‘Israel’ Bergabung dengan Konvensi AI Global. Inilah Alasan Hal Itu Berbahaya!

18 September 2024, 19:20.

Kehancuran di sekitar Rumah Sakit al-Syifa, Kota Gaza, 2 April 2024. Foto: Omar Ishaq/dpa via ZUMA Press/APA Images

Selama setahun terakhir, ‘Israel’ telah menjadikan Artificial Intelligence/Kecerdasan Buatan (AI) sebagai senjata dalam genosida di Gaza, dengan mengerahkan sistem pengawasan dan penargetan otomatis berbasis AI yang telah menewaskan puluhan ribu orang. Partisipasi ‘Israel’ dalam perjanjian AI global pertama menimbulkan pertanyaan serius.

Oleh: Mona Shtaya

(Mondoweiss) – Suatu hal yang sangat memprihatinkan bahwa ‘Israel’ telah diizinkan untuk bergabung dengan perjanjian global pertama tentang kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI)—sebuah perjanjian yang dimaksudkan untuk mengatur penggunaan AI secara bertanggung jawab sambil menjunjung tinggi hak asasi manusia, demokrasi, dan supremasi hukum.

Selama 11 bulan berturut-turut, ‘Israel’ telah menggunakan AI sebagai senjata dalam genosida yang dilakukannya di Gaza, dengan mengerahkan sistem pengawasan dan penargetan otomatis berbasis AI yang telah menyebabkan kerugian besar bagi warga sipil.

Namun, ‘Israel’ sekarang merayakan partisipasinya dalam perjanjian ini bersama dengan AS, Inggris, dan Uni Eropa, setelah menghabiskan waktu dua tahun di meja perundingan dan membantu menyusun draf perjanjian AI internasional pertama untuk tata kelola AI yang etis.

Kontradiksi ini memperlihatkan kemunafikan yang mencolok dan menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen komunitas internasional yang sebenarnya terhadap pertanggungjawaban ‘Israel’.

Perjanjian ini berlaku terutama untuk AI sektor publik, tetapi juga membahas risiko sektor swasta. Negara-negara yang menandatangani perjanjian ini setuju untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip, seperti transparansi, pertanggungjawaban, dan non-diskriminasi, serta berkomitmen untuk mengatur cara-cara untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan AI.

Perjanjian ini mengamanatkan penilaian risiko, langkah-langkah mitigasi, dan kewajiban berdasarkan konteks tertentu, untuk memastikan fleksibilitas dalam penerapannya.

Sejak awal genosida yang sedang berlangsung ini, ‘Israel’ telah menggunakan AI dan teknologi canggih lainnya untuk melakukan pembunuhan besar-besaran dan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil.

Negara Apartheid ini telah memanfaatkan AI untuk pengawasan, penargetan, dan pengambilan keputusan. ‘Israel’ telah mengintensifkan upayanya untuk mengontrol dan menindas rakyat Gaza, melanjutkan sejarah panjang penindasan sistematis terhadap rakyat Palestina.

Penyalahgunaan teknologi ini menimbulkan kekhawatiran yang mendalam, yang mengakibatkan konsekuensi tragis bagi nyawa-nyawa tak bersalah yang terjebak dalam konflik ini.

Tidak seperti agenda “AI untuk kebaikan bersama” yang diuraikan dalam perjanjian AI global, program AI ‘Israel’ “Lavender” telah menjadi pemain kunci dalam genosida yang sedang berlangsung di Gaza.

Hanya dalam waktu dua minggu setelah perang dimulai, daftar pembunuhan yang dibuat oleh Lavender secara otomatis disetujui, menargetkan para tersangka pejuang—termasuk banyak anggota Hamas dan Jihad Islam Palestina yang berpangkat rendah—dengan pengawasan manusia yang minimal.

Pada minggu-minggu awal perang, Lavender menandai hingga 37.000 warga Palestina dan rumah-rumah mereka sebagai target pengeboman.

Penggunaan AI sebagai senjata ini telah menyebabkan jatuhnya korban sipil yang sangat banyak, karena kriteria Lavender yang luas dan rentan terhadap kesalahan mengakibatkan serangan tanpa pandang bulu terhadap rumah-rumah sehingga menyebabkan korban jiwa yang sangat besar.

Berbeda dengan sistem lain seperti “The Gospel” yang menargetkan bangunan, Lavender berfokus pada individu, membuat tragedi akibat kesalahannya menjadi lebih buruk.

