249 Muhajirin Rohingya Ditolak Mendarat di Pesisir Aceh, Lembaga HAM: “Pemerintah Jangan Tinggal Diam!” 

18 November 2023, 23:56.

Warga Aceh menolak mengizinkan kapal ketiga mendarat. Foto: Amanda Jufrian/AFP

ACEH (Aljazeera | France24) – Indonesia, tepatnya pesisir Aceh, kedatangan tiga perahu dalam beberapa hari terakhir yang membawa hampir 600 muhajirin Rohingya. 

Dua dari perahu tersebut, yang pertama dengan 194 penumpang dan yang kedua dengan 146 penumpang, berhasil mendarat di pantai timur Aceh di Pidie pada hari Selasa dan Rabu (14 dan 15 November 2023), yang dilaporkan telah menghabiskan waktu sebulan di tengah laut. 

Sementara itu, pada hari Kamis (16/11/2023), perahu ketiga yang membawa sekira 249 muhajirin mendapat penolakan dari penduduk setempat di Bireuen; yang mendorong perahu tersebut kembali ke laut. 

Ketika perahu mencoba mendarat untuk kedua kalinya–sedikit lebih jauh ke selatan di Muara Batu–di mana sebagian muhajirin sudah terhuyung-huyung ke pantai, mereka dibawa kembali ke perahunya, menurut para saksi di lapangan. 

Meski warga menyerahkan beberapa paket makanan dan botol air kepada para muhajirin, ketegangan tak kunjung reda hingga larut malam. 

Dalam rekaman video yang dikirim oleh petugas kemanusiaan di pantai, ratusan muhajirin sampai melompat dari perahunya, berenang ke darat, dan melakukan aksi duduk di atas pasir pantai. 

Sorenya, saat langit mulai gelap, lebih banyak rekaman yang menunjukkan para muhajirin yang terlihat kurus, beberapa bahkan hampir tidak bisa lagi berjalan, dibawa lagi ke laut oleh penduduk dan dipaksa kembali ke perahu mereka.  

Para muhajirin, termasuk anak-anak, berdoa dan menangis sambil memohon agar diizinkan tetap berada di Aceh. 

Sampai saat ini, para petugas kemanusiaan di Aceh mengatakan bahwa mereka masih berusaha memastikan lokasi dan status perahu ketiga tersebut. 

Masyarakat Aceh sebelumnya telah menerima berulang kali muhajirin Rohingya, yang ditempatkan di kamp sementara, sebelum mereka biasanya dipindahkan ke daerah lain di Indonesia.  

Namun, ketegangan meningkat dalam beberapa tahun terakhir karena semakin banyak muhajirin Rohingya yang datang. 

Azharul Husna, koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) di Aceh, mengatakan bahwa di wilayah tersebut telah terjadi sekira 30 kedatangan perahu antara tahun 2009 hingga 2023, namun frekuensinya semakin meningkat sejak kudeta militer pada Februari 2021 di Myanmar. 

“Sebelumnya, kami hanya melihat satu kedatangan dalam setahun, atau dua kedatangan dalam setahun. Namun, sekarang kami melihat empat atau lima perahu datang setiap tahunnya,” jelasnya. 

Jarang sekali terjadi begitu banyak kedatangan dalam waktu sesingkat itu. Para ahli pengungsi memperkirakan lebih banyak perahu akan tiba dalam beberapa bulan mendatang, mengingat kondisi sulit di Bangladesh dan krisis yang semakin memburuk di Myanmar. 

KontraS Aceh mengatakan bahwa salah satu permasalahannya adalah pemerintah tidak memiliki rencana komprehensif dalam menangani pengungsi, meskipun ada keputusan presiden tahun 2016 yang menyatakan bahwa pemerintah akan bekerja sama dengan lembaga-lembaga, seperti PBB dan organisasi internasional lainnya untuk menangani kedatangan para muhajirin. 

Pasal 9 Perpres RI secara tegas menyatakan bahwa pengungsi yang ditemukan dalam keadaan darurat di laut harus diberikan bantuan segera dan diperbolehkan mendarat di Indonesia jika dalam keadaan bahaya, meskipun Indonesia bukan negara penanda tangan Konvensi Pengungsi 1951 maupun Protokol 1967 yang menyusulnya. 

“Ketika pemerintah diam dan membiarkan masalah ini berlarut-larut, maka terjadilah penolakan seperti itu. Ini sangat meresahkan,” ujar Husna dari KontraS Aceh. 

“Ketika pemerintah menutup mata terhadap apa yang terjadi, terutama memulangkan para pengungsi ke laut, hal ini jelas menunjukkan kurangnya empati dan membuat komitmen negara dalam menegakkan hak asasi manusia dipertanyakan.” 

KontraS Aceh mendesak pemerintah Indonesia untuk membantu para muhajirin dan segera meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951.

Chris Lewa, direktur lembaga hak asasi Rohingya, Arakan Project, mengatakan pada hari Jumat (17/11/2023), “Sangat menyedihkan dan mengecewakan bahwa kemarahan warga ditujukan terhadap para muhajirin Rohingya; yang sebenarnya merupakan korban perdagangan dan penyelundupan manusia.” 

Sementara itu, Lilianne Fan, salah satu pendiri organisasi kemanusiaan Geutanyoe Foundation, mengatakan, “Menyedihkan melihat penolakan untuk mendarat di Aceh dan perlakuan kasar terhadap para pengungsi Rohingya oleh penduduk setempat yang memiliki tradisi menyambut siapa pun yang membutuhkan bantuan di negara tersebut.” 

Meski begitu, “Hal ini tidak mengherankan mengingat sangat sedikitnya dukungan untuk masyarakat Aceh dan pemerintah daerah…setelah bertahun-tahun menerima pengungsi dengan tangan terbuka,” ucapnya. 

“Ada juga perasaan bahwa mereka justru dihukum karena membantu, setelah banyak warga yang dituduh bersekongkol dengan jaringan penyelundupan.” 

Dalam pernyataannya pada hari Kamis (16/11/2023), Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan pemerintah tidak memiliki kewajiban maupun kapasitas untuk menampung pengungsi atau memberikan solusi permanen untuk menerima mereka menjadi warga negara. 

“Tempat penampungan sementara yang selama ini disediakan (oleh Indonesia) adalah untuk alasan kemanusiaan,” kata Lalu Muhamad Iqbal, juru bicara kementerian, “ironisnya, banyak negara yang menandatangani konvensi pengungsi justru menutup pintu mereka dan melakukan penolakan terhadap para pengungsi.” 

Di Eropa, di mana banyak negara ikut menandatangani konvensi tersebut, pemerintahnya justru berupaya untuk mencegah orang-orang menyeberangi Laut Mediterania atau Selat Inggris dengan perahu kecil. Sementara itu, Australia telah lama mempertahankan kebijakan menolak mereka yang datang dengan perahu untuk menetap di negara tersebut. 

“Dari pengalaman Indonesia dalam menangani pengungsi, kami menemukan bahwa kebaikan Indonesia dalam menyediakan tempat penampungan sementara telah dieksploitasi oleh jaringan perdagangan manusia,” tambah juru bicara tersebut. (Aljazeera | France24)

Ketika negara-negara lain di kawasan ini telah mendorong pengungsi kembali ke laut, masyarakat Aceh secara umum lebih ramah. Foto: Amanda Jufrian/AFP

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Hamas: ‘Israel’ Tidak Membedakan Gaza Utara dan Selatan
‘Israel’ Bom Dua Sekolah di Gaza Utara, Hampir 200 Orang Syahid »