Mantan Serdadu Zionis: “Nilai Nyawa Manusia di Jalur Gaza Lebih Rendah dari Ribuan Anjing Liar”

9 December 2024, 20:48.

Foto: AFP/Israeli Army

(Middle East Eye) – Seorang mantan serdadu cadangan “Israel” yang bertugas di Gaza mengungkapkan para komandan militer memerintahkan pasukan untuk menembak warga Palestina tanpa mempertimbangkan apakah mereka benar-benar menimbulkan ancaman atau tidak.

Dalam sebuah artikel di Haaretz yang diterbitkan pada hari Rabu (4-12-2024), jurnalis “Israel” Chaim Har-Zahav, yang menjalani misi cadangan selama 86 hari di daerah kantong tersebut, menjelaskan apa yang ia saksikan selama itu.

“Nyawa warga Palestina di Jalur Gaza bergantung, pertama dan terutama, pada skala nilai pribadi dari para komandan di wilayah tersebut,” tulis Har-Zahav. Ia menambahkan bahwa setiap perwira senior yang memerintahkan pembunuhan warga Palestina semata karena identitas mereka tidak akan menghadapi konsekuensi apa pun.

“Nilai nyawa manusia di Jalur Gaza lebih rendah daripada ribuan anjing liar yang berkeliaran mencari makanan di sana. Sementara itu, ada perintah jelas yang melarang menembak anjing kecuali seorang serdadu dalam bahaya nyata, manusia diizinkan untuk ditembak tanpa batasan yang nyata.”

Dalam artikel tersebut, Har-Zahav menceritakan sebuah insiden di mana seorang komandan senior memerintahkan penembakan terhadap seorang pria tak bersenjata yang mengibarkan bendera putih.

Meski perintah itu diprotes dengan alasan bahwa pria tersebut jelas tidak membawa senjata dan tidak berbahaya, sang komandan menjawab: “Saya tidak tahu apa itu bendera putih, tembak dia, ini perintah.”

“Tidak ada yang menjalankan perintah itu, dan dipahami bahwa para komandan di lapangan menyadari itu adalah perintah ilegal,” tulis mantan serdadu cadangan tersebut.

Di sebuah pos di X, penulis artikel tersebut menegaskan kembali bahwa nyawa warga Palestina sepenuhnya bergantung pada nilai dan pandangan hidup serdadu yang memegang senjata, seraya menambahkan bahwa “nilai, perintah, dan norma dalam serdadu Israel sudah tidak ada lagi.”

‘Kejahatan Perang yang Ditayangkan di Televisi’

Middle East Eye sebelumnya melaporkan kasus-kasus penembakan warga sipil di Gaza, salah satunya pada November tahun lalu. Sebuah keluarga yang mengungsi ke selatan menjadi target penembak jitu “Israel”. Hala, yang memegang cucunya Taim dengan bendera putih, simbol universal untuk menyerah, ditembak hingga jatuh.

Menurut rekaman eksklusif yang diperoleh oleh MEE, Taim terlihat berlari ke arah sekelompok orang yang terpaksa mengambil rute berbeda untuk mencari keselamatan. Orang tuanya tetap tinggal untuk memberikan bantuan medis darurat kepada neneknya.

Kejadian ini menandai awal tahun penuh penderitaan bagi keluarga Abd al-Aati. “Setiap malam, ia berkata bahwa ia melihat peluru yang membunuh neneknya,” kata ayahnya, Yousef, kepada MEE. “Bahkan sebagai orang dewasa, kami masih membayangkan kejadian itu seolah terjadi di depan kami hari ini.”

Insiden serupa yang disiarkan oleh ITV News pada Januari menunjukkan pasukan “Israel” menargetkan sekelompok pria di Khan Yunis, Gaza Selatan, yang mengangkat tangan mereka sebagai tanda menyerah. Salah satu dari mereka, Ramzi Abu Sahloul, yang memegang bendera putih, ditembak mati.

Meski serdadu “Israel” awalnya mengklaim bahwa klip tersebut “jelas telah diedit,” bukti yang disediakan oleh ITV menunjukkan kronologi insiden tersebut melalui berbagai sudut kamera, citra satelit, geolokasi, dan analisis pakar.

Brigadir Jenderal Dan Goldfuss, komandan senior Divisi 98 “Israel”, mengonfirmasikan kepada ABC News bahwa pasukan yang terlihat dalam video tersebut adalah bagian dari unitnya, dan ia menambahkan bahwa peristiwa itu sedang diselidiki. “Itu bukan cara kami menjalankan aturan keterlibatan. Tidak, kami tidak menembak orang yang memegang bendera putih. Kami tidak menembak warga sipil,” katanya.

Ketika wartawan ABC merespons, “Namun, terkadang Anda melakukannya,” Goldfuss menolak klaim tersebut. “Ada kesalahan, ini adalah perang. Ini bukan mesin yang bekerja, ini adalah manusia,” ujarnya.

Francesca Albanese, pelapor khusus PBB untuk wilayah Palestina terjajah, menggambarkan pembunuhan Sahloul sebagai “kejahatan perang yang ditayangkan di televisi.”

“Apa pembenaran yang bisa ditemukan untuk membunuh seseorang yang memegang bendera putih? Dari jarak sejauh itu? Ancaman seperti apa yang bisa mereka berikan? Mereka hanya berbicara kepada beberapa wartawan,” tambahnya.

‘Pembunuhan Terencana yang Mengerikan’

Pada pagi 24 Januari, keluarga Barbakh bersiap meninggalkan lingkungan Amal di sebelah barat Khan Yunis setelah menerima perintah pengusiran dari serdadu “Israel”. Mereka dipaksa menuju “zona kemanusiaan” yang ditentukan oleh “Israel” di al-Mawasi, menurut laporan Al Jazeera.

Nahed Adel Barbakh, 14 tahun, adalah orang pertama yang keluar rumah dengan membawa bendera putih, namun langsung terkena peluru di kaki dan terjatuh. Saat keluarganya mencoba menariknya kembali ke dalam rumah, Nahed berusaha bangkit, tetapi ditembak lagi di punggung dan kepalanya.

Kakaknya, Ramez, berlari keluar untuk menyelamatkannya, namun ia juga ditembak dan jatuh menimpa tubuh adiknya.

“Saya terus berharap mereka masih hidup bahwa masih ada napas di tubuh mereka,” kata ibu mereka, Islam. “Saya tidak bisa memikirkan apa pun selain ‘saya ingin anak-anak saya kembali.'”

Karena tembakan serdadu “Israel” yang terus berlanjut, keluarga tidak dapat mengambil jenazah kedua anaknya. Namun, kakak tertua mereka, Ahmed yang berusia 18 tahun, mengambil foto terakhir dari jenazah kedua saudaranya.

“Saya mengambil foto saudara-saudara saya yang telah dibunuh agar saya tidak melupakan mereka, dan untuk mendokumentasikan kejahatan ini,” katanya.

Euro-Med Rights Monitor menggambarkan penembakan ini sebagai “eksekusi dan pembunuhan terencana yang mengerikan,” serta pelanggaran berat terhadap hukum internasional.

Kode Etik yang ‘Diabaikan’

Kasus serupa lainnya yang didokumentasikan oleh Al