Rezim Komunis Cina Terus Hancurkan Tradisi Uyghur, Bahkan Hingga Urusan Dapur

30 May 2024, 19:39.

Makanan tradisional terlihat di atas meja saat keluarga Uyghur berkumpul untuk makan saat Festival Corban di provinsi Xinjiang, Cina, pada 12 September 2016. Foto: Kevin Frayer/Getty Images

(Foreign Policy) –Pelatihan memasak itu dimulai suatu pagi pada bulan November 2018. Tidak dilakukan di ruang kelas, namun di dapur darurat. Murid-muridnya adalah Muslimah Uyghur dewasa. Ini adalah bagian dari program household school (sekolah rumah tangga) di Turkistan Timur (Xinjiang).

Seorang guru yang merupakan anggota The All-China Women’s Federation berdiri di depan kelas dan bertanya, “Kamu suka sarapan apa?”

Para siswa menjawab serempak, “Nan dan susu” atau “Nan dan teh.” Nan adalah sejenis roti pipih khas Asia Tengah.

“Kamu tidak makan bubur panas?” tanya guru itu lagi.

Dijelaskan dalam akun media sosial resmi pemerintah Xinjiang Women’s Voices, guru tersebut kemudian menawarkan tutorial untuk menyiapkan adonan youtiao (stik goreng), bubur, pancake bawang, roti kukus, dan lauk pauk lainnya.

Salah satu peserta berkomentar, “Dulu saya hanya tahu cara menyiapkan teh, nan, dan susu setiap pagi. Sekarang saya bisa membuat pancake daun bawang, adonan stik goreng, dan bahkan roti mawar.”

Deretan makanan yang disebut terakhir itu khas Cina. Bukan makanan khas asli warga Uyghur.

Beragam Masakan

Itulah salah satu contoh strategi yang dilakukan Partai Komunis Cina untuk menghilangkan budaya Uyghur. Pemerintah menyebut banyak aspek kehidupan warga Uyghur yang “terbelakang”, jadi perlu diubah. Termasuk dalam urusan dapur atau makanan. Pemerintah kemudian mempromosikan beragam selera dan kebiasaan etnis mayoritas Han sebagai standar modernitas.

Jika ada orang atau wisatawan yang memuji masakan Uyghur, maka pihak berwenang mengoreksinya sebagai makanan Xinjiang. Pola makan Uyghur—terutama yang erat dengan ajaran Islam—dianggap sebagai penghalang bagi persatuan etnis dan pintu gerbang menuju “ekstremisme”.

Mijit Qadir, seorang pejabat biro keamanan di Kashgar, mengatakan, “Kebiasaan halal umat Islam menciptakan kesenjangan yang tidak dapat dijembatani antara orang Uyghur dan Han. Ini memperlebar jarak seperti tembok yang tidak terlihat.”

“Selama saya bekerja di biro keamanan, beberapa polisi dari etnis Uyghur memiliki kebiasaan buruk dan ketinggalan zaman. Mereka tidak makan daging babi karena tidak terbiasa, tidak menggunakan produk modern karena tidak terbiasa, dan takut melakukan beberapa hal yang dianggap bertentangan dengan dogma agamanya. Pandangan ini harus diubah,” tambahnya.

Kebiasaan makan warga Uyghur dianggap menghambat modernisasi. Oleh karena itu, untuk menghilangkan sisa-sisa keterbelakangan budayanya, perempuan Uyghur tidak cukup hanya mengganti jilbab dan busana Muslimah dengan rok pensil, tetapi juga harus mengurus perihal makanan seperti orang Han.

Padahal masakan Uyghur selama ini dikenal amat beragam dan lezat. Misalnya, ada rebusan mori yapmisi sebagai makanan penghangat selama musim dingin di Qumul. Juga ada toxurmiyen, mi langman kaldu tomat dengan kacang, paprika, dan telur rebus, hidangan lezat khas Yakan.

Bahan-bahan makanannya juga beragam, mulai dari gandum, beras, jagung, sorgum, daging halal, serta buah dan sayuran yang tahan terhadap iklim kering, yang dibumbui dengan berbagai jenis paprika, bawang merah, dan jintan.

Bahan-bahan ini digabungkan dalam berbagai jenis roti, seperti nan, pilaf (nasi), manta (pangsit kukus), samsa (pangsit panggang), langman (mi tarik), kebab, dan beragam sup, seperti shorpa, suyuq’ash, dan chochura.

Dalam buku The Uyghur Food Encyclopedia yang diterbitkan di Urumqi, ada lebih dari 1.800 masakan khas. Tertulis di bagian Pendahuluan: “Masakan Uyghur dihargai di dalam dan luar negeri karena keragamannya, teknik penyiapan yang rumit dan teliti, kualitas tinggi, serta manfaat nutrisi dan obatnya.”

