Pembunuhan, Penyiksaan, dan Pemerkosaan Warga Uyghur: Realitas Harian di Turkistan Timur
4 October 2022, 05:14.

Dokter Uyghur, Calvinul Kamal yang bersaksi tentang pelecehan dan sterilisasi paksa wanita Uyghur oleh rezim Cina.
TURKISTAN TIMUR (Japanforward.com) – Pada 12 September 2022, terdapat sebuah konferensi yang diadakan di Hunter College, di jantung kota New York. Konferensi itu mengangkat tema: genosida terhadap orang-orang Uyghur yang dilakukan oleh Partai Komunis Cina (PKC).
Para akademisi, aktivis, penulis, dan pejabat publik naik ke panggung di Roosevelt House Public Policy Institute untuk memerinci kejahatan yang dilakukan pemerintah Cina tersebut.
Judul “Kekejaman terhadap Uyghur: Hukum dan Politik,” memperjelas bahwa genosida Uyghur tidak hanya teoretis, tetapi benar-benar kejadian yang nyata.
Seperti yang disampaikan Jessica Neuwirth, direktur program HAM Rita E. Hauser di Institut Kebijakan Publik Roosevelt House, selama konferensi, bahwa “Ini bukan sekadar angka statistik. Ini benar-benar orang yang nyata.”
Di antara mereka yang berbicara, banyak yang telah mengalami langsung genosida itu sendiri. Sebagian besar memiliki anggota keluarga yang masih hilang maupun dipenjara di jaringan luas kamp konsentrasi Cina di Turkistan Timur, yang oleh penjajah komunis Cina disebut “Xinjiang.”

Seorang petugas polisi Tiongkok bertugas di dekat “pusat pendidikan kejuruan” di Yining, Xinjiang, 4 September 2018. (REUTERS/Thomas Peter/Arsip)
‘Kamp Konsentrasi Bergaya Nazi’
Pidato utama pada konferensi kekejaman terhadap Uyghur tersebut disampaikan oleh Nury Turkel, anggota senior di Institut Hudson, Ketua Commission on International Religious Freedom di Amerika Serikat, dan penulis memoar berjudul “No Escape: The True Story of China’s Genocide of the Uyghurs”.
Turkel tidak berbasa-basi. Dia memberi tahu hadirin secara lugas dan tegas apa yang sedang terjadi di Turkistan Timur, dan apa artinya bagi dunia.
“Partai Komunis Cina (PKC) mengoperasikan ‘kamp konsentrasi dan penjara bergaya Nazi’,” ucap Turkel. Bangsa Uyghur, lanjutnya, menghadapi pemerkosaan, penyiksaan, pengurangan makanan dan air, dan pendidikan ulang politik yang konstan dan sistematis.
Lebih dari 800.000 anak telah dipisahkan dari keluarga mereka, lanjut Turkel. Pemisahan anak-anak dari keluarga mereka adalah salah satu kriteria genosida.
“PKC saat ini membuat orang-orang Uyghur kelaparan sampai mati dengan kedok langkah-langkah penanganan Covid,” tegas Turkel, merujuk pada kebijakan “nol-covid” yang kejam sebagai upaya melakukan kontrol sosial yang menyeluruh.
Warga Uyghur dilarang melakukan aktivitas normal sehari-hari, termasuk berbelanja bahan makanan. Akibatnya, banyak yang kelaparan, kata Turkel kepada hadirin, dan tak sedikit yang meninggal.
Respons Lambat terhadap Genosida
Dengan lantang Turkel mengatakan, “Rezim Cina menghadirkan ancaman eksistensial bagi tatanan dunia.” Ia melanjutkan, “PKC tidak memandang dirinya mampu hidup berdampingan” dengan kemanusiaan.
Sayangnya, baru akhir-akhir ini pemerintah di seluruh dunia mulai mengambil langkah untuk mengakui bahwa genosida Cina terhadap Uyghur adalah fakta.
Pada awal 2021, Amerika Serikat menyatakan bahwa tindakan Partai Komunis Cina di Xinjiang merupakan genosida. Inggris dan Kanada mengikutinya.
Michelle Bachelet, yang hingga 31 Agustus 2022 menjabat sebagai Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, mengeluarkan laporan tentang pelanggaran HAM di Turkistan Timur 13 menit sebelum masa jabatannya berakhir.
Laporan tersebut berbicara mengenai pemerkosaan, aborsi paksa, dan peningkatan drastis atas penahanan selama beberapa tahun terakhir. Ia juga menyatakan bahwa situasi di Turkistan Timur “dapat tergolong sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Akan tetapi, Turkel menganggap laporan Bachelet telah diperlunak, “Cina diizinkan untuk mengedit laporan itu.” Orang-orang Uyghur, katanya, telah membayar “harga yang sangat mahal” akibat respons yang lambat dari komunitas internasional.
Para Perempuan Disiksa
Michelle Bachelet adalah seorang wanita. Akan tetapi, dari laporannya tersebut, tampaknya ia mengabaikan tingkat pelanggaran HAM yang dilakukan di Turkistan Timur terhadap perempuan.
Setelah pidato utama Turkel, tiga panel menyajikan perincian lebih lanjut mengenai genosida Uyghur oleh Republik Rakyat Tiongkok. Yang paling membuat terhenyak adalah kekejaman yang hampir tak terbayangkan yang dilakukan PKC terhadap para Muslimah Uyghur.
Rushan Abbas, pendiri dan direktur Campaign for Uyghurs (yang dinominasikan pada tahun 2022 untuk Hadiah Nobel Perdamaian), berbicara tentang saudara perempuannya. Negara Cina membawa saudara perempuan Abbas ke kamp lebih dari empat tahun lalu karena advokasi Abbas atas nama Uyghur. Dia divonis 20 tahun penjara, tanpa ada proses peradilan.
Wanita di kamp konsentrasi menghadapi sterilisasi dan aborsi paksa, kata Abbas.
“Tubuh wanita adalah medan pertempuran bagi kekerasan seksual PKC,” ia melanjutkan, “di mana para feminis?”
Jewher Ilham, juru bicara Coalition to End Uyghur Forced Labor, telah kehilangan ayahnya, seorang intelektual Uyghur terkenal, di kamp konsentrasi Xinjiang. Dia ditangkap di bandara bersama putrinya, Jewher, saat bersiap-siap untuk naik pesawat ke Amerika Serikat.
Ilham menyelamatkan diri ke Amerika sendirian. Sementara ayahnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dengan alasan “separatisme.” Ilham tidak tahu di mana dia sekarang.

