Pembantaian Rafah: Begini Penjajah Zionis ‘Membakar’ Pengungsi Gaza di Tenda-tenda Mereka

29 May 2024, 19:19.

Taghreed Al-Astal, seorang saksi mata pembantaian Rafah, berbicara kepada Mondoweiss. Foto: Hasan Isleih

Serdadu ‘Israel’ mengebom warga Gaza di tenda-tenda mereka di “zona aman” yang diperintahkan untuk mereka tinggali. Para saksi mata mengatakan kepada Mondoweiss bahwa sebagian besar korban tewas terbakar hidup-hidup atau terpenggal dan terpotong-potong. Banyak dari mereka adalah anak-anak.

(Mondoweiss) – Dalam kegelapan total, api berkobar di seluruh blok tenda di “zona aman” yang ditetapkan oleh ‘Israel’ bagi para pengungsi Palestina, di barat laut kota Rafah. Ketika orang-orang berlarian ketakutan dari kobaran api itu, api itu sendiri menjadi satu-satunya sumber cahaya, yang mengungkapkan kebenaran tentang apa yang sedang terjadi di kamp pengungsian.

Seorang pria sedang menggendong tubuh seorang anak. Tubuh itu tidak memiliki kepala. Kita bisa melihat tangan yang terpotong-potong menjulur dari tubuh yang hancur. Kakinya juga terputus. Pria itu mengangkat tubuh itu tinggi-tinggi seolah-olah dia ingin menunjukkan kepada semua orang apa yang terjadi di sini.

Video dari adegan mengerikan itu kemudian menjadi viral.

Video lain yang diposting oleh para korban selamat menunjukkan seorang pria dengan luka bakar parah berbaring telentang dengan tangan terulur. Api telah menghanguskan tubuhnya dan membuatnya tidak bisa dikenali lagi. Orang-orang menariknya keluar dari api dan mencoba memadamkan sebagian api yang masih membakar tubuhnya.

Di belakangnya, api membakar lebih dari 30 tenda untuk para pengungsi di Rafah, tempat ratusan ribu warga sipil terpaksa mengungsi. Serdadu ‘Israel’ mengumumkan bahwa mereka menargetkan para pejabat “senior” Hamas dan bahwa serangan udara tersebut “tepat sasaran.”

Gembong Zionis Benjamin Netanyahu kemudian dilaporkan mengatakan bahwa itu adalah “kesalahan yang tragis”. Setidaknya 45 orang tewas, termasuk 23 wanita dan anak-anak, dan 249 orang terluka, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.

Mondoweiss mengumpulkan kesaksian dari para korban selamat. Setiap kesaksian menggambarkan bahwa mereka mengalami pembantaian, yang menjadi sangat berarti mengingat serdadu ‘Israel’ telah memerintahkan mereka untuk pergi ke sana demi menghindari bahaya. Daerah tempat serangan udara itu terjadi dikenal sebagai “Kamp Perdamaian Kuwait”.

Ini bukanlah insiden pertama yang didokumentasikan Mondoweiss di mana serdadu ‘Israel’ menargetkan orang-orang yang berada di “zona aman”. Pembantaian di Rafah juga bukan satu-satunya pembantaian yang terjadi pada hari itu—serdadu ‘Israel’ melakukan 7 pembantaian di seluruh Gaza yang telah menewaskan 66 warga Palestina dalam 24 jam terakhir.

Nidal al-Attar, yang mengungsi dari Kota Gaza ke Rafah, tinggal di sebuah tenda yang berjarak 300 meter dari lokasi pengeboman bersama keluarganya. Dia berdiri di depan kamera dengan wajah lelah dan ketakutan saat memberikan kesaksiannya.

“Seperti yang bisa Anda lihat dengan mata kepala sendiri, di sini dulu ada klinik makanan,” katanya kepada Mondoweiss. “Orang-orang memasak di sini setiap hari dan memberi makan para pengungsi di kamp. Tempat ini telah berubah menjadi abu, seperti yang Anda lihat.”

“Kami datang ke sini berdasarkan peta yang diterbitkan oleh serdadu ‘Israel’,” lanjutnya. “Mereka menyuruh kami pergi ke daerah Tal al-Sultan, dan di sini mereka mengebom kami dan sumber makanan kami.”

