Lima Tahun Tak Bertemu, Keluarga Muslimah Uyghur Ditawan di Kamp Konsentrasi
16 November 2022, 18:53.

(Kiri ke kanan) Foto kakak laki-laki Nursimangul Abdulrashid, Emetjan, ayah, ibu, dan adik laki-lakinya Muhammet Ali yang saat ini ditawan di kamp konsentrasi rezim komunis Cina. Keberadaan adik ipar, keponakannya (gambar kabur) tidak diketahui.
TURKIYE (5pillarsuk.com) – Qadeer Popal mewawancarai Nur Abdulrashid, seorang Muslimah Uyghur yang tinggal di Turkiye, yang keluarganya telah diculik dan dipenjarakan di kamp konsentrasi oleh rezim komunis Cina. Terakhir kali Nursimangul (Nur) Abdulrashid, 34 tahun, melihat keluarganya, sudah lebih dari lima tahun lalu.
Bersama dengan tetangganya di Kashgar, sebuah kota di Xinjiang Selatan, keluarganya berkumpul untuk memberi selamat dan mengucapkan selamat tinggal kepada Nur sebelum dia pergi ke Turki untuk melanjutkan pendidikan tinggi.
“Sulit bagi orang Uyghur untuk pergi belajar ke luar negeri. Orang tua saya setuju untuk mengirim saya ke luar negeri dan itu hal yang sangat berarti,” ucap Nur.
Saat itu Nur tidak tahu bahwa hanya berselang dua tahun, keluarganya akan dibawa ke kamp konsentrasi yang menampung sebanyak dua juta etnis Uyghur.
Muslim Uyghur telah menjadi sasaran persekusi dan penahanan paksa oleh Partai Komunis Cina (PKC) selama beberapa dekade, tindakan yang diklaim PKC sebagai “langkah-langkah keamanan.”
“Pada tahun 2012, ketika saya bekerja di bank, saya harus melalui begitu banyak pos pemeriksaan hanya untuk pergi bekerja dari rumah saya ke pusat kota,” sebut Nur. Petugas keamanan bahkan mengetahui tentang rencananya untuk belajar di luar negeri.
“Pejabat desa meminta saya untuk datang ke kantor mereka. Mereka berkata, ‘Kami mengenal keluarga Anda dan bahwa Anda belajar dengan baik sejak masa kecil dan sekarang Anda berencana untuk belajar di luar negeri, tetapi tolong jangan lupa bahwa apa pun yang Anda lakukan di luar akan memengaruhi keluarga Anda.’”
Nur menambahkan bahwa pejabat yang sama juga mengatakan kepadanya untuk tidak menghadiri protes anti-PKC di Turki dan bahwa dia harus membatasi kegiatannya hanya untuk belajar lalu pulang.
Dipaksa Menyembunyikan Keislamannya
“Ketika saya datang ke Turki, saya menghindari pergi ke lingkungan tempat komunitas Uyghur berkumpul, karena saya takut ada yang menonton dan mereka akan mengirim foto saya ke polisi di rumah dan mereka akan mengganggu keluarga saya.”
Nur mengatakan bahwa keluarganya juga berhati-hati dalam kehidupan pribadi mereka, untuk menghindari pengawasan ketat dari pejabat PKC.
“Ayah saya salat di rumah. Dia menghindari pergi ke masjid setiap salat,” jelasnya, “sebagian besar waktu, dia hanya pergi ke masjid pada hari Jumat, itu pun tidak di kota kami karena dia takut polisi akan mengawasinya.”
Faktanya, Nur mengatakan bahwa ayahnya sangat takut akan penganiayaan sehingga dia menahan diri untuk mengajarinya membaca Al-Qur’an ketika dia bertanya.
“Ketika saya meminta ayah saya untuk mengajari saya, dia berkata, ‘Kamu bisa mempelajarinya saat kamu sudah cukup umur. Sekarang jika saya mengajarimu, itu bisa menjadi masalah bagi kita semua.’”
Nur mengatakan bahwa anggota keluarganya–seperti kebanyakan orang Uyghur lainnya–dipaksa untuk menyembunyikan keyakinan mereka.
“Keluarga saya mempraktikkan keyakinan mereka secara diam-diam karena kami takut terlihat terlalu religius,” katanya.
“Ibuku salat lima kali sehari dan dia seorang Muslim yang baik, tetapi dia tidak pernah menunjukkannya di luar. Karena ketika kamu terlihat terlalu religius dan kamu mencoba untuk berperilaku seperti seorang Muslim sejati, itu akan menjadi masalah,” ujarnya.
