Muhajirin Suriah: “Kami Berkali-kali Mengungsi, Berulang-ulang Kembali ke Titik Nol”
14 March 2023, 21:54.

Foto: Khalil Ashawi/Save the Children
SURIAH (Save The Children) – Ketika kekerasan rezim diktator Suriah memasuki tahun ke-13 pada 15 Maret, gempa bumi awal bulan lalu telah menambah dalam krisis kemanusiaan di sana, kata Save the Children, Selasa (14/3/2023).
Kekerasan tersebut telah menyebabkan banyak warga mengungsi, kemiskinan yang meluas, dan jutaan anak Suriah yang sangat kesulitan akibat gempa-gempa susulan, setelah perang belasan tahun membuat lebih dari 50.000 anak terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Diaa*, 51 tahun, tinggal bersama istri dan dua putranya, kehilangan rumah di Aleppo setelah gempa bumi melanda negara itu tanggal 6 Februari. Sebelumnya, mereka juga telah mengungsi beberapa kali selama peperangan di Suriah.
Diaa berkata, “Saya lupa sudah berapa kali saya mengungsi. Kami melewati banyak ujian. Kami telah dikepung dua kali dan kami pernah hampir mati. Akhirnya, kami menyelamatkan diri ke utara. Kami melarikan diri dan mengungsi berkali-kali ke banyak tempat, kembali ke titik nol setiap saat.”
Seluruh permukiman di Suriah Utara tak lagi layak huni, dan tempat penampungan bersama semakin penuh sesak dibanding sebelumnya.
Daerah yang paling parah terkena gempa bumi itu, yang berdampak pada sedikitnya 8,8 juta orang di Suriah, merupakan rumah bagi kalangan paling rentan di negara itu, yang juga dipaksa meninggalkan rumah mereka beberapa kali karena konflik dan krisis ekonomi yang melumpuhkan.
Ribuan keluarga di Suriah tinggal di bangunan-bangunan yang rusak maupun belum selesai, permukiman yang tak resmi, dan tenda darurat.
Diaa menambahkan, “Kami menemukan rumah untuk ditinggali. Meski kenyataannya, itu tidak layak huni. Tidak ada pintu, tidak ada jendela, sama sekali tidak ada apa-apa. Bahkan dindingnya tidak menutup seluruh sisi. Kami sangat kesulitan. Saat hujan, air akan masuk ke dalam rumah.”
“Kami hidup dalam trauma besar, dan kami tidak pernah membayangkan akan memiliki kehidupan seperti ini. Bahkan tenda-tenda ini hanya terbuat dari plastik tipis. Ketika angin semakin kencang dalam beberapa malam kemarin, kami harus terus menjaga agar tenda tidak terbang dengan menggunakan batu ke setiap sisi.”
Merasakan kehangatan sangat sulit di sana, karena krisis bahan bakar dan listrik. Keluarga-keluarga telantar di Suriah semakin terhimpit; dengan banyaknya laporan tentang anak-anak yang terluka oleh ledakan sisa amunisi perang saat mereka mengumpulkan kayu bakar.
Fadel* berusia 10 tahun dan hampir sepanjang hidupnya tinggal di tenda-tenda pengungsian. Dia membantu keluarganya yang beranggotakan sembilan orang dengan mengumpulkan kayu bakar sepulang sekolah agar tetap hangat dan bisa memasak.
Dia mengatakan, “Kami datang ke permukiman darurat ini delapan tahun lalu. Saya memiliki saudara laki-laki berusia tiga tahun yang cacat. Saya ingat sedikitnya tiga kali kami tidak punya makanan dan saya sampai tertidur karena kelaparan. Saya mengumpulkan kayu bakar setiap hari, kecuali hari Jumat. Jalannya sulit karena licin, dan banyak lubang di jalanan.”
Pada tahun 2023, Suriah masih menjadi salah satu krisis pengungsian terbesar di dunia. Lebih dari 15 juta warganya bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Diperkirakan ada 1,9 juta orang telantar di daerah yang dikuasai oposisi di Suriah barat laut sebelum gempa bumi, kebanyakan dari mereka adalah wanita dan anak-anak.
Setelah gempa bumi, sedikitnya 86.000 orang dilaporkan kembali mengungsi, di mana lebih dari setengahnya adalah anak-anak. (Save The Children)
*Nama disamarkan
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.