazakh meninggalkan Turkistan Timur pada awal 2021. Ia mengatakan kepada Amnesty bagaimana orang-orang di kotanya kini tidak dapat beribadah.
“Agama tetap dibatasi (tahun 2021) … Ada lima masjid (di kota saya), empat dihancurkan … Masjid yang tersisa, terus dijaga dan diawasi … Tidak ada yang (berani) ke masjid … Mungkin (orang-orang beribadah) di kegelapan malam dengan jendela tertutup, dalam keheningan,” katanya.
Ada lagi pria etnis Kazakh lainnya, namanya Erbolat. Amnesty mewawancarai ibunya. Katanya, Erbolat ditangkap pada Maret 2017, ditahan di kamp konsentrasi selama satu tahun, kemudian dijatuhi hukuman penjara 17 tahun. Ibunya menduga bahwa Erbolat ditangkap semata-mata karena rajin beribadah.
“Saya merindukan anak saya … Saya sudah tua. Impian saya adalah meninggal ketika dia bersama saya,” katanya.
Seorang etnis Kazakh juga berkisah tentang kerabatnya yang bernama Berzat. Ia ditangkap pada April 2017 karena dituduh sebagai “pengkhianat negara”. Kerabat itu percaya bahwa Berzat ditangkap sebab etnisnya dan berencana pindah ke Kazakhstan. Setelah satu tahun ditahan di kamp, Berzat dijatuhi hukuman penjara 17 tahun.
“Dia seorang petani. Tiba-tiba, karena dia ingin pindah ke Kazakhstan, polisi menangkapnya … Dia bukan ekstremis, bukan teroris,” kata kerabat Berzat tersebut.
Sementara seorang wanita etnis Uyghur yang kini tinggal di Turki, berkisah tentang kakaknya yang bernama Muherrem. Guru sekolah dasar ini hilang pada Agustus 2021, beberapa saat setelah memposting video di profil WeChat-nya tentang keluarganya yang merayakan Idulfitri.
Keluarganya percaya bahwa Muherrem ditahan karena ia etnis Uyghur dan putranya pernah belajar di Turki, sebelum kembali ke Urumqi untuk belajar kedokteran gigi.
Pada tahun 2020, ibu Muherrem juga dibawa ke kamp konsentrasi. Kerabat yang berada di Turki mencoba mencari tahu lebih detail tentang hal itu kepada keluarga yang masih berada di Turkistan Timur, namun hanya dijawab, “Jangan tanya. Mereka sudah pergi.”
Sistematis
Orang-orang di atas hanya sebagian kecil dari kemungkinan ratusan ribu orang yang ditahan secara sewenang-wenang di Turkistan Timur. Amnesty pernah menampilkan kisah-kisah dari 126 orang di antara mereka, ketika mengampanyekan Free Xinjiang Detainees beberapa waktu lalu.
Menurut Amnesty, jika saat ini Dewan HAM PBB tidak juga bertindak atas kejahatan Cina, itu sama saja mengabaikan para penyintas dan keluarga korban. Padahal mereka telah bertaruh nyawa dan membahayakan keselamatan diri ketika mau berbicara tentang kondisi di Turkistan Timur.
“Pada tahun 2022, kelompok etnis Muslim terus menghadapi penganiayaan yang meluas dan sistematis di Xinjiang. Kejahatan Cina terhadap kemanusiaan dan pelanggaran serius lainnya, melanggar hak-hak dasar dan mengancam akan menghapus identitas agama dan budaya mereka,” kata Agnes Callamard, Sekjen Amnesty International.
“Kegagalan komunitas internasional untuk mengambil tindakan berarti akan memperkuat Cina untuk melanjutkan pelanggaran yang sedang berlangsung dan menutup-nutupi. Dewan HAM PBB harus mengamanatkan mekanisme investigasi internasional sekarang, untuk mengakhiri impunitas Cina,” tutup Agnes. (Amnesty International)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.