Warga Palestina di Al-Khalil, Terjepit di Antara Senjata Serdadu Zionis dan Kebengisan Pemukim Ilegal Yahudi
29 September 2022, 11:16.

Zalim: Gerombolan serdadu zionis yang sering menangkapi warga Palestina di Al-Khalil (Hebron) tanpa alasan. Foto: ISM Palestina
(The Guardian) – Tahun ajaran baru sekolah telah dimulai. Musim panen juga sudah dekat. Akan tetapi, beberapa pria dan anak laki-laki di Masafer Yatta, Al-Khalil, harus disibukkan dengan urusan tempat tinggal, karena rumah-rumah mereka telah dihancurkan oleh serdadu ‘Israel’.
Di Khribet al-Fakhiet, sebuah desa terpencil di Tepi Barat terjajah, warga menggunakan derek dan truk pickup untuk membersihkan gua. Gua itu difungsikan untuk menampung kambing dan domba. Seluruh warga hingga hewan ternak harus segera dapat tempat sebelum musim dingin tiba.
“Kami tidak punya pilihan,” kata Muhammad Ayoub, kepala keluarga besar beranggotakan 17 orang. “Kami telah tidur di klinik desa sejak rumah kami dihancurkan, tetapi kami harus mencari alternatif lain.”
The Guardian bertemu keluarga itu pada bulan Mei lalu, tepat setelah keputusan Mahkamah Agung ‘Israel’ yang mengubah hidup 1.000 atau lebih warga Palestina di kumpulan dusun Masafer Yatta. Rumah Ayoub dihancurkan dengan buldoser dalam sebuah operasi yang diawasi oleh gerombolan serdadu zionis beberapa minggu setelah keputusan itu. Keluarga besar Ayoub akhirnya harus tinggal di tenda sepanjang musim panas.
Pengusiran Terbesar
Penjajah ‘Israel’ menetapkan area seluas 3.000 hektare di perbukitan Al-Khalil selatan yang tandus sebagai zona pelatihan militer pada tahun 1980-an. Empat bulan lalu, Mahkamah Agung menyetujui argumen penjajah zionis yang menyatakan bahwa orang-orang yang tinggal di Masafer Yatta tidak dapat menunjukkan bukti mereka adalah penduduk sah sebelum zona tembak ditetapkan.
Jelas keputusan itu bertentangan dengan hukum internasional. Ini sekaligus menjadi salah satu keputusan pengusiran terbesar sejak penjajahan ‘Israel’ atas wilayah Palestina tahun 1967.
Warga, rumah, ternak, mata pencaharian semuanya terancam. Sementara serdadu ‘Israel’ dan para pemukim haram Yahudi terus mengusir warga Palestina agar angkat kaki dari kampung halaman mereka.
Kehidupan di Masafer Yatta selama ini pun sebenarnya sudah sulit. Di wilayah yang terletak di Area C ini, penduduknya tergolong jarang dan berada di bawah kendali penuh penjajah ‘Israel’. Sebagian besar warga berprofesi sebagai penggembala, memelihara kambing dan domba. Jika musim panas akan terasa amat terik, sedangkan musim dinginnya membeku.
Tangki air warga, panel listrik tenaga surya, jalan, dan bangunan di Masafer Yatta sering dihancurkan penjajah ‘Israel’. Alasannya, warga dianggap tidak memiliki izin bangunan, padahal untuk mengurus izin resmi pun sesuatu yang mustahil.
Setelah keputusan Mahkamah Agung, situasinya menjadi lebih buruk. Pembongkaran dan penghancuran bangunan dilakukan membabi buta. Di Khallet Athaba’, misalnya, 80 orang warga semuanya terusir.
Gerombolan serdadu ‘Israel’ juga terus latihan perang di area itu, sering kali tembakan merekamerusak bangunan warga. Selongsong peluru dan puing-puing senjata berserakan di mana-mana, dan sewaktu-waktu bisa meledak dan menghancurkan apa saja di sekitarnya.
Banyak warga yang diusir, termasuk dari lahan penggembalaan ternak. Tempat tinggal mereka kemudian dikuasai oleh pemukim ilegal Yahudi.
Beberapa lembaga kemanusiaan berusaha menyuplai air, pakan ternak, dan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Akan tetapi, setelah kawasan itu ditetapkan sebagai zona tembak, banyak lembaga yang akhirnya putar balik. Terlebih lagi, mengurus izin perjalanan juga dipersulit oleh penjajah.
