GCMHP: “Blokade dan Kezaliman Terus Berlangsung, Kesehatan Mental Warga Gaza Terancam”  

24 May 2023, 04:29.

Ayah dari Alaa Qaddoum–gadis Palestina berusia lima tahun–menggendong jenazah putrinya setelah Alaa tewas akibat serangan udara ‘Israel’ di lingkungan Shuja’iyya, Kota Gaza, 5 Agustus 2022. Foto: Mohammed Zaanoun

PALESTINA (Gisha.org) – Selama bertahun-tahun, penjajah zionis ‘Israel’ telah memberlakukan blokade terhadap Gaza. Selama itu pula, infrastruktur di sana telah terombang-ambing di ambang kehancuran; listrik hanya tersedia beberapa jam dalam sehari, lebih dari 90% air keran tidak dapat diminum, dan tingkat kehilangan pekerjaan yang sangat tinggi. 

Serangan militer berulang kali telah merusak kehidupan di Gaza–setelah sebelumnya diperburuk oleh blokade–dan menyebabkan kematian, cedera, hilangnya harta benda serta penghidupan dua juta penduduk Gaza, yang setengahnya adalah anak-anak. 

Namun, ada bentuk kerusakan lain yang kurang terlihat oleh mata, yakni dampak jangka panjang dari kezaliman negara palsu ‘Israel’ terhadap kesehatan mental warga Gaza. 

Pada akhir 2021, lembaga advokasi kemerdekaan Gaza bernama Gisha beserta Gaza Community Mental Health Programme (GCMHP) mengumpulkan sekelompok profesional kesehatan mental dan perwakilan organisasi yang bekerja di lapangan di Jalur Gaza.

Tujuan pertemuan tersebut adalah untuk membahas efek blokade penjajah ‘Israel’ terhadap kesehatan mental, serta tantangan yang dihadapi para terapis dan spesialis sebagai penduduk yang juga tinggal di bawah blokade tersebut. 

Terkepung dan Terisolasi 

Jumlah warga yang membutuhkan perawatan atau bantuan psikologis di Gaza telah meningkat secara drastis dan dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Menurut berbagai penelitian, antara 15% dan 30% orang yang tinggal di Gaza mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD). 

“Ini berarti setidaknya ada 300.000 orang di Gaza yang hidup dengan PTSD, dan kemungkinan bisa lebih banyak lagi,” kata Qusai Abuodah, direktur pengembangan sumber daya dan hubungan masyarakat di GCMHP. 

Dampak besar dari blokade yang diberlakukan oleh penjajah ‘Israel’ adalah tingkat kemiskinan dan kehilangan pekerjaan yang tinggi di Gaza. Kesulitan ekonomi ini membuat tingkat stres penduduk tinggi. 

Khitam Abu Shwareb, seorang pekerja sosial di GCMHP, menjelaskan bahwa, “Pembatasan yang diberlakukan oleh ‘Israel’ atas masuknya barang dan bahan mentah ke Gaza tidak hanya mengganggu seluruh sektor ekonomi, tetapi juga menyebabkan kenaikan harga di dalam Jalur Gaza, yang berdampak langsung pada stabilitas mental kami.” 

Hassan Zeyada, seorang psikolog di GCMHP menyatakan, “Depresi yang dialami warga Palestina berbeda. Seluruh masyarakat Gaza terus-menerus mengalami stres kronis tingkat tinggi dan trauma yang berkelanjutan. Blokade ‘Israel’ dan pembatasan perjalanan di Gaza memengaruhi semua orang, tak terkecuali.” 

“Situasi ini tidak muncul begitu saja: Ini adalah hasil dari proses yang disengaja yang dirancang untuk memicu kondisi tak berdaya untuk melemahkan ketahanan individu dan masyarakat di Gaza,” tegasnya. 

“Ketika kita melihat kondisi seperti diabetes dan hipertensi mulai muncul kepada orang muda di usia dua puluhan, tidak mungkin untuk tidak mengaitkannya dengan kondisi mental mereka yang memprihatinkan,” jelas Zeyada. 

