Demi Bantu Ukraina, Negara-negara Barat Kurangi Bantuan untuk Muhajirin di Berbagai Belahan Dunia
9 November 2022, 18:34.

Muhajirin Rohingya mengantre untuk mendapatkan pasokan bantuan di sebuah kamp pengungsi di Bangladesh, 29 September 2022. Foto: Munir Uz Zaman / AFP via Getty Images
(downtoearth.org.in) – Hampir 10 bulan berlalu sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022. Perang yang masih berlangsung itu telah menyebabkan 7,7 juta warga mengungsi. Tujuh juta lainnya kehilangan rumah dan berjuang dengan kekurangan makanan, air, juga kebutuhan dasar lainnya.
Meskipun pengiriman bantuan kemanusiaan terus terhalang akibat serangan udara Rusia dan gangguan jalur pasokan darat, tanggapan dunia internasional terhadap krisis Ukraina sangat luar biasa.
Sejak Januari 2022, pemerintah AS misalnya, telah memberikan lebih dari US$18,2 miliar (sekira 285 triliun rupiah) bantuan keamanan ke Ukraina, dengan sekira US$17,6 miliar (kurang lebih 275 triliun rupiah) didedikasikan untuk melatih dan melengkapi angkatan bersenjata Ukraina.
Tanggapan kemanusiaan–termasuk kebijakan untuk menampung jutaan pengungsi Ukraina dan penyediaan bantuan darurat–juga luar biasa. Kampanye global “Stand Up for Ukraine” 2022 berhasil mengumpulkan dana hingga $8,9 miliar (sekira 140 triliun rupiah).
Juru bicara PBB Stephane Dujarric menyatakan, “Ini adalah salah satu tanggapan tercepat dan paling banyak yang pernah diterima dalam seruan kemanusiaan.”
Krisis Pengungsi yang Berkepanjangan di Bangladesh
Perhatian internasional yang terfokus pada Ukraina terjadi saat krisis kemanusiaan di bagian dunia yang lain kurang mendapat perhatian.
Tazreena Sajjad, Dosen Profesor Senior Tata Kelola, Politik, dan Keamanan Global di American University School of International Service mencatat adanya perubahan kebijakan Bangladesh terhadap Muhajirin Rohingya.
Sejak tahun 2017, dalam peristiwa eksodus massal tercepat dan terbesar sejak genosida Rwanda 1994, lebih dari 773.000 Muslim Rohingya melintasi perbatasan ke negara tetangga Bangladesh untuk menyelamatkan diri dari operasi genosida Myanmar terhadap mereka.

