Mendesak, Muhajirin Rohingnya di Bangladesh Membutuhkan Dukungan Penguatan Kesehatan Mental
5 June 2023, 18:56.
Topan Mocha, yang melanda Bangladesh bulan lalu, menyebabkan kerusakan besar di tempat penampungan yang rapuh bagi lebih dari satu juta Muhajirin Rohingya. (Md. Jamal/VOA)
BANGLADESH (VOA News) – Pada malam yang dingin, setelah menyelesaikan salat Maghrib, seorang ibu memeluk anak-anaknya agar tetap hangat menggunakan selendang tipisnya.
Mereka duduk meringkuk bersama di luar tempat penampungan yang terbuat dari batang bambu dan lembaran plastik–yang sekarang sudah roboh. Tanpa disadari anak-anaknya, ibu tersebut membiarkan air mata mengalir di wajahnya.
Sang ibu–yang merupakan seorang janda itu–bernama Konsoma Khatun, 28 tahun. Ia adalah satu di antara jutaan Muhajirin Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh, yang terkena dampak Topan Mocha yang melanda bulan lalu.
Banjir dan tanah longsor yang disebabkan oleh topan itu menghancurkan tempat penampungan sekira 40.000 Muhajirin yang tinggal di kamp Cox’s Bazar, menurut pejabat PBB.
Sayangnya, kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya kerusakan fisik.
“Topan tidak melukai saya secara fisik, dan tempat tinggal kami pun hanya rusak sebagian. Tetapi, sesuatu tampaknya telah memenuhi isi hati saya,” ujar Konsoma.
Ia mengatakan situasi yang dihadapinya sangatlah berat dan sulit. Ketika ditanya apakah kondisi yang sulit itu karena pemotongan jatah makanan terbaru yang diterapkan oleh Program Pangan Dunia (WFP) –yang bagi sebagian besar Muhajirin Rohingya itu adalah satu-satunya sumber makanan–Konsoma membantahnya.
“Satu-satunya makanan layak yang diterima anak-anak saya dan saya adalah dari WFP, yang diberikan kepada kami seminggu sekali atau kadang lebih lama. Tetapi, bukan itu, topan telah memengaruhi jiwa saya. Kesedihan saya tidak mengizinkan saya untuk berdiri lalu mencarikan makanan untuk anak-anak saya, yang telah kelaparan selama berhari-hari. Saya merasa benar-benar tak tahu harus bagaimana,” katanya.
Meskipun kebanyakan dari mereka tidak mengetahui terminologi formalnya, komunitas Muhajirin Rohingya di Bangladesh sedang mengalami krisis kesehatan mental yang parah. Ini menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2020 oleh Fortify Rights, sebuah organisasi hak asasi manusia yang berbasis di Asia Tenggara.
John Quinley III, Direktur Fortify Rights, mengatakan bahwa Topan Mocha hanyalah salah satu dari banyak masalah yang memengaruhi kesehatan mental para Muhajirin.
“Warga Rohingya adalah penyintas genosida dan telah mengalami kejahatan mengerikan oleh militer di Myanmar. Mereka masih mengalami pelecehan di tangan banyak orang di kamp-kamp Bangladesh tempat mereka tinggal sekarang,” katanya.
Penelitian yang dilakukan oleh Fortify Rights juga mengungkapkan bahwa selain depresi dan tekanan emosional, gejala trauma yang dialami oleh banyak Muhajirin Rohingya mengindikasikan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), kondisi kesehatan mental yang dapat menghambat seseorang untuk menjalani kehidupan yang konstruktif.
Dalam menangani kesehatan mental para Muhajirin, Badan Kepengungsian PBB (UNHCR) dan beberapa LSM lokal dan internasional, seperti Action Against Hunger (ACF) telah menyiapkan Mental Health and Psychosocial Support (MHPSS). Namun, banyak yang mengkritik kualitas layanan ini.
Muhajirin Rohingya berkumpul untuk sesi terapi psikologi yang diselenggarakan oleh relawan yang bekerja di Research, Training and Management International. (Mohammed Rezuwan Khan/VOA)
Mohammed Eliyeas, 53 tahun, mengatakan bahwa baik konselor profesional yang berafiliasi dengan organisasi kemanusiaan maupun relawan Rohingya di sana, tidak memberikan dukungan kesehatan mental yang efektif kepada para Muhajirin.
“Saya sudah mengikuti program MHPSS jauh sebelum Mocha melanda. Saya bahkan biasa mengunjungi pusat kesehatan mental milik LSM di kamp, tetapi juga tidak berhasil,” ujarnya.
“Para konselor dan relawan sering kali justru menghabiskan waktu untuk bergosip tentang masalah-masalah kecil.”
Mohammed Eliyeas, duduk bersama istri dan anak-anaknya di depan tempat penampungan mereka yang rusak di Cox’s Bazar, Bangladesh, setelah Topan Mocha. (Mohammed Rezuwan Khan/VOA)
Mohammed Rezuwan Khan, seorang aktivis Rohingya di Cox’s Bazar berkata, “Sebagai komunitas yang telah menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang kejam, tidak mampunya kami memperbaiki tempat penampungan yang rusak ini dan sedikitnya bantuan dari LSM setelah topan melanda, membuat kami merasa seperti tak bersuara dan tak terlihat.”
Quinley menambahkan, “Para pembela hak asasi pengungsi–yang telah bekerja sama dengan kami selama bertahun-tahun–telah melaporkan tentang jalur rujukan yang lambat untuk layanan perlindungan dan dukungan kesehatan mental. Para pengungsi juga mengatakan kepada Fortify Rights bahwa waktu respons di hotline UNHCR sangat lambat; ini harus segera diperbaiki.”
“Saya mengunjungi kamp-kamp di Bangladesh bulan lalu. Ada rasa putus asa di antara para pengungsi. Pemerintah di seluruh dunia harus terus mendukung kebutuhan kemanusiaan para pengungsi, termasuk layanan kesehatan mental,” tegasnya. (VOA News)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.