Ketika perjanjian internasional memperjuangkan penggunaan AI yang bertanggung jawab, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan supremasi hukum, sistem AI ‘Israel’ “Habsora” atau “The Gospel” sangat bertolak belakang dengan hal tersebut.

Dikerahkan sejak dimulainya genosida Gaza, Habsora bertindak sebagai alat penargetan otomatis untuk operasi militer ‘Israel’. Mampu menghasilkan daftar target dengan cepat, sistem ini memfasilitasi serangan besar-besaran terhadap rumah-rumah penduduk, termasuk rumah-rumah anggota Hamas yang berpangkat rendah.

Sejak 7 Oktober, Habsora telah menyebabkan jatuhnya banyak korban sipil, dengan serangan-serangan yang sering kali menghantam rumah-rumah tanpa adanya kehadiran pejuang yang terkonfirmasi. Kriteria penargetan yang luas dan pengawasan yang minim dari sistem ini telah mengakibatkan kehancuran besar-besaran serta membunuh banyak warga sipil di Jalur Gaza.

Sebelum genosida ini, dan dalam dua tahun terakhir, ketika negara pengawas berkontribusi dalam penyusunan agenda Konvensi, ‘Israel’ tidak berdiam diri, melainkan secara sistematis mengotomatiskan sistem apartheidnya. Dari apa yang disebut sebagai ‘penembak pintar’ di Al-Khalil hingga teknologi pengenalan wajah, ‘Israel’ telah menggunakan teknologi-teknologi mutakhir untuk menargetkan dan membunuh warga Palestina.

Antara tahun 2020 dan 2021, investigasi mengungkapkan meningkatnya ketergantungan ‘Israel’ pada teknologi pengawasan dan prediktif canggih untuk mengendalikan warga Palestina.

Pengawasan digital ini, yang merupakan bagian dari strategi yang lebih luas, beroperasi baik sebagai alat penindasan maupun sebagai usaha komersial. ‘Israel’ menguji teknik pengawasannya terhadap warga Palestina sebelum memasarkannya ke rezim-rezim represif di seluruh dunia.

Negara palsu ini menggunakan pengawasan ekstensif, termasuk sistem pengenalan wajah dan pelacakan otomatis seperti “Blue Wolf” dan “Red Wolf”, untuk memantau dan mengusik kehidupan sehari-hari warga Palestina.

Teknologi-teknologi ini, ditambah dengan kontrol ‘Israel’ atas infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), membuat orang-orang merasa seperti berada di bawah pengawasan terus-menerus.

Teknologi-teknologi tersebut melanggar privasi dan menghambat kebebasan berekspresi, serta mengancam akses rakyat Palestina ke internet, dan menutupnya setiap kali penjajah Zionis memutuskan untuk menutup-nutupi kejahatan perangnya.

Pendekatan ini tidak hanya memperkuat Apartheid Otomatis, tetapi juga menjadi contoh yang meresahkan tentang bagaimana AI, di antara teknologi lainnya, telah digunakan untuk melayani militerisasi negara apartheid dan membuatnya lebih aman. Sekarang, penjajah Zionis telah diberi kesempatan emas untuk membentuk dan bergabung dengan perjanjian AI pertama.

Partisipasi ‘Israel’ dalam perjanjian AI global pertama, yang dimaksudkan untuk mempromosikan penggunaan AI yang etis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, sangat kontras dengan praktiknya yang sebenarnya.

‘Israel’ telah menggunakan sistem AI canggih seperti “Lavender” dan “Habsora” selama berbulan-bulan untuk menargetkan dan membunuh warga sipil di Gaza, sembari merayakan perannya dalam menyusun perjanjian yang mengklaim untuk memastikan tata kelola AI yang bertanggung jawab.

Kontradiksi ini tidak hanya memperlihatkan kemunafikan yang meresahkan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen komunitas internasional dalam meminta pertanggungjawaban ‘Israel’.

Ketika ‘Israel’ terus mengeksploitasi AI untuk melakukan penindasan, hal ini merusak prinsip-prinsip yang seharusnya dijunjung tinggi oleh perjanjian tersebut. Dunia harus mencermati perbedaan ini dan meminta pertanggungjawaban ‘Israel’ untuk mencegah penyalahgunaan teknologi dan melindungi hak asasi manusia di seluruh dunia. (Mondoweiss)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Gaza Jadi Tempat Paling Mematikan di Dunia Bagi Pekerja Bantuan
Bidan di Gaza Membantu Persalinan di Tengah Perang Tanpa Peralatan Memadai »