Namun, situasi berubah sejak tahun 2007, ketika The Uyghur Food Encyclopedia versi pemerintah diterbitkan. Beijing tidak lagi memuji manfaat nutrisi atau khasiat masakan Uyghur, namun menjejalkan masakan Cina. Hal ini disebut sebagai bagian penting untuk menjaga “stabilitas” komprehensif negara-partai.

Pelayan Etnis Han

Publik internasional telah mengetahui bahwa rezim komunis Cina melakukan berbagai macam pelanggaran HAM terhadap etnis Uyghur. Mulai dari penahanan massal, larangan praktik beragama, pengendalian kelahiran, dan sebagainya.

Pemerintah juga mengirim aparat komunis etnis Han dalam program Becoming Family. Mereka tinggal dalam kurun waktu tertentu di rumah-rumah keluarga Uyghur. Pada tahun 2018, ada 56 ribu aparat yang ditugaskan. Mereka tidak hanya menjadi “mata dan telinga” pemerintah dan melaporkan adanya “ekstremisme”, namun juga penyebar budaya “sehat”.

Pada waktu yang sama, The All-China Women’s Federation mengadakan peragaan busana “modern”. Kaum perempuan Uyghur harus “dibebaskan dan diselamatkan” dari budaya yang terbelakang, terlalu religius, dan “ekstremis”.

Menurut Ketua Kashgar’s Women’s Federation, Dilbar Imam, perempuan Uyghur harus menghilangkan lingkungan ekstremis agama. “Ketika ibu baik, anak pun baik. Jika anak baik, maka sukunya juga baik. Jika sukunya baik, maka tanah airnya juga baik.”

Kegiatan lainnya adalah pelatihan intensif dan kursus kilat. Contohnya household school agar perempuan Uyghur “lebih beradab, modern, dan menjadi perempuan era baru”. Lebih khusus lagi, mendidik kaum perempuan agar mencintai partai, mencintai keluarga, dan mencintai negaranya.

Pelatihan teknis memasak biasanya dilakukan pada siang hari dan kuliah pada malam hari. Kelas memasak adalah titik fokusnya, karena pola makan di Turkistan Timur dianggap hambar, monoton, tidak modern, dan tidak sehat.

Di acara sekolah rumah tangga di Konasheher, kaum Muslimah Uyghur diajari “kebiasaan makan sehat” yang dimulai dengan sarapan seperti pancake daun bawang, adonan goreng, pangsit, roti gulung kukus, hidangan dingin, dan berbagai macam sup. Hidangan semacam ini biasa dijumpai di kedai sarapan di kota-kota di Cina tengah dan timur.

Sementara itu, di wilayah Maralbexi (Bachu), kaum Muslimah Uyghur mengikuti pelatihan menyiapkan 13 makanan sarapan, empat makanan pembuka/makanan pokok, dan delapan lauk pauk. Peserta juga berlatih mencuci, memotong, menggoreng, merebus, serta teknik lainnya.

Di desa-desa di Yeken dan Khotan, diadakan pelatihan menyiapkan makanan pagi. Hidangannya termasuk pancake daun bawang, adonan stik goreng, mentimun dingin, telur goreng, bubur, dan teh susu. Tujuannya adalah mengubah sarapan nan dan teh “tradisional” Uyghur yang dianggap monoton.

Melatih warga Uyghur untuk menyiapkan masakan khas Cina juga bertujuan untuk memberi kenyamanan bagi aparat etnis Han yang dikirim dalam program Becoming Family. Pemerintah tingkat kabupaten dan kota bahkan memberi subsidi untuk pelaksanaan pelatihan. Warga Uyghur yang telah terlatih dan memperoleh sertifikat memasak kemudian ditugaskan untuk melayani aparat.

Di daerah Aqchi, Prefektur Qizilsul, misalnya, warga setempat dilatih memasak untuk melayani kader Han yang ditempatkan di sana. Para koki memperoleh penghasilan antara 1.500 dan 2.000 renminbi per bulan (sekitar 3–4 juta rupiah).

Dikisahkan oleh salah satu kader komunis, “Dulu, tim tidak memiliki juru masak sehingga setiap hari satu atau dua anggota yang bisa memasak harus tetap tinggal untuk menyiapkan makanan. Sekarang, daerah Aqchi telah menyediakan koki.”

Upaya rezim komunis dalam memasukkan makanan khas Cina tidak hanya ditujukan bagi etnis Uyghur, namun juga Kazakh dan Uzbek. Tujuannya untuk mewujudkan “satu bangsa Cina”, sebuah identitas kolektif yang mengakui keberagaman populasi, namun memaksakan kesatuan. (Foreign Policy)

Para pria Uyghur berkumpul untuk makan-makan saat Festival Corban di provinsi Xinjiang, Cina, pada 13 September 2016. Foto: Kevin Frayer/Getty Images

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Save the Children: ‘Israel’ Bunuh 66 Warga Palestina Dalam 4 Hari Serangan ke “Zona Aman” Rafah 
Begini Apartheid ‘Israel’ Berlangsung di Lembah Yordan Sejak 1967–Sekarang »