Bagi Muhajirin Rohingya, Jalan untuk Pulang Dalam Kondisi Aman Kian Panjang dan Berliku

13 November 2022, 20:06.
Muhajirin Rohingya duduk di perahu darurat saat mereka diinterogasi oleh penjaga perbatasan Bangladesh setelah melintasi perbatasan Myanmar, di Shah Porir Dwip dekat Cox’s Bazar, November 2017. Foto: Navesh Chitrakar/REUTERS

Muhajirin Rohingya duduk di perahu darurat saat mereka diinterogasi oleh penjaga perbatasan Bangladesh setelah melintasi perbatasan Myanmar, di Shah Porir Dwip dekat Cox’s Bazar, November 2017. Foto: Navesh Chitrakar/REUTERS

(The New Humanitarian) – Ketika para pemimpin Asia Tenggara berkumpul di ibu kota Kamboja minggu ini untuk pertemuan puncak ASEAN, kekejaman yang meningkat di Myanmar menjadi agenda utama pembahasan.

Akan tetapi, para Muhajirin dan aktivis Rohingya mendesak agar nasib mereka yang telah diusir dari negara itu jangan sampai dilupakan.

Lima tahun lebih setelah melarikan diri dari kebrutalan militer Myanmar, Muhajirin Rohingya yang terkurung di kamp-kamp pengungsian Bangladesh masih terus meminta “perlindungan formal”. Kali ini dari gangguan kelompok kriminal Rohingya dan sikap represif polisi. Harapan akan repatriasi tampak makin jauh dari sebelumnya.

“Saya khawatir, saya takut, dan jantung saya terus berdetak cepat,” ucap Mohammed Aziz Arakani, seorang Muhajirin Rohingya berusia 27 tahun, jurnalis, dan pembela hak asasi Rohingya, merujuk pada para kelompok kriminal, serta polisi yang ia sebut telah melakukan pelanggaran HAM.

Arakani saat ini bersembunyi di sebuah lokasi yang dirahasiakan di Bangladesh karena khawatir akan dibunuh oleh anggota Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), sebuah kelompok kriminal Rohingya yang beroperasi di dalam kamp pengungsi Cox’s Bazar dan dituduh melakukan serangkaian serangan baru-baru ini.

Arakani menyebutkan banyak insiden pelecehan, pemukulan, penyiksaan, penangkapan, dan ancaman pembunuhan selama setahun terakhir terhadap dirinya dan saudaranya, Saiful yang berusia 25 tahun.

Ia menjelaskan, hal tersebut dikarenakan ia dan saudara-saudaranya terus berbicara mengenai berbagai pelanggaran HAM di dalam kamp, termasuk perdagangan manusia dan narkoba, pembunuhan, dan insiden kebakaran yang disengaja. Selain itu, kurangnya akses terhadap layanan dasar, seperti perawatan kesehatan dan pendidikan, serta sangat terbatasnya kesempatan mencari nafkah.

Mengetahui bahwa dirinya telah dijadikan incaran, Arakani mengatakan dia merasa telah kehilangan segalanya, bahkan dia tidak tahu persis di mana anak-anaknya berada dan sudah lama tidak bisa melihat mereka.

“Kami tidak aman berada di sini, di Bangladesh,” jelasnya, “teroris [ARSA] memberi tahu kami bahwa mereka akan membunuh kami.”

Pengalaman Arakani dan para aktivis Rohingya telah menggambarkan betapa mengerikannya kondisi bagi hampir satu juta orang Rohingya yang mengungsi di Bangladesh.

Sebagian besar tiba pada tahun 2017, guna menyelamatkan diri dari serangan kejam oleh militer Myanmar–yang sekarang berada di bawah penyelidikan genosida oleh Pengadilan Internasional PBB atas tindakan kerasnya terhadap etnis minoritas tersebut.

Akan tetapi, di kamp-kamp pengungsian pun keamanan jauh dari kata terjamin karena kian marak aksi kelompok-kelompok kriminal.

Sebuah laporan baru-baru ini oleh Burma Human Rights Network menemukan bahwa dari 29 orang yang diwawancarai di 10 kamp berbeda, semua telah mengalami kekerasan, sementara 90% di antaranya merasa sangat khawatir akan penculikan.

“Setiap hari, pembunuhan terjadi di kamp-kamp,” kata Zaw Win, yang bekerja untuk LSM Fortify Rights di Cox’s Bazar.