“Ini adalah siklus yang saling berkaitan: Pikiran memengaruhi tubuh, dan tubuh memengaruhi pikiran. Hasil akhirnya adalah depresi.” 

Tidak Ada Ketenangan di Gaza 

Selain kesulitan hidup sehari-hari di bawah blokade, serangan militer yang berulang kali dilakukan oleh penjajah zionis ‘Israel’ memiliki implikasi psikologis yang besar bagi penduduk Gaza. 

Abeer Jomaa, seorang spesialis kesehatan mental, menekankan perbedaan penting antara stres jangka panjang–seperti yang disebabkan oleh blokade yang terus berlangsung–dan stres jangka pendek, yang terutama dialami ketika terjadi serangan. 

Stres jangka panjang disebabkan oleh pembatasan sistematis atas pergerakan yang diberlakukan oleh penjajah ‘Israel’ selama berpuluh tahun. 

“(Stres) ini sangat lazim di kalangan anak muda yang kesulitan mencari pekerjaan dan merasa mereka tidak punya daya untuk menjaga keluarga mereka,” jelasnya. 

“Hal ini dapat menyebabkan depresi, apatis, kelelahan kronis, kecanduan obat-obatan, bahkan kecenderungan untuk bunuh diri.” 

Stres jangka pendek adalah bentuk tekanan tambahan, dialami terutama selama serangan militer, yang bermanifestasi dalam gejala dan gangguan, seperti insomnia, kecemasan, PTSD, dan mengompol (di kalangan anak-anak). 

“Di masa perang, orang-orang, termasuk anak-anak, berada dalam keadaan cemas, ‘Akankah saya selamat?’ ‘Siapa anggota keluarga saya yang akan mati?’ ‘Siapa yang akan tetap hidup?’” sebut Jomaa. 

“Di Gaza, bahkan ketika kecemasan ini mulai menghilang, kami akan kembali ke depresi dan efek lain yang disebabkan oleh stres jangka panjang.” 

“Kami, orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan mental, juga terpengaruh oleh serangan militer dan kehancuran yang terjadi kemudian. Sebelum saya seorang terapis, saya adalah seorang ibu. Kekhawatiran utama saya selama perang adalah ketidakmampuan saya untuk melindungi anak-anak saya dan memberi mereka rasa aman.” 

“Karena bahaya yang sangat nyata datang dari segala arah, tanpa ada tempat yang aman untuk menyelamatkan diri. Jadi, bukan hanya pasien yang kami temui di klinik kami. Kami juga, sebagai warga Gaza, ikut menghadapi kesulitan yang sama.” 

Manal Herbawi, seorang psikolog di GCMHP mengenang kasus baru-baru ini–seorang pemuda yang mengalami cacat akibat agresi penjajah ‘Israel’ dan membuatnya kecanduan obat-obatan. 

“Dia memberi tahu saya, ‘Saya kecanduan, dan saya menggunakan obat secara terus-menerus. Bagaimana Anda dapat membantu saya? Apa yang bisa Anda lakukan?”

“Dia menderita sakit kronis, dan ‘Israel’ tidak akan mengizinkannya keluar dari Gaza untuk menjalani operasi yang dia butuhkan. Batang platinum yang ditempatkan di tubuhnya tidak membantu. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi kepadanya dan apakah dia akan bisa berjalan lagi, atau apakah rasa sakitnya akan berhenti.” 

“Dan saya mengerti, sebagai seorang psikolog, bahwa kondisi mentalnya sebagian besar disebabkan oleh kondisi fisiknya (yang cacat). Bagaimana kami dapat memberikan perawatan yang diperlukan dalam situasi seperti ini?”

“Pada akhirnya, mereka akan pulang dan mendapati kondisi tanpa hasil. Mencoba meyakinkan mereka untuk menggunakan teknik yang tidak akan mengubah kenyataan itu terasa hanya seperti manipulasi,” ujar Manal. (Gisha.org)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« RRRC: “Tidak Ada Mekanisme Mendapatkan Laporan Pengeluaran Badan PBB untuk Rohingya” 
WFP Bakal Pangkas Bantuan per 1 Juni, Muhajirin Rohingnya: “Sebelum Dipotong pun Tidak Memadai”   »