Bertahun-tahun Menindas, Rezim Komunis Cina Berusaha Mengubah Xinjiang Jadi Pusat Pariwisata

3 October 2023, 19:00.

Di Xinjiang, wisatawan dapat menjelajah di bawah penjagaan ketat polisi. (ABC News: David Lipson)

(ABC) – Kashgar adalah kawasan yang bersejarah. Sebuah oasis di gurun Turkistan Timur bagian barat yang dikenal sebagai tempat lahirnya budaya Uyghur. Kini “kota kuno” itu dikepung wisatawan.

Pemerintah komunis Cina mengatakan lebih dari 18 juta wisatawan telah berdatangan ke provinsi Xinjiang sepanjang tahun ini. Mereka tertarik dengan iming-iming diskon perjalanan yang didanai pemerintah.

Di sepanjang jalan di Kashgar banyak kios yang menjual berbagai pernik perhiasan yang dijual murah, juga berbagai instrumen tradisional. Untuk mengelilingi kota indah itu, wisatawan dapat menaiki kereta listrik. Di tempat-tempat tertentu, mereka bisa mengenakan kostum tradisional Uyghur untuk potret, semisal di tangga masjid.

Bangunan di Kashgar begitu khas, sebagian besar terbuat dari bata lumpur dan mampu bertahan hingga 2.000 tahun. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, bangunan artistik itu telah dihancurkan. Rezim komunis berdalih bahwa konstruksinya rentan gempa bumi dan bermasalah dalam hal sanitasi. Para aktivis Uyghur mengatakan penghancuran kota tua tersebut merupakan “genosida budaya”.

Pos pemeriksaan polisi telah dihapuskan, namun digantikan oleh jaringan luas kamera keamanan pengenalan wajah yang canggih. Hal ini merupakan salah satu dari sedikit tanda-tanda nyata dari tindakan keras selama satu dekade yang mungkin merupakan “kejahatan terhadap kemanusiaan”, sebagaimana laporan PBB tahun lalu.

Rebranding Besar-besaran

Selama bertahun-tahun, wilayah Turkistan Timur (Xinjiang) ditutup dari sebagian besar media dunia, seiring dengan kampanye rezim komunis Cina untuk membasmi apa yang disebut “ekstremisme”.

Jutaan Muslim ditangkapi, termasuk tokoh-tokoh akademisi, peneliti, wartawan, dan pakar hukum yang pernah mendokumentasikan pelanggaran HAM di sana. Diperkirakan ada jutaan warga yang disekap di kamp konsentrasi, kerja paksa, dan kaum wanitanya dipaksa aborsi.

Amerika Serikat (AS) menyebut tindakan keras tersebut sebagai “genosida”. Adapun rezim komunis Cina awalnya menyangkal keberadaan kamp konsentrasi, namun kemudian menyatakan bahwa “pusat pelatihan” itu telah ditutup pada tahun 2019.

Kini wilayah Turkistan Timur sedang berusaha “dinormalisasi”. Rezim komunis berupaya melakukan perubahan citra besar-besaran. Tur wisata ke wilayah ini digalakkan.

Wartawan ABC termasuk yang diundang dalam tur media di wilayah tersebut. Kegiatan ini diselenggarakan oleh rezim komunis Cina untuk memamerkan hal-hal terbaik. Namun, tidak ada satu pun pejabat yang mau diwawancarai.

Wartawan dibawa ke sebuah taman kanak-kanak Uyghur. Para siswa membacakan syair-syair dalam bahasa Mandarin di kelas, kemudian menari dengan gembira di taman diiringi musik tradisional.

Kami juga dibawa ke sebuah pabrik yang disebutnya berkembang pesat. Katanya, satu dari lima pekerjanya merupakan orang Islam. Wartawan sempat merekam para pekerja pengemasan susu, melalui dinding kaca.

Di berbagai sudut kota dan pedesaan tampak banyak lukisan kolam ikan dan mural warna-warni yang menggambarkan pemandangan kehidupan desa yang penuh harmoni. Tetapi, kenyataannya sangat sedikit penduduk desa yang tampak.

“Perubahan di Xinjiang sungguh luar biasa. Lalu lintas, jalan raya, kehidupan, lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat … Kita bisa melihat senyum bahagia di wajah masyarakat,” kata Nie Zhaoyu, seorang kader komunis di desa Ximen.

Tur yang berlangsung selama seminggu itu diikuti 20 wartawan dari berbagai negara. Acaranya dikontrol dengan ketat dan hanya menyisakan sedikit waktu bagi wartawan untuk berbicara langsung dengan penduduk setempat.

Hanya di Urumqi yang menjadi ibu kota Xinjiang, wartawan diizinkan berjalan-jalan dan mengambil gambar tanpa batasan. Kami bisa hunting lewat tengah malam dan tanpa pengawasan.

Ada sebuah keluarga Uyghur yang sedang santai sambil menikmati kebab dan otak domba di pasar malam yang ramai. Kata mereka, kota ini aman dan kehidupan mereka baik-baik saja.

Kami meminta informasi tentang salah satu bekas kamp konsentrasi, tempat lebih dari 1 juta orang yang diyakini telah dikurung selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Namun, permintaan itu ditolak.

Pria dan Kamera

Dalam tur tersebut, ABC dan salah satu wartawan dari AS mendekati seorang penjual suvenir yang mengaku pernah menghabiskan waktu di kamp konsentrasi. Hal ini di luar skenario pemandu wisata.

Saat kami mulai berbincang dengannya, tiba-tiba ada seorang pria yang belum pernah kami temui, muncul dengan membawa kamera. Ia berdiri di samping kami dan merekam perbincangan itu.