Setelah terusir dari kampung halaman, aktivitas warga Palestina terus dibatasi. Ada banyak pos pemeriksaan yang benar-benar mengisolasi desa-desa. Warga yang bepergian akan diinterogasi dan ditahan oleh serdadu penjajah, kadang hingga berjam-jam. Belum lama ini sekitar 60 mobil warga disita karena dianggap tidak punya izin.
Warga yang hendak beraktivitas, harus kucing-kucingan dengan serdadu zionis. Mereka biasanya menelepon kerabat atau kenalan di desa lain, untuk mengetahui pergerakan serdadu dan personel lapis baja zionis. Jika jalan-jalan utama penuh dengan serdadu, maka warga harus memutar jauh lewat jalan alternatif yang tak beraspal.
Oleh karena itu, kini banyak warga yang lebih mengandalkan transportasi keledai daripada mobil. Ketika keliling di kawasan itu, The Guardian mengendarai satu dari sedikit mobil milik warga Palestina yang masih tersisa dan mendapat izin untuk melakukan perjalanan. Saat itu, tidak ada warga yang berani mengendarai mobil melewati pos pemeriksaan.
Tidak Akan Pergi
Menurut serdadu penjajah, kawasan zona tembak adalah area militer tertutup. Siapa saja yang masuk ke wilayah tersebut tanpa izin, akan terkena tindak pidana. Oleh karena itu, serdadu penjajah ditempatkan di semua pintu masuk ke zona tembak. Serdadu zionis juga beroperasi secara rutin untuk memantau aktivitas sehari-hari warga sipil di daerah tersebut.
Warga Palestina seperti terus dikejar-kejar gerombolan serdadu zionis. Itulah yang dirasakan oleh Mina dan Muhammad Abu Aram, warga Mirkez, sebuah dusun di dataran tinggi Al-Khalil.
Suatu hari Mina dan Muhammad membawa putra mereka yang berusia tiga tahun, Ammar, ke sebuah rumah sakit di kota Al-Khalil.
“Ammar lahir dengan kelainan jantung. Dia membutuhkan obat setiap hari, dan harus sering ke rumah sakit. Minggu lalu kami dihentikan oleh serdadu, dan mereka menyita mobil kami. (Muhammad) dibawa ke pos pemeriksaan, dan meninggalkan saya dan Ammar di pinggir jalan,” kata Mina.
“Kami memberitahu mereka bahwa Ammar memiliki janji medis, tetapi mereka tidak peduli. Butuh dua jam bagi suami saya untuk berjalan kembali kepada kami.”
Warga Masafer Yatta tidak hanya berurusan dengan serdadu penjajah, tetapi juga jumlah pemukim ilegal Yahudi yang terus meningkat. Banyak di antara mereka itu berwatak bengis.
“Para serdadu mendorong dari barat, dan pemukim dari timur, menekan kami ke segala arah,” kata Nidal Younes, kepala dewan desa Masafer Yatta.
Banyak warga yang terpaksa pindah ke lokasi lain, misal di kota Yatta. Akibatnya, anak-anak kesulitan sekolah. Mereka sering terlambat rata-rata satu jam setiap pagi, karena harus menempuh perjalanan jauh dan melewati pos-pos pemeriksaan. Bahkan staf dari Yatta juga sering ditolak masuk, ditahan, atau mobilnya disita.
Rutinitas semacam itu terjadi tiap hari. Orangtua dari sekitar 20 anak akhirnya memilih pindah sekolah agar lebih dekat dengan lokasi tempat tinggal mereka kini.
“Setiap hari lebih buruk dari sebelumnya,” kata Bisan, seorang siswa berusia 17 tahun. “Ini adalah situasi yang berbahaya dan saya telah berpikir untuk berhenti sekolah, tetapi saya tidak melakukannya. Itulah yang mereka (‘Israel’) inginkan.”
“Saya telah menjadi penggembala sepanjang hidup. Saya belum pernah ke ‘Israel’ (wilayah Palestina yang kini dijajah ‘Israel’-ed), tetapi mungkin saya harus menjual kambing dan mengajukan izin kerja di sana,” kata Muhammed Ayoub, penggembala yang kini telantar.
Di lokasi bekas kebun Ayoub, sebuah drum minyak tua digunakan untuk melindungi pohon zaitun dari ancaman buldoser penjajah.
“Ini tanah kami. Ini rumah kami. Apa pun yang terjadi, kami tidak akan pergi,” katanya. (The Guardian)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.