Rindukan Keadilan, Warga Rohingya Berharap Bisa Kembali secara Bermartabat ke Kampung Halaman
30 August 2023, 09:09.

Foto: Anadolu Agency
JERMAN (Anadolu Agency) – Abdus Shukkur (37 tahun), menanti dengan harap-harap cemas di Jerman. Ia tengah menunggu kepastian apakah permohonan suakanya dapat disetujui dalam beberapa bulan ke depan.
“Saya termasuk di antara ratusan ribu warga Rohingya yang dipaksa keluar pada eksodus tahun 2017 oleh militer Burma,” jelas Shukkur kepada Anadolu melalui telepon.
Sebagai seorang peneliti, bertahun-tahun pengembaraan telah membawanya ke Bangladesh, kemudian ke Turkiye–mengajar siswa Rohingya secara daring dalam bidang hubungan internasional dan ilmu politik–sebelum akhirnya pindah ke Munich hingga saat ini.
“Di sini, di Jerman, setelah pengajuan (suaka) saya diterima, saya akan mendapatkan semua hak seperti warga negara Jerman lainnya,” ungkapnya.
Sambil mengenang kehidupannya di Rakhine, Shukkur berkata, “Saya tidak punya hak apa pun. Saya tidak bisa hidup normal di negara saya sendiri.”
Saat ini Shukkur sedang berikhtiar mengejar gelar doktor di bidang ilmu politik dan administrasi publik.
“Saya memiliki kesempatan untuk membangun keluarga saya di Jerman, di mana anak-anak saya dapat mengejar impiannya,” katanya
Mengenai program percontohan repatriasi, ia merasa pesimistis terhadap peluang kehidupan normal bagi warga Rohingya yang dipulangkan ke Myanmar.
“Myanmar tidak akan menerima kami. Alasan kami diusir dari negara kami sendiri karena tanah air kami, Rakhine, sangat berharga, memiliki banyak sumber daya alam,” ujarnya.
“Tiongkok juga ingin berinvestasi di sana dan Myanmar tidak akan bersedia menerima kami kembali.”
Menurutnya, muhajirin Rohingya yang kembali ke Myanmar akan tetap ditempatkan di kamp-kamp konsentrasi setelah mereka kembali.
“Itu bukan kehidupan normal,” tegas Shukkur.
Diperlukan Tindakan Nyata
Meskipun banyak negara telah menyatakan solidaritasnya terhadap komunitas yang teraniaya itu, yang dibutuhkan saat ini adalah “tindakan nyata”, menurut Nay San Lwin, salah satu pendiri kelompok advokasi bernama Free Rohingya Coalition.
“Sebagian besar negara menunjukkan solidaritas, namun jika menyangkut tindakan nyata, belum ada yang bisa melakukannya sebelumnya,” ucap Lwin.
Dia mengatakan, masyarakat Rohingya sangat berterima kasih kepada Gambia karena telah mengajukan kasus genosida terhadap Myanmar ke Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 2021.
Lwin menggarisbawahi bahwa genosida terhadap warga Rohingya masih terjadi. Ia menekankan bahwa mereka saat ini mengharapkan dua hal. Yakni keadilan tanpa penundaan dan repatriasi yang bermartabat.
Jika ICJ memutuskan Myanmar bersalah dengan melakukan genosida terhadap Rohingya, maka pengadilan PBB akan mengeluarkan arahan dan negara tersebut harus mematuhinya. Jika tidak, maka akan ada konsekuensi bagi Myanmar, jelas Lwin.
Namun, sebelum proses peradilan selesai, Lwin mengatakan, “Komunitas internasional dan PBB harus memberi kami perlindungan dan memulangkan kami, karena Myanmar adalah tanah air kami.”
Warga Rohingya menginginkan repatriasi yang bermartabat dan memiliki kembali haknya secara penuh.
“Tiongkok menjadi perantara kesepakatan repatriasi warga Rohingya, namun hal ini tidak dapat diterima karena pihak berwenang di Myanmar akan mengirim kami ke pusat-pusat penahanan. Itu lebih buruk daripada kamp,” ujar Lwin, senada dengan ketakutan Shukkur.
“Kepulangan yang bermartabat berarti menikmati hak secara penuh, pulang ke desa asal,” imbuhnya. (Anadolu Agency)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.