Penjual suvenir itu bernama Imamu Maimaiti Sidike. Ia dengan tenang mengatakan bahwa “ideologi agama yang radikal” membuatnya dipenjara selama tujuh bulan.

“Saya tidak mengizinkan istri bekerja. Saya percaya jika menghabiskan penghasilannya, kami akan masuk neraka. Jadi, saya memaksanya untuk tinggal di rumah. Saya juga mempromosikan nilai-nilai ini kepada orang-orang di sekitar saya,” jelas ayah tiga anak ini.

Dia membantah adanya penganiayaan di kamp konsentrasi. Dia mengaku bisa makan dengan baik, bermain catur, membaca buku, bahkan diizinkan pulang di akhir pekan.

“Melalui pendidikan itu, saya menyadari bahwa pandangan agama radikal merugikan orang. Saya tidak lagi memiliki pola pikir seperti itu. Saya bisa bergaul dengan orang-orang dari etnis dan agama apa pun.”

Pernyataan semacam itu sejalan dengan narasi yang ditetapkan pemerintah. Demikian kata Peter Irwin, Associate Director untuk penelitian dan advokasi di Uyghur Human Rights Project (UHRP).

“Mereka mengikuti narasi ini karena ketakutan dan ancaman hukuman … Orang-orang sangat takut untuk mengatakan hal yang salah, bertemu orang yang salah, atau berkomunikasi di luar negeri,” kata Irwin.

“Mereka menahan orang-orang karena ekspresi keagamaan yang paling mendasar… Memiliki Al-Qur’an di rumah bisa membuat Anda ditahan selama 10 tahun. Apakah itu masyarakat yang normal?”

Agama Diganti Wisata

Di Kashgar hari ini, bendera Cina berkibar tertiup angin di atas kubah masjid yang runtuh. Suara azan menjadi sunyi. Masjid Id Kah yang berusia 600 tahun dan mampu menampung 5.000 jamaah, kini menjadi objek wisata utama.

Jenggot panjang dan kerudung sulit dikenali. Kami juga tidak dapat menemukan siapa pun yang tahu di mana bisa membeli Al-Qur’an.

Pemandu wisata awalnya tidak ingin kami masuk ke dalam Masjid Id Kah saat waktu salat. Namun, akhirnya mereka mengizinkannya.

Tampak beberapa lusin orang tengah salat. Kebanyakan dari mereka adalah lansia dan tidak satu pun dari mereka berusia di bawah 50 tahun.

Imam masjid, Maimaiti Jumai, mengatakan “sangat puas” dengan upaya pemerintah memberantas ekstremisme. “Upaya yang dilakukan negara dalam menindak ekstremisme, menurut saya, menjadi contoh bagi dunia,” ujarnya.

Hal serupa juga terjadi di Institut Islam Xinjiang di Urumqi. Para calon imam diberi pelajaran bahasa Mandarin, di bawah bimbingan direktur Abdureqip Tumulniyaz.

“Tiongkok kami, Xinjiang kami, tidak akan membiarkan (ekstremisme) mengakar,” katanya kepada ABC.

Ketika ditanya mengapa hanya ada sedikit tanda-tanda keberadaan Islam di Xinjiang, dia mengatakan bahwa ketaatan beragama sudah terlalu berlebihan sebelum pemerintah turun tangan.

“Orang-orang salat di jalan, menghalangi mobil; salat di rumah sakit sehingga dokter tidak dapat membantu pasiennya; di pesawat, sehingga pesawat tidak dapat lepas landas,” katanya.

Peter Irwin menyebut pernyataan itu “tidak masuk akal”. Yang sebenarnya terjadi, UHRP telah mendokumentasikan penghancuran ribuan masjid dan lebih dari 1.500 kasus imam Uyghur dan tokoh agama lainnya yang ditahan atau dihilangkan.

“Para imam telah dicopot atau ditahan atau dipenjarakan. Para imam yang tersisa hanya diperbolehkan menyampaikan khutbah yang sejalan dengan apa yang dikatakan pemerintah Cina,” katanya.

“Jadi, kebebasan beragama tidak ada sama sekali dan sudah banyak digantikan oleh sesuatu yang bisa dinikmati oleh wisatawan.”

Museum Mengerikan

Sebagaimana yang dilakukan atas kehancuran akibat Revolusi Kebudayaan pada tahun 1960-an dan pembantaian Tiananmen pada tahun 1989, rezim komunis Cina kini memulai kampanye amnesia kolektif atas tindakan keras di Turkistan Timur.

Sebuah museum didirikan di Urumqi, yang disebutnya untuk “Perang Melawan Terorisme dan Ekstremisme di Xinjiang”. Di museum itu digambarkan adanya kerusuhan berdarah yang pernah terjadi di provinsi tersebut.

Ada video gerak lambat (slow-motion) yang mengerikan mengenai sandera yang dibunuh oleh teroris ISIS di Suriah. Tayangan ini disebutnya sebagai “pengaruh asing” yang menginfeksi Xinjiang.

Di museum itu juga ada puluhan senjata, pisau, dan bom. Sementara di sisi lain, ada panel yang menggambarkan keharmonisan dan kemakmuran Xinjiang saat ini, di bawah kepemimpinan Xi Jinping.

“Hasil yang bermanfaat sudah dicapai,” salah satu kutipan dalam museum tersebut. (ABC)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Belanda-Kanada Desak Rezim Suriah Hentikan Kekerasan, ICJ Agendakan Sidang 10 dan 11 Oktober 
Bangladesh Diharapkan Gunakan Material Lebih Awet untuk Kamp, Beri Ruang Muhajirin Mencari Nafkah  »