Bidan di Gaza Membantu Persalinan di Tengah Perang Tanpa Peralatan Memadai
20 September 2024, 13:41.
Seorang perawat di departemen antenatal mengukur tekanan darah Aya. Foto: Abdelhakim Abu Riash/Al Jazeera
(Al Jazeera) – Nour Mwanis, 27 tahun, tampak sibuk di ruang bersalin RS al-Awda, Gaza. Ia baru saja membantu persalinan seorang ibu.
Sejak dulu Nour bercita-cita menjadi bidan. Ia ingin membantu para ibu melahirkan dengan aman dan membawa kebahagiaan bagi keluarga. Profesi mulia ini telah ditekuninya selama tiga tahun. Sampai akhirnya keasyikannya sebagai bidan hancur sejak “Israel” membombardir Gaza bulan Oktober 2023 lalu.
“Saya tidak pernah menyangka akan mengalami hari-hari seperti ini. Selama tiga bulan pertama perang, kami menangani sekitar 60 hingga 70 kelahiran per hari, bekerja sepanjang waktu hanya dengan enam bidan,” ujarnya.
Selama tiga bulan pula Nour tidak bisa pulang ke rumah. Padatnya jadwal sebagai bidan membuatnya harus tinggal di RS al-Awda.
“Ruang bersalin tidak dapat menampung jumlah pasien yang banyak. Kami harus membantu beberapa persalinan di lantai atau di ruang persiapan pranatal yang tidak dilengkapi dengan peralatan untuk melahirkan,” jelas Nour.
Saat ini fasilitas bersalin di RS al-Awda menjadi satu-satunya yang masih berfungsi. Fasilitas kesehatan lain seperti RS Syuhada al-Aqsha di Deir el-Balah, harus menutup bangsal bersalinnya agar fokus merawat warga korban perang.
“Situasinya kacau. Pengeboman di mana-mana, para ibu datang dalam kondisi yang menyedihkan. Banyak yang mengalami komplikasi, pendarahan atau melahirkan janin yang sudah mati, dan memerlukan perawatan khusus. Namun, tidak ada peralatan,” ujar Noer sambil mendesah dalam.
Misalnya dialami Aya yang hamil 31 minggu. Janinnya akhirnya meninggal karena kondisi sang ibu sangat lemah, kekurangan nutrisi, sulit mengakses air bersih, obat-obatan, suplemen, atau perawatan medis.
Satu-satunya cara untuk membantu Aya adalah dengan menginduksi persalinan. Proses induksi akan memberikan dampak emosional dan fisik yang lebih menyakitkan karena tubuh Aya secara alami belum siap untuk melahirkan.
“Saya benar-benar shock dan tidak bisa berhenti menangis. Namun, saya mencoba menenangkan diri dan merenung. Mungkin lebih baik jika anak ini tidak dilahirkan dalam kesengsaraan. Mungkin Allah hendak menyelamatkannya dari penderitaan,” kata Aya.
Terluka Parah
Keluarga Nour Mwanis sendiri kocar-kacir. Saudara laki-lakinya ada yang luka parah akibat kena bom. Alhamdulillah dia selamat dan akhirnya sembuh.
Berbulan-bulan Nour tidak bertemu keluarga. Ternyata rumah orang tuanya rusak parah akibat kena bom.
“Seperti semua keluarga lainnya, keluarga saya–orang tua dan sembilan saudara kandung–terpaksa pindah dari satu tempat ke tempat lain selama perang,” kata Nour.
Meskipun keluarganya sendiri kocar-kacir, Nour tetap berdedikasi sebagai bidan. Ia ingin selalu berada di samping ibu-ibu yang bersalin. Banyak di antara mereka yang ke rumah sakit sendirian, menangis, dan putus asa karena telah kehilangan orang-orang yang dicintainya.
“Ibu-ibu itu menangis di ranjang bersalin, bercerita tentang kehilangan anak, suami, atau keluarganya. Kondisi psikis semacam itu sangat memengaruhi proses persalinan. Kami mencoba memberikan dukungan, memeluk, mencoba menghibur dan meyakinkan mereka. Akan tetapi, kadang hal ini tidak mungkin dilakukan, terutama di awal perang,” jelas Nour.
Ada seorang ibu yang melahirkan bersamaan dengan syahidnya sang suami. Ia menangis tersedu-sedu sepanjang proses melahirkan. Tubuhnya gemetar tak terkendali dan tidak mampu mengendalikan emosi.