Bulan lalu saja, dua pemimpin komunitas Rohingya dibacok hingga tewas oleh sekelompok orang, seorang remaja ditembak dan tenggorokannya digorok. Sementara itu, seorang gadis berusia 11 tahun tewas dalam baku tembak di sebuah pasar.

Pulang Hanya Jika Kondisi Aman 

Menjelang KTT ASEAN 11–13 November di Phnom Penh, para aktivis telah mendesak pemerintah negara-negara anggota untuk melindungi minoritas yang tertindas serta menolak pengajuan junta untuk berpartisipasi dalam pertemuan ASEAN.

“Anda mungkin bertanya, mengapa militer mau bernegosiasi untuk membawa mereka kembali, padahal yang memaksa mereka pergi adalah rezim militer sendiri,” kata Thomas Kean, konsultan senior International Crisis Group untuk Myanmar.

“[Junta] melihatnya sebagai cara untuk mendapatkan legitimasi,” jelasnya.

Akan tetapi, sejauh ini pembicaraan repatriasi tersebut, “Sama sekali tidak menghasilkan apa-apa,” ujar Laetitia van den Assum, mantan anggota Komisi Penasihat Negara Bagian Rakhine.

Dia percaya junta hanya “bersikap manis” untuk menunjukkan kepada Mahkamah Internasional (ICJ) bahwa tidak akan ada tindakan genosida lebih lanjut kepada bangsa Rohingya.

“Jadi, seolah mereka sangat ingin mengatakan bahwa mereka telah mencoba membahas repatriasi,” jelas van den Assum.

Jika diskusi itu menghasilkan kesepakatan pun, Kean yakin para Muhajirin tidak akan setuju kecuali jika ada jaminan kewarganegaraan, keamanan, dan mata pencaharian.

Saat ini, etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar karena UU Kewarganegaraan 1982, yang hanya mengakui 135 ras etnis nasional lainnya.

Tanpa kewarganegaraan, hak-hak warga Rohingya untuk bebas bergerak, mendapat akses ke perawatan kesehatan, pendidikan, maupun pekerjaan telah dirampas.

“Saya baru saja berada di kamp-kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh, dan hampir setiap pengungsi yang saya ajak bicara menyatakan repatriasi sebagai keinginan nomor satu mereka, tetapi hanya setelah kondisi menjadi aman,” sebut Daniel Sullivan, Direktur Refugees International untuk wilayah Afrika, Asia, dan Timur Tengah.

Ribuan warga sipil di seluruh negeri telah kehilangan nyawa sejak militer mengambil alih kekuasaan dalam kudeta Februari 2021, dan 1,3 juta orang lainnya telah mengungsi akibat kekerasan yang junta tunjukkan.

Konflik yang sedang berlangsung di negara bagian Rakhine antara Arakan Army (AA), kelompok pemberontak lokal, dengan militer, telah menyebabkan sekira 600.000 warga Rohingya yang bertahan di tanah airnya, terjebak di antara pertempuran kedua kelompok tersebut.

“Situasi di Negara Bagian Rakhine dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk mengembalikan satu juta pengungsi,” tambah van den Assum.

Kembali ke kamp pengungsian di Cox’s Bazar, mereka yang mendorong inisiatif repatriasi justru menemukan bahwa diri mereka menjadi sasaran serangan ARSA. Diyakini bahwa kelompok kriminal tersebut didukung oleh kekuatan anti-repatriasi di balik layar.

Mohammed Mohib Ullah, ketua Arakan Rohingya Society for Peace and Human Rights, sedang menangani isu ini ketika dia dibunuh pada September 2021. Sejak saat itu, banyak yang takut untuk membahasnya, kata Zaw Win.

Akan tetapi, bagi para aktivis seperti keluarga Arakani yang hidup dalam ketakutan terus-menerus akibat teror yang mereka terima, maupun ratusan ribu Muhajirin Rohingya lainnya yang telah kehilangan akses pendidikan, layanan kesehatan, dan keamanan yang memadai, solusi apa yang ada?

Pemindahan ke Negara Ketiga 

Pada bulan September, 14 anggota keluarga Ullah dipindahkan ke Kanada dengan bantuan UNHCR. Pemindahan ke negara ketiga adalah opsi yang telah dipertimbangkan oleh pemerintah Bangladesh kepada lebih banyak Muhajirin Rohingya, kata Zaw Win.

Di sisi lain, ada indikasi bahwa lebih banyak negara, terutama Amerika Serikat, yang juga mempertimbangkannya. Meski begitu, hal ini tentu tak bisa berjalan mulus seperti yang diharapkan.