Nidal mengatakan bahwa dia dan keluarganya sedang duduk di tenda mereka ketika mereka mendengar empat serangan rudal. Dia kemudian mengetahui bahwa rudal-rudal tersebut telah menghantam secara langsung klinik, sumur air, dan tenda-tenda di sekitarnya yang merupakan tempat penyimpanan makanan dan peralatan memasak.

Nidal dan tetangganya di kamp pengungsian bergegas untuk menyelamatkan mereka yang terluka, tetapi ketika dia tiba, dia dikejutkan oleh kengerian di depannya.

“Kami tiba di tempat itu dengan cepat, dan api masih menyala di klinik dan tenda-tenda di sekitarnya. Ada puluhan mayat dan orang-orang yang terbunuh, tetapi kami tidak bisa membedakan mereka satu sama lain,” katanya.

“Kami tidak tahu siapa saja yang terbakar. Mayat-mayat itu benar-benar rusak dan terpotong-potong, dan kami berjalan di atas api dan mayat-mayat itu dalam upaya untuk mengeluarkan siapa pun yang masih hidup.”

Nidal menegaskan bahwa bom yang menargetkan perkemahan itu bukanlah bom biasa, melainkan senjata buatan Amerika yang “sedang diujicobakan oleh ‘Israel’ kepada warga sipil Palestina di Gaza,” katanya. 

“Kami tidak menemukan apa pun,” tambahnya. “Tidak ada sesuatu yang perlu dibom. Yang kami temukan hanyalah anak-anak yang terpotong-potong, tubuh yang hangus terbakar, dan organ-organ tubuh yang berserakan. Kami memasukkannya ke dalam selimut dan membawanya keluar.”

“Ini adalah zona teror. Ini bukan zona aman, seperti yang dikatakan serdadu ‘Israel’ kepada kami,” kata Nidal.

Taghreed al-Astal, 53 tahun, mengatakan kepada Mondoweiss bahwa saat pengeboman terjadi dia sedang menyiapkan tendanya untuk keluarganya tidur sebelum dia dikejutkan oleh suara yang mengerikan.

Dia berada di tenda yang berjarak 350 meter dari lokasi pengeboman, namun pecahan peluru dari rudal mencapai tendanya. Kelima anaknya mulai gemetar ketakutan dan bertanya kepadanya apakah mereka semua akan mati dan dibakar hidup-hidup. 

“Mereka bertanya kepada saya apakah kami masih hidup,” katanya. “Saya mencoba menenangkan mereka dan mengatakan kepada mereka bahwa semuanya sudah berakhir.”

“Tetangga kami, seorang pria tua, sedang salat di depan tendanya, menunaikan salat Magrib,” lanjutnya. “Ketika pengeboman terjadi, dia terkena pecahan peluru. Otaknya benar-benar keluar dari tengkoraknya dan jatuh ke tanah di depan mata kami.” 

Taghreed mengatakan bahwa dia mulai memeriksa anak-anaknya satu per satu untuk memastikan mereka aman dan tidak terluka. “Putri sulung saya sedang berada di luar tenda, dan ketika pengeboman terjadi, dia cepat-cepat mendatangi kami dan berkata, periksa saya, apakah saya masih hidup?” Dia mengatakan bahwa semua anak-anak dan perempuan di daerah itu berteriak ketakutan.

Taghreed mengatakan kepada Mondoweiss bahwa setelah hari itu, dia mungkin akan mengungsi lagi di lain waktu. Dengan apa yang terjadi, dia merasa tidak lagi aman di sana.

“Kemarin, kami bertanya-tanya kepada tetangga kami di kamp apakah kamp ini aman, dan tetangga saya mengatakan kepada saya untuk tenang saja, tempat ini aman dan tidak akan terjadi apa-apa pada kami. Hari ini, orang tersebut meninggal, bersama dengan putranya. Dia sedang salat di depan tendanya. Saya tidak tahu mengapa dia dibunuh.” (Mondoweiss/Tareq S. Hajjaj)

*Hasan Isleih mengumpulkan kesaksian untuk laporan ini. 

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Penjajah Zionis Bombardir Zona Kemanusiaan Dekat Rafah, ‘Setidaknya 21 Orang’ Syahid
Presiden Komisi Eropa Dituduh Terlibat Kejahatan Perang ‘Israel’. ICC Didesak Lakukan Penyelidikan »