“Situasi yang sangat sulit. Kami seolah kehilangan kata-kata untuk menghiburnya,” kata Nour.
Lahirlah bayi laki-laki yang kemudian diberi nama yang sama dengan almarhum ayahnya. Ketika meninggalkan rumah sakit, wajahnya tampak cemas sebab tidak tahu bagaimana ia akan mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Ada pula seorang ibu yang sudah waktunya melahirkan, terluka parah karena rumahnya dibom. Tubuhnya harus ditarik dengan susah payah dari reruntuhan. Sungguh menyayat hati.
“Kepala bagian belakangnya cedera sehingga proses melahirkan menjadi sangat rumit. Kami harus berjuang untuk menemukan posisi yang tepat agar dia bisa melahirkan dengan aman. Situasi-situasi semacam ini tidak ada dalam pelatihan atau buku-buku yang kami pelajari,” kenang Nour.
Ada lagi ibu yang hamil delapan bulan dan mengalami pendarahan hebat akibat luka-luka. Tim medis berusaha keras menyelamatkannya. Qadarullah, ibu dan bayinya meninggal dunia.
Nour juga menyaksikan lima orang ibu hamil korban pengeboman. Para dokter berjuang keras menyelamatkan bayi-bayinya, namun hanya berhasil dua saja.
Kepiluan Pasca Persalinan
Hampir semua wanita bersalin yang datang ke RS al-Awda kondisinya menyedihkan.
“Tidak ada makanan bersih, air bersih, atau perlengkapan kebersihan. Mereka tidak mandi berhari-hari, rambutnya penuh kutu, tidak bersih dan tidak steril. Semua ini meningkatkan risiko persalinan,” jelas Nour.
Memang rumah sakit menyediakan kamar mandi bagi mereka sebelum proses persalinan. Ada perlengkapan kebersihan dasar, termasuk pisau cukur, sabun, dan sampo. Namun, setelah melahirkan, mereka harus kembali ke tenda-tenda darurat.
Ibu-ibu itu juga tidak memiliki pembalut yang amat dibutuhkan setelah melahirkan. Kalaupun ada, harus beli dengan harga yang amat mahal.
“Selain itu, mereka tidak memiliki privasi untuk menyusui bayi karena tenda-tenda penuh sesak. Kebutuhan minimum bagi wanita yang baru saja melahirkan tidak tersedia di Gaza.”
Kesehatan dan berat badan bayi yang baru lahir menurun sekitar 30%. “Hal ini mencerminkan kekurangan gizi pada ibu hamil,” kata Nour.
Situasi tambah sulit karena berjangkitnya penyakit menular, seperti hepatitis A, yang menyebar di kamp-kamp pengungsian yang penuh sesak. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, tercatat ada 45.000 kasus hepatitis selama perang, padahal sebelumnya hanya ada 85 kasus.
“Kami pernah menangani persalinan penderita hepatitis. Kami berusaha keras untuk menyelamatkannya, tetapi dia meninggal. Kami tidak memiliki perawatan intensif atau protokol standar yang bisa diterapkan,” tambahnya.
Seiring berlanjutnya perang, jumlah wanita yang melahirkan di rumah sakit terus menurun. Saat ini hanya sekitar 15 orang setiap harinya.
“Padahal orang Palestina dikenal dengan kecintaannya kepada keluarga dan anak-anak. Betapa bahagianya mereka saat merayakan datangnya kelahiran, tetapi sekarang jumlahnya jauh lebih sedikit,” kata Nour sedih.
Sebagai bidan, Nour tetaplah manusia biasa. Berbagai tragedi yang tiada henti membuat hatinya kerap terguncang.
“Kami semua bidan memiliki ketakutan yang sama, jadi kami mencoba menghibur satu sama lain. Di antara kami akan merasa lelah dan khawatir, dan kami akan bergantian saat seseorang butuh istirahat.”
Namun, rutinitas membantu persalinan mengingatkan Nour bahwa hidup terus berjalan.
“Perang tidak menghentikan kehidupan. Orang-orang masih punya anak. Mereka masih menikah. Wajar saja bagi orang-orang untuk terus hidup, bahkan dalam situasi yang tidak normal.”
“Saya pun bertunangan saat perang,” Nour menceritakan pertemuannya dengan seorang relawan muda di tim keamanan rumah sakit dan keduanya jatuh cinta.
Nour berharap perang segera berakhir sehingga mereka dapat menikah dan memulai babak baru dalam kehidupan yang tenang. (Al Jazeera/Maram Humaid)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.