Muhajirin Rohingya Ungkap Diskriminasi yang Dialami Pasca Topan Mocha Melanda
6 June 2023, 09:08.
Kerusakan akibat Topan Mocha di Sittwe, Myanmar, 17 Mei 2023. Foto: Partners Relief and Development/Handout via Reuters
MYANMAR (The New Humanitarian) – Jika pernah ada harapan bahwa junta Myanmar dapat menciptakan kondisi aman untuk pemulangan Muhajirin Rohingya seperti saya, maka hal itu harus segera dihilangkan; terutama setelah melihat tanggapan militer terhadap Topan Mocha di negara bagian Rakhine.
Mocha, yang melanda pada tanggal 15 Mei 2023, adalah salah satu badai terkuat yang melanda negara itu pada abad ini. Korban tewas menurut laporan junta adalah 145 jiwa, meski warga yang selamat percaya angka sebenarnya berkali lipat lebih tinggi.
Di kamp-kamp pengungsian internal di Rakhine–di mana lebih dari 130.000 Rohingya telah dipaksa junta militer untuk hidup bertahun-tahun dalam kondisi yang kumuh dan berbahaya– diperkirakan 85% tempat penampungan telah hancur.
Kondisi di kamp pengungsian Bangladesh tempat saya tinggal bersama sekira satu juta Muhajirin Rohingya lainnya tidak jauh lebih baik. Namun, setidaknya upaya signifikan telah dilakukan sebelum topan menerjang sehingga mampu mengurangi kerusakan maupun korban jiwa.
Sayangnya, saudara sebangsa saya yang masih terjebak di Rakhine, tidak seberuntung itu.
Layanan seluler mati selama beberapa hari, membuat kontak menjadi sangat sulit. Saat komunikasi telah membaik, saya dapat berbicara dengan banyak orang yang selamat dan mendapat gambaran yang jelas tentang kehancuran yang timbul pasca Topan Mocha.
Beberapa warga Rohingya yang selamat mengatakan bahwa mereka tidak siap menghadapi badai dan bahwa rezim militer sengaja meninggalkan mereka dan hanya mengevakuasi tetangga Hindu dan Budha mereka. Semua berbicara dengan syarat anonim demi keamanan.
“Pada malam terjadinya badai, saya tidak tahu sama sekali tentang Topan Mocha yang mendekat,” sebut Abul*, yang tinggal di kamp pengungsian internal dekat Sittwe, ibu kota negara bagian Rakhine.
“Ketika saya mendengar suara peringatan dari pemerintah, saya tidak menyangka akan terjadi badai yang begitu dahsyat. Kami tidak punya tempat untuk mengungsi, dan pemerintah tidak kunjung datang untuk membantu mengevakuasi orang-orang di kamp internal, sebagaimana yang mereka lakukan kepada orang-orang Rakhine.”
Seorang lelaki lanjut usia yang tinggal di kamp pengungsian lain mengatakan bahwa para pejabat menyiarkan pesan melalui pengeras suara bahwa orang yang tinggal di Sittwe harus mengungsi ke Universitas Sittwe, tetapi arahan ini datang ketika angin sudah kencang.
Di saat tentara menggunakan truk dan kendaraan militer mereka untuk memindahkan warga Hindi, Rakhine, dan komunitas lain ke lokasi yang lebih aman, mereka tidak melakukannya kepada etnis Rohingya.
“Dengan kecepatan angin yang terus meningkat dan melihat pepohonan banyak yang tumbang, kami khawatir mungkin tidak aman bagi kami untuk bergerak saat itu,” jelas kakek itu.
Efek Diskriminasi Berkepanjangan yang Fatal
Etnis Rohingya tidak dianggap sebagai warga negara, dan mereka tidak diberi hak maupun kebebasan sebagaimana etnis minoritas lainnya. Penduduk Rohingya di Rakhine yang ingin bepergian jauh dari rumah harus meminta izin kepada aparat.
Akibatnya, warga Rohingya yang saya ajak bicara mengatakan, mereka bahkan sudah yakin bahwa mereka tidak mungkin diizinkan untuk berlindung keluar dari kamp.
