Aktivis: “Proses Normalisasi dengan Rezim Assad Tidak Akan Mengatasi Krisis Pengungsi Suriah” 

26 August 2023, 15:53.

Para gadis muhajirin Suriah di kamp pengungsi internal Al-Yunani di provinsi Raqa, Suriah, pada 10 Juli 2023. Foto: Delil Souleiman /AFP via Getty Images

SURIAH (Al-Monitor) – Para pemimpin di Timur Tengah telah menormalisasi hubungan dengan diktator Suriah, Bashar al-Assad, dan berencana mengirim muhajirin Suriah kembali ke negara asal mereka.  

Padahal masih terlalu dini untuk mulai memulangkan sekira 5,5 juta warga Suriah yang meninggalkan negara tersebut guna menghindari penindasan di sana. 

Meskipun lebih dari separuh muhajirin Suriah di Timur Tengah ingin kembali ke Suriah suatu hari nanti, hanya 1% yang berniat kembali pada tahun depan.  

Hukum internasional melarang pemulangan para pengungsi yang bertentangan dengan keinginan mereka. Sementara itu, meyakinkan para muhajirin Suriah untuk kembali secara sukarela adalah proyek jangka panjang yang mungkin tidak sejalan dengan normalisasi rezim Assad. 

Salah satu alasan utama mengapa para muhajirin tidak ingin kembali dalam waktu dekat adalah karena perang masih berlangsung, meskipun berita utama dan kampanye normalisasi mungkin menyatakan sebaliknya.  

Serangan udara yang dilakukan Rusia dan serdadu Assad terus menghujani bagian utara negara itu. Lantas, keuntungan apa yang dimiliki para muhajirin jika mereka kembali ke negara yang masih dilanda konflik?

Alasan lain mengapa para muhajirin Suriah tidak ingin kembali adalah karena Suriah tidak memiliki infrastruktur dasar untuk mendukung kembalinya mereka. Baik rumah sakit, sekolah, maupun sistem air bersih. Suriah tidak dapat menyediakan layanan dasar yang diperlukan itu. 

Serangan yang disengaja terhadap infrastruktur sipil selama perang telah mengakibatkan rumah sakit, sekolah, dan sistem air bersih rusak parah atau hancur.  

Bahkan di wilayah yang dikuasai rezim, hanya 54% rumah sakit umum yang berfungsi penuh. Jumlah tersebut turun menjadi nol di provinsi-provinsi yang paling terkena dampak pertempuran, yang merupakan asal mula terjadinya gelombang pengungsi. 

Kondisi infrastruktur tentu saja tidak lebih baik di wilayah Suriah barat laut yang dikuasai oposisi. Daerah tersebut telah menderita wabah kolera yang parah karena sumber air yang terkontaminasi.  

Gempa bumi berkekuatan 7,8 skala Richter pada bulan Februari 2023 kian menghancurkan sistem air bersih maupun saluran pembuangan. 

Hancurnya permukiman juga berarti hanya ada sedikit rumah bagi para muhajirin Suriah untuk ditinggali jika mereka kembali.  

Pemulihan akibat gempa berjalan sangat lambat di Suriah utara, di mana sedikitnya 74.000 orang kehilangan tempat tinggal selama lima bulan ini. 

Ditambah lagi rezim Assad menghadiahi sekutunya dengan bangunan milik muhajirin Suriah, bahkan mengubah nama jalan sehingga pengakuan kepemilikan rumah oleh para muhajirin akan tampak tidak sah. Mereka yang kembali mungkin akan mendapati bahwa kunci rumahnya telah diubah. 

Negara-negara Liga Arab tertentu mungkin berpikir–dan Assad sendiri berharap–bahwa solusi terhadap krisis pengungsi di kawasan ini adalah dengan mendukung rekonstruksi dan pembebasan sanksi ekonomi di Suriah.  

Namun, mengembalikan negara itu ke status quo sebelum perang pun sepertinya tidak akan menarik banyak muhajirin untuk kembali. 

Bahkan sebelum perang, hidup di bawah rezim Assad telah banyak diwarnai dengan penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan penghilangan paksa. Kondisi-kondisi itulah yang menyebabkan para muhajirin melarikan diri, dan mereka masih takut hidup di bawah rezim Assad. 

Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan repatriasi massal muhajirin Suriah.

Sementara itu, para pemimpin Timur Tengah harus fokus untuk membantu para muhajirin di mana pun mereka berada, terutama dengan memberikan kesempatan untuk menjadi anggota ekonomi lokal yang sah dan produktif. 

Negara-negara yang ingin agar muhajirin Suriah pulang ke negaranya bisa mengambil jalan yang memungkinkan mereka kembali secara sukarela mencapai solusi politik yang mengatasi keluhan yang diajukan oleh warga Suriah pada tahun 2011, mencari pertanggungjawaban atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan selama perang, kemudian memberikan dukungan yang kuat dalam upaya rekonstruksi di negara tersebut. (Al-Monitor) 

*Opini ini ditulis oleh Nadia Almasalkhi dan Shelly Culbertson.

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Polisi Xinjiang Tahan Pria yang Membacakan Ayat Al-Quran di Acara Pernikahan Warga Uyghur 
Kunjungan dan Dukungan Delegasi OKI terhadap Langkah Rezim Komunis Cina Tuai Kecaman Luas  »