Kelompok HAM Desak Rezim Thailand untuk Tak Mendeportasi Muhajirin Uyghur ke Cina
7 November 2022, 17:49.
Kelompok HAM Desak Rezim Thailand untuk Tak Mendeportasi Muhajirin Uyghur ke Cina
THAILAND (The Diplomat) – Laporan terbaru tentang Muslim Uyghur yang terjebak di tahanan Thailand, membawa kembali kenangan–bukan kenangan yang baik–yang menunjukkan bagaimana tunduknya Thailand kepada Cina.
Selama bertahun-tahun, banyak warga Uyghur melarikan diri dari tanah airnya di Turkistan Timur (sekarang bernama Xinjiang) untuk menghindari penganiayaan yang dilakukan rezim komunis Cina, dengan menyeberang ke daratan Asia Tenggara.
Namun, tak sedikit dari mereka yang mencoba melewati Thailand, berakhir di pusat-pusat penahanan dengan ancaman serius, yakni dikirim kembali secara paksa ke Cina oleh pemerintah Thailand.
Berbagai laporan menunjukkan bahwa sebanyak 50–60 Muhajirin Uyghur saat ini telah ditahan di seantero negeri Gajah Putih.
Pada bulan Juni, kelompok-kelompok hak asasi manusia mendesak pemerintah Thailand untuk tidak mengirim para Muhajirin Uyghur tersebut kembali ke Cina.
Pengalaman sebelumnya; sebagian dari 200-an Muslim Uyghur yang ditahan di kamp perdagangan manusia di provinsi Songkhla, Thailand selatan, pada tahun 2014, dideportasi ke Cina.
Situasi itu menjadi catatan kelam bagi para Muhajirin. Mereka yang saat ini ditahan khawatir akan mengalami hal serupa.
Lembaga-lembaga internasional, seperti badan kepengungsian PBB telah memperingatkan Thailand untuk berhati-hati dan menegakkan kewajibannya di bawah hukum internasional dalam melindungi para pencari suaka.
Akan tetapi, pada Juli 2015 ketika Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha mendeportasi 109 warga Uyghur atas permintaan Cina, tanggapannya sangat dingin.
Ia bahkan mengatakan bahwa itu bukan masalah Thailand, dan bertanya secara retoris, “[Apakah] Anda ingin kami menjaga mereka selama berabad-abad sampai mereka memiliki anak cucu hingga tiga generasi?”
Tanggapan dari komunitas internasional kala itu sangat keras, bahkan sampai terjadi bentrokan di Istanbul dan Ankara, Turki.
Meski Thailand kemudian menutup sementara kedutaannya di sana, Prayut tetap tak ambil pusing akan keselamatan orang-orang Uyghur yang telah dideportasi. Ia mengatakan kepada wartawan, “Jika kami mengirim mereka kembali dan ada masalah, itu bukan kesalahan kami.”
Pengabaian Thailand terhadap keselamatan orang-orang yang telah dideportasi mencerminkan pula diskriminasi mereka terhadap penduduk Muslimnya sendiri di wilayah selatan.
Laporan tentang kerasnya pasukan keamanan Thailand memperlakukan mereka adalah hal biasa, hingga kerap memicu kerusuhan politik dan sosial.
Tekanan eksternal dari pemerintah Cina tidak hanya menjadi masalah di Thailand. Muhajirin Uyghur berulang kali dideportasi dari negara-negara lain di Asia Tenggara, bahkan dari negara mayoritas Muslim.
Indonesia baru-baru ini mendeportasi seorang Muhajirin Uyghur pada bulan September, serta tiga pria Uyghur lainnya yang baru dibebaskan dari tahanan. Beijing bahkan membayar biaya pengadilan mereka.
Malaysia, di masa lalu, telah menolak untuk mengekstradisi Muhajirin Uyghur, meskipun terus ditekan Cina untuk melakukannya.
Sebagai gantinya, Malaysia membebaskan 11 orang Uyghur dari penjara pada tahun 2019 dan mengirim mereka ke Turki. Malaysia juga mengumumkan kemitraan dengan International Institute of Islamic Thought and Civilization untuk mendukung hak Muslim Uyghur.
Meski begitu, tidak semuanya berjalan baik. Tahun 2019, Malaysia menolak menandatangani surat kepada OHCHR yang mengutuk penahanan massal warga Uyghur oleh rezim Tiongkok.
Tetangganya, Indonesia, juga tidak lebih baik. Pada awal Oktober, negara ini menjadi salah satu anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang menolak diskusi tentang Laporan OHCHR mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang. (The Diplomat)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.