Nur mengatakan bahwa pembatasan tersebut sangat ketat sehingga baik dia maupun keluarganya tidak melakukan aktivitas apa pun yang dianggap “mengganggu” oleh rezim komunis Cina.
“Orang tua saya hanya berusaha melindungi keselamatan kami dan memberi kami kehidupan normal,” sebutnya, seraya menambahkan bahwa pembatasan pada waktu itu sudah sangat ketat sehingga dia bahkan takut menyimpan pemikiran yang bertentangan dengan sentimen PKC.
“Saya sampai merasa bahwa pemerintah bahkan dapat mengetahui apa yang saya pikirkan.”
Terlepas dari ketakutan dan pembatasan kebebasan individu, Nur melanjutkan studinya, tanpa bersiap menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Pada tanggal 18 Juni 2017, saya melakukan percakapan telepon terakhir dengan keluarga saya,” kata Nur. Ketika dia menelepon beberapa hari kemudian, orang tuanya tidak menjawab telepon.
“Saya mencoba selama beberapa hari dan salah satu kerabat kami menjawab dan dia memberi tahu: ‘Ayah dan saudara laki-lakimu dibawa untuk belajar dan ibumu ada di rumah, dan dia sangat takut. Tolong jangan hubungi kami lagi dan jangan hubungi ibumu.’”
Nur mengatakan bahwa dia awalnya tidak khawatir tentang keselamatan ayahnya karena orang Uyghur telah diminta untuk menghadiri kelas studi politik sebelumnya, dan ayahnya sebelumnya adalah seorang pensiunan pegawai pemerintah.
Namun, dia mengatakan bahwa kekhawatirannya terus tumbuh dari waktu ke waktu, karena informasi tentang kamp konsentrasi, penyiksaan dan pelecehan mulai menyebar di media internasional.
“Setelah beberapa bulan, saya terus membaca berita tentang kamp tersebut dan kebanyakan orang mengatakan keluarga dan orang tua mereka telah menghilang.”
Nur kemudian mengetahui bahwa ibu dan dua saudara laki-lakinya juga telah diambil.
“Pada Februari 2019, saya mendapat pesan singkat dari salah satu teman saya di rumah dan tertulis bahwa: ‘Tidak ada orang lagi di rumahmu,’” katanya, “orang tua saya dan dua saudara laki-laki saya sudah diambil.”
Nur mengatakan dia menghubungi kedutaan Cina dan berbagai entitas pemerintah untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaan keluarganya, tetapi tidak mendapat jawaban.
Baru setelah dia mulai membuat video testimonial tentang keadaan keluarganya, kedutaan Cina menghubunginya.
“Petugas kedutaan mengatakan mereka ditangkap karena mengganggu ketertiban sosial dan karena pemerintah mengira mereka mungkin berniat untuk menghadiri kegiatan teroris,” ucap Nur.
Mereka juga mengatakan kepadanya bahwa kamp konsentrasi tidak ada. Klaim yang dapat dibantah oleh foto satelit dan kesaksian orang yang selamat dari sana.
Ketakutan Nur yang paling buruk terkonfirmasi lebih lanjut ketika Debi Edward, seorang koresponden ITV, pergi ke rumah Nur pada tahun 2021, dan menemukannya kosong dan tak terawat.
“Sudah 100% terkonfirmasi bahwa orang tua dan saudara laki-laki saya menderita selama empat tahun terakhir [sekarang lebih dari lima tahun] dan mereka akan terus menderita dan saya tidak tahu sampai kapan.”
Sejak itu, Nur terus melakukan kampanye atas nama keluarganya menggunakan tagar #FreeNursFamily dan telah memberikan ratusan kesaksian dalam pertemuan dan webinar dengan harapan dapat meningkatkan kesadaran tentang penderitaan keluarganya dan banyak warga Uyghur lainnya, meskipun dia menyatakan harapannya mulai memudar.
“Ketika kami mulai memberikan kesaksian tentang anggota keluarga yang hilang dan mendengar kesaksian dari orang-orang yang selamat dari kamp, saya percaya bahwa komunitas Muslim di seluruh dunia akan mendukung dan mengakhiri ini segera,” katanya.
Meski ia juga menyadari betul bahwa PBB telah mengadakan berbagai pertemuan dan diskusi mengenai persekusi terhadap etnis Uyghur, namun hanya sedikit tindakan yang benar-benar diambil.
“Mereka hanya mengadakan pertemuan dan program, tetapi tidak ada solusi,” ujarnya. “Saya merasa akan kehilangan anggota keluarga, tetangga, dan teman saya selamanya.” (5pillarsuk.com)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.