Perkawinan Paksa Etnis Uyghur dan Han Cina Terjadi Sejak 2014, Pakar: “Strategi Menghancurkan Budaya Uyghur”

20 November 2022, 19:18.

TURKISTAN TIMUR (RFA) – Rezim komunis Cina mencampuradukkan kebijakan ekonomi dan pendidikannya  dengan langkah-langkah koersif–seperti ancaman bahkan paksaan–kepada warganya, dalam upaya mempromosikan perkawinan antara mayoritas Han Cina dan etnis minoritas Uyghur di wilayah Xinjiang.

Hal tersebut disampaikan oleh Uyghur Human Rights Project (UHRP) dalam laporannya baru-baru ini.

Mereka menemukan dari media Tiongkok, dokumen resmi pemerintah, kesaksian pernikahan yang disetujui pemerintah, serta laporan dari para Muhajirin Uyghur yang berhasil menyelamatkan diri ke luar negeri bahwa insentif dan paksaan rezim komunis untuk meningkatkan pernikahan antaretnis telah terjadi sejak tahun 2014.

“Cina secara aktif terlibat dalam melakukan kampanye asimilasi paksa terhadap warga Uyghur ke dalam masyarakat Han Cina melalui pernikahan antaretnis,” tulis laporan yang dirilis tanggal 16 November itu.

Temuan tentang nikah paksa oleh LSM yang berbasis di Washington ini mengemuka ketika pemerintah Barat dan PBB telah mengakui bahwa kebijakan Cina di Xinjiang tergolong sebagai genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kerja paksa, jaringan kamp penahanan yang masif, sterilisasi paksa, dan berbagai kebijakan represif lain dari rezim komunis Cina di Xinjiang telah mendapat sanksi dari Inggris, Kanada, Uni Eropa, dan Amerika Serikat.

Laporan berjudul “Perkawinan Paksa Wanita Uyghur: Kebijakan Negara untuk Pernikahan Antaretnis di Turkistan Timur” mengacu pada film-film propaganda media pemerintah, akun-akun daring yang telah disetujui negara tentang pernikahan antaretnis, kesaksian warga yang disetujui negara dalam pernikahan antaretnis, serta pernyataan pemerintah dan arahan kebijakan mengenainya.

“Partai yang berkuasa di Cina itu telah mendorong dan memberi insentif secara aktif untuk pernikahan antaretnis Uyghur-Han setidaknya sejak Mei 2014,” tegas UHRP.

Kebijakan pernikahan antaretnis mendapatkan momentum setelah Presiden Cina Xi Jinping mengumumkan “era baru” di Forum Kerja Xinjiang pada tahun 2014, dengan menggembar-gemborkan kebijakan untuk memperkuat “kontak, pertukaran, dan percampuran” antaretnis, jelas laporan itu.

“Pernikahan antara Uyghur-Han telah meningkat selama beberapa tahun terakhir sejak rezim Cina secara aktif mempromosikan pernikahan antaretnis,” kata Nuzigum Setiwaldi, salah seorang penulis laporan tersebut.

“Rezim Cina selalu berbicara tentang bagaimana pernikahan antaretnis dapat meningkatkan ‘persatuan etnis’ dan ‘stabilitas sosial’, tetapi ini sebenarnya adalah eufemisme untuk asimilasi,” jelasnya kepada kantor berita Radio Free Asia (RFA).

“Rezim Cina memberi insentif dan mempromosikan pernikahan campuran sebagai cara untuk mengasimilasi warga Uyghur ke dalam komunitas dan budaya Han.”

Dalam laporannya, UHRP menyebutkan bahwa rezim komunis Cina menggunakan “wortel dan tongkat” dalam menerapkan kebijakan pernikahan antaretnis ini.

“Wortel” yang dimaksud adalah insentif yang dijanjikan bagi mereka yang bersedia melakukan pernikahan antaretnis, termasuk akses pembayaran tunai, bantuan perumahan, perawatan medis, pekerjaan di pemerintahan, dan keringanan biaya kuliah.

Sementara itu, “tongkat” adalah pemaksaan. Gadis-gadis Uyghur dan/atau orang tua mereka akan menghadapi ancaman hukuman jika gadis tersebut menolak untuk menikah dengan seorang ‘pelamar’ Han, sebagaimana dikutip dari pengalaman para Muhajirin Uyghur.

“Berbagai video dan kesaksian menimbulkan kekhawatiran bahwa para wanita Uyghur telah ditekan dan dipaksa menikah dengan pria Han,” kata Setiwaldi.

Laporan tersebut menguak adanya panduan pernikahan informal bagi pria Han kader Partai Komunis Cina (PKC) yang diterbitkan pada tahun 2019 berjudul “Bagaimana Memenangkan Hati Seorang Gadis Uyghur.”

Pria Han yang ingin menikahi wanita Uyghur diberi tahu bahwa wanita yang mereka cintai “harus mencintai tanah air, mencintai partai, dan dia harus memiliki kesetiaan tinggi kepada sosialis Xinjiang,” katanya.

Mengomentari laporan tersebut, seorang pakar bernama Adrian Zenz mengatakan bahwa kebijakan PKC untuk memberi insentif kepada Han dan memaksa orang Uyghur untuk menikah antaretnis adalah bagian dari strategi untuk menghancurkan dan merusak budaya Uyghur.

Zenz yang merupakan akademisi senior dalam Studi Cina di Victims of Communism Memorial Foundation di Washington, D.C., adalah pakar pertama yang mendokumentasikan jaringan kamp konsentrasi masif yang diluncurkan di Xinjiang pada tahun 2017. Dia telah menganalisis bermacam kebijakan represif kepada etnis minoritas Uyghur.

“Strategi perkawinan campuran ini di antaranya bertujuan untuk mematahkan ‘dominasi’ populasi Uyghur yang terkonsentrasi di Xinjiang sebagai bagian dari upaya penghapusan etnis yang terus berkembang dari waktu ke waktu,” sebutnya kepada RFA.

“Penting bagi orang-orang untuk memerhatikan berbagai bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah Uyghur, terutama yang tidak dilaporkan, seperti kebijakan kawin paksa ini,” kata Setiwaldi. (RFA)

 

 

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« 63 Persen Warga Yaman Sulit Penuhi Kebutuhan Pangan Harian, Pekerjaan Bertani pun Kian Ditinggalkan
Longgarkan Pembatasan di Tibet, Rezim Komunis Cina Malah Perluas Pembatasan di Turkistan Timur »