Rizwangul NurMuhammed (https://twitter.com/Rizwangvl)
Mencari dari Kejauhan
Rizwangul NurMuhammed, yang bekerja di yayasan Justice for All di Selandia Baru, mengatakan bahwa setiap rumah tangga Uyghur telah dilucuti kehormatannya.
Rezim komunis Cina menangkapi anggota keluarga laki-laki Uyghur, termasuk saudaranya, lalu membiarkan para perempuan menjadi sasaran “nikah paksa” dengan etnis Han Cina.
Sekira satu juta wanita Uyghur, katanya, telah dipaksa untuk “menerima” pria Han di rumah yang anggota keluarga laki-lakinya telah dibawa pergi. Pria Han itu diperbolehkan tidur di ranjang yang sama dengan wanita Uyghur.
“PKC melakukan ini untuk mempermalukan wanita Uyghur,” jelas NurMuhammed.
“Setelah serangan teroris 9/11 di Amerika Serikat, PKC melabeli Uyghur sebagai ‘teroris’ dan menyebut Islam sebagai ‘penyakit’,” katanya. Nikah paksa adalah cara untuk menghancurkan nilai-nilai Islam dari bangsa Uyghur, lanjutnya.
Zubayra Shamseden, koordinator di Uyghur Human Rights Project dan wakil presiden World Uyghur Congress periode 2021-2024, berbicara mengenai pembantaian Uyghur tahun 1997 oleh rezim komunis Cina. Saudara laki-laki Shamseden dan anggota keluarga lainnya ditangkap setelah pembantaian itu dan ia belum melihat mereka lagi sampai sekarang.
“Saya adalah saksi atas kekejaman itu,” ungkapnya.
Kerangka Hukum Genosida Uyghur
Di antara panelis lainnya adalah anggota senior dan direktur Studi Cina di Victims of Communism Memorial Foundation, Adrian Zenz, yang membantu menempatkan pengalaman para korban ke dalam konteks hukum dan sejarah.
Zenz mencatat bahwa Chen Quanguo, mantan administrator Tibet, dikirim ke Xinjiang pada 2016. Di sana, Chen menerapkan rencana lima tahun untuk “menenangkan” wilayah mayoritas Muslim tersebut.
Berbagai dampak yang dihasilkan dari penganiayaan yang berkelanjutan dan terprogram terhadap Uyghur ini sangat mengerikan, jelas Zenz. Bahkan berdasarkan statistik PKC sendiri, Zenz menunjukkan, telah terjadi penurunan angka kelahiran secara drastis di Turkistan Timur.
Selama Perang Dunia II di Eropa, ia menuturkan, telah terjadi “genosida cepat”. Akan tetapi, di Turkistan Timur saat ini, PKC sedang melakukan “genosida perlahan”.
“Ini adalah serangan sistematis di berbagai tingkatan,” ungkap Zenz. (bersambung | Japanforward.com)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.