Kalaupun pemindahan ke negara ketiga bisa terus berjalan, kemungkinan hanya segelintir orang yang akan mendapat kesempatan itu, khususnya bagi mereka yang hidupnya paling berisiko, kata Zaw Win.

Sementara itu, Tarikul Islam, salah satu pendiri dan presiden Rise for Rohingya yang berbasis di New York mempertanyakan apakah opsi ini merupakan pilihan yang praktis dan berkelanjutan.

“Jujur saja, India bahkan tidak mau lagi menerima para pengungsi Rohingya, jadi bagaimana Anda bisa mengharapkan negara lain untuk menerima mereka?” tanyanya.

Integrasi Lokal? 

Di Bangladesh, sekira 28.000 Muhajirin Rohingya telah dipindahkan dari kamp pengungsian Cox’s Bazar ke Pulau Bhasan Char di Teluk Bengal.

Hal ini merupakan keputusan kontroversial, mengingat kerentanan pulau terhadap banjir dan angin topan dan kuat dugaan adanya pemaksaan kepada para Muhajirin untuk mengikuti relokasi tersebut.

Akibatnya, ada keengganan di antara para donatur internasional dalam mendanai bantuan ke pulau itu. Ini berpotensi meninggalkan para Muhajirin yang telah direlokasi dalam keadaan yang lebih sengsara dibanding sebelumnya.

Sementara itu, Bank Dunia telah mengusulkan agar Muhajirin Rohingya dapat diintegrasikan ke dalam masyarakat Bangladesh.

Sampai saat ini, para Muhajirin tetap dikurung di kamp-kamp pengungsian dengan pembatasan pergerakan yang ketat dan hanya memiliki sedikit interaksi dengan masyarakat lokal.

Integrasi akan memungkinkan mereka untuk bekerja dan berkontribusi pada lingkungan setempat sekaligus meningkatkan mobilitas.

Akan tetapi, menurut Kean, jelas pihak berwenang Bangladesh menentang solusi integrasi tersebut. “Saya pikir dari semua opsi untuk pemerintah Bangladesh, integrasi adalah yang paling tidak menarik dan yang paling mereka tentang.”

Hal ini sangat terlihat ketika pemerintah Bangladesh melarang anak-anak Muhajirin Rohingya di kamp untuk belajar bahasa Bangla. Karena mereka melihat itu sebagai jalan menuju integrasi.

Di sisi lain, integrasi juga tidak menarik bagi Muhajirin Rohingya, kata Aung Kyaw Moe, penasihat untuk Kementerian Hak Asasi Manusia di pemerintah bayangan Myanmar yang dikudeta.

“Hal terbaik bagi anak-anak Rohingya adalah untuk memiliki akses ke kurikulum Burma yang telah diadaptasi. Mengajarkan kurikulum Bangla tidak akan membantu mereka sama sekali karena ketika mereka kembali (ke tanah airnya) dua tahun kemudian, hal itu justru akan menjadi masalah.”

Tingkatkan Kondisi di Tempat Mereka Berada Sekarang 

Mengingat semua hal di atas, kamp-kamp pengungsian bukan lagi solusi jangka pendek karena kemungkinan para Muhajirin Rohingya masih harus bertahan di sana untuk waktu yang tak sebentar.

Inilah sebabnya mengapa komunitas internasional dan PBB harus bekerja sama dengan pemerintah Bangladesh guna memperbaiki kondisi kamp, kata Zaw Win.

“Selama mereka harus tinggal di sini, mereka harus dipastikan bisa bertahan hidup,” tegasnya.

Bagi van den Assum, komunitas internasional harus membantu pemerintah Bangladesh mengenai kondisi di kamp pengungsian Rohingya.

“Tidak bisa meninggalkan Bangladesh untuk menangani ini sendirian,” katanya.

Sementara itu, bagi Arakani setiap hari dia hanya berharap agar ia dan saudaranya bisa menjalani kembali kehidupan yang normal dan aman.

“Kami memohon kepada orang-orang agar mengangkat suara mereka untuk mendukung tujuan kami,” ucapnya, yakni dipenuhinya hak asasi bagi bangsa Rohingya. (The New Humanitarian)

 

 

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Aksi Protes Digelar di Berbagai Penjuru Bangladesh, Kecam Penindasan Cina terhadap Muslim Uyghur
Kebakaran Melanda Kamp Al-Jisha Yaman, 100 Keluarga Kehilangan Tempat Tinggal »