Beberapa Muhajirin Rohingya berdiri di tengah “danau” sampah di kamp pengungsian Bangladesh pada tanggal 29 September 2022. Foto: Munir uz Zaman/AFP via Getty Images
Lebih dari 1 juta warga Rohingya saat ini tinggal di kamp pengungsian terbesar di dunia di Bangladesh, di mana banyak masalah terjadi terkait dengan kepadatan penduduk, kriminalitas, dan kekerasan.
Wawancara Sajjad dengan LSM nasional maupun internasional, serta administrator kamp mengungkap kecemasan yang berkembang tentang tekanan finansial dan sosial yang sedang menerpa Bangladesh sebagai imbas dari menjadi “tuan rumah” pengungsian terbesar di dunia.
Mereka juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa krisis Ukraina telah mengalihkan perhatian dan bantuan keuangan dari krisis Rohingya yang tak kunjung usai ini.
Fakta bahwa menampung lebih dari 1 juta Muhajirin Rohingya di Bangladesh telah menelan biaya $1,21 miliar (sekira 19 triliun rupiah) per tahun, krisis Rohingya ini tidak pernah mendapat bantuan yang cukup. Sebaliknya, jumlah bantuan justru berkurang dari waktu ke waktu.
Pada tahun 2020, donasi internasional hanya mampu menyumbang 65 persen dari dana yang dibutuhkan, turun dari sekira 72 persen tahun lalu dan 75 persen dua tahun sebelumnya.
Pada tahun 2022, badan kepengungsian PBB, UNHCR, mengurangi pendanaannya untuk Muhajirin Rohingya di Bangladesh.
Rohingya Refugee Crisis Joint Response Plan 2022 mengajukan sekira $881 juta (sekira 13 triliun rupiah) untuk mendukung para pengungsi. Akan tetapi, hingga saat ini Bangladesh baru menerima sekira $290 juta atau sepertiganya saja.
“Sulit untuk mendapatkan perhatian dunia ke … tempat-tempat di mana anak-anak terjebak dalam level kesulitan yang sama dengan yang dialami anak-anak Ukraina,” ucap Gregory Ramm, juru bicara badan amal internasional Save the Children pada April 2022.
Kekosongan Bantuan
Pendanaan untuk krisis kemanusiaan lainnya ikut terimbas akibat kepentingan politik yang luar biasa untuk Ukraina.
Contohnya, Rencana Respons Kemanusiaan Afghanistan tahun 2021 didanai dengan sangat baik hingga sebesar 112,8% dari yang diajukan. Akan tetapi, tahun ini mereka hanya mendapat 45,6% dari permintaannya.
Pada konferensi donasi internasional tahun 2022 untuk Yaman–sebuah negara berpenduduk 23,4 juta orang yang terhimpit dalam krisis yang mengerikan akibat perang dan kelaparan–PBB meminta bantuan kemanusiaan sebesar $4,3 miliar (sekira 6,7 triliun rupiah). Akan tetapi, para pemimpin dunia hanya mampu menjanjikan kurang dari sepertiganya.
Apa yang disebut “kekosongan bantuan” ini juga meningkat di Myanmar, Sahel, dan Ethiopia.
Uni Eropa (UE) secara eksplisit menyatakan bahwa mereka tidak akan menarik alokasi dana bantuan untuk krisis lain demi menanggapi konflik di Ukraina. Akan tetapi, masing-masing negara anggotanya telah mulai mengalihkan dana tersebut ke tetangga dekatnya.
Misalnya, Swedia dan Denmark telah mengumumkan pemotongan alokasi bantuan lainnya yang setara dengan 14% dan 10% dari anggaran bantuan masing-masing pada tahun 2021.
Swedia telah mengalokasi ulang bantuan $150,000 untuk Sri Lanka–di mana jutaan warga menghadapi kemiskinan menyusul krisis ekonomi yang parah dan turbulensi politik sejak Maret 2022–ke Ukraina.
Denmark mengumumkan bahwa mereka akan menunda bantuan pembangunan yang telah dialokasikan untuk Suriah, Mali, Burkina Faso, dan Bangladesh demi mendanai penerimaan pengungsi Ukraina.
Inggris baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan semua pengeluaran bantuan yang “tidak penting”.
Diperkirakan kebijakan ini mengakibatkan anggaran berkurang sampai 25% dengan kemungkinan masih adanya pemotongan lebih lanjut untuk bantuan ke negara-negara, seperti Sudan dan Suriah, sebagaimana yang sudah diterapkan sejak 2020. Jerman pun telah menunjukkan tren yang sama.
AS sendiri telah memotong anggaran kemanusiaan untuk selain Ukraina, sebesar $1 miliar dibandingkan dengan tahun 2021.
Krisis Bantuan Internasional
Bahkan sebelum krisis Ukraina saat ini pun, kesenjangan antara kebutuhan menanggulangi krisis kemanusiaan global dengan pendanaan yang dikumpulkan sudah melebar.
Di Tepi Barat dan Gaza, program-program penting telah dibatasi dan jatah makanan telah sangat dikurangi di Yaman.
Pandemi Covid-19 memperparah krisis kemanusiaan yang sudah ada sebelumnya dan meningkatkan kebutuhan pendanaan. Akan tetapi, dalam seruan kemanusiaannya untuk tahun 2021, PBB hanya menerima kurang dari setengah dana yang dimintanya.
Kekurangan dana ini bahkan lebih mencolok mengingat jumlah orang tanpa makanan, air bersih, tempat tinggal, dan perawatan medis telah melewati 300 juta, menurut laporan Global Humanitarian Assistance tahun 2022. Jumlah tersebut 90 juta lebih banyak dibandingkan sebelum dimulainya pandemi COVID-19.
Pakar kemanusiaan telah menyatakan keprihatinan bahwa perhatian yang luar biasa terhadap Ukraina telah mengalihkan sumber daya–baik finansial maupun manusia–dari krisis lain yang sudah menghadapi kekurangan dana yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Perang di Ukraina dan sanksi terhadap Rusia juga telah memicu gangguan produksi pangan global serta lonjakan harga pangan dan energi global.
Kenaikan ini sangat memengaruhi pengiriman bantuan darurat hingga memperparah kelangkaan makanan di beberapa wilayah yang terdampak konflik, serta negara-negara penerima pengungsi seperti Bangladesh.
Norwegian Refugee Council mencatat, perang di Ukraina telah menunjukkan kesenjangan besar antara apa yang dapat diraih ketika komunitas internasional bersatu padu membantu sebuah krisis, dengan kenyataan sehari-hari bagi jutaan orang yang telah menderita karena tak lagi diperhatikan. (downtoearth.org.in)

Para pengungsi dari Ukraina dapat beristirahat di dalam tempat penampungan sementara yang disediakan di gedung olahraga di Krakow, Polandia, pada 15 Maret 2022. Foto: Jakub Porzycki/NurPhoto via Getty Images
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.