“Kami membutuhkan izin pemerintah untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, sementara butuh tiga atau empat hari untuk mendapatkannya. Tetapi, kami baru mendengar tentang bahaya Mocha satu hari sebelumnya. Jadi, kami pikir, kami tidak akan [diizinkan keluar] dan akhirnya tetap bertahan di kamp,” jelas kakek itu.
Begitu badai melanda, kehancuran terjadi seketika. Abul mengatakan bahwa ketika air mulai naik dengan cepat, banyak orang lari ke tempat yang lebih tinggi, dengan pohon dan rumah di sekitar mereka telah bertumbangan.
Sayangnya, karena tak bisa bergerak secepat yang lain, anak-anak, penyandang disabilitas, ibu hamil, dan para lansia tertinggal. Sebagian bahkan hanyut terbawa derasnya air bah.
Sejak saat itu, perawatan medis hampir tidak tersedia, sementara air bersih bahkan lebih langka daripada sebelum badai. Harga barang meroket dan perhatian dari LSM maupun pemerintah bisa dibilang tidak ada, terang warga Rohingya kepada saya.
Ketika saya berbicara dengan Abul pada hari-hari setelah badai, dia mengatakan belum ada satu pejabat pun yang datang untuk menanyakan kebutuhan mereka. Tetapi, dia mendengar bahwa tetangga non-Muslimnya telah menerima terpal dan bantuan dari pemerintah.
Beberapa hari kemudian, menurut warga Rohingya lainnya, militer datang membawakan beras, minyak, dan kacang-kacangan bagi penduduk kamp internal.
Lalu dalam beberapa hari terakhir, Program Pangan Dunia (WFP) juga membawa terpal, selimut, peralatan masak, dan beberapa bantuan. Namun, dengan banyaknya rumah yang hancur, kebutuhan warga Rohingya jauh lebih besar dibanding bantuan yang disediakan.
Para penyintas badai ini juga menguatkan laporan bahwa militer tampaknya sengaja menghalangi LSM internasional untuk memasuki kamp-kamp internal, di mana warga Rohingya menghadapi kekurangan air yang parah, dan tidak memiliki akses ke toilet maupun listrik.
“Hampir semua orang di kamp IDP kami kebingungan mencari orang-orang yang hilang dan jenazah mereka yang meninggal,” sebut Abul, seraya menjelaskan bahwa tak ada akses komunikasi ketika itu.
Dia ingat bagaimana salah satu pamannya melihat enam dari delapan anggota keluarga dekatnya meninggal dalam badai. Sementara itu, temannya kehilangan lima dari enam anggota keluarganya.
Abul dan beberapa warga Rohingya yang selamat mengatakan, mereka yakin jumlah korban tewas mendekati 500 orang.
“Saya tidak merasa sedih kehilangan semua harta benda saya, tetapi saya sangat terpukul dengan kehilangan dua anak saya yang masih kecil,” kata seorang pria Rohingya kepada saya.
“Rasanya seperti kiamat bagi kami, dan kami tidak dapat berbagi perasaan satu sama lain karena semua orang mengalami krisis kehilangan yang sama.”
Situasi di kamp-kamp tempat saya tinggal di Bangladesh tetap memprihatinkan, tetapi kehancuran pasca Topan Mocha di Rakhine dan pengabaian tanpa perasaan oleh militer Myanmar terhadap warga Rohingya seharusnya menghentikan rencana repatriasi apa pun itu.
Mengembalikan Muhajirin Rohingya dalam keadaan seperti ini hanya akan membawa petaka. (The New Humanitarian)
*Ditulis oleh San Thai Shin, nama Burma untuk seorang Muhajirin Rohingya yang tinggal di kamp pengungsian Bangladesh. Dia adalah seorang peneliti dan relawan pengajar di kamp, yang lebih suka menulis dengan nama Burmanya agar bisa berbicara dengan bebas.
*Nama diubah untuk alasan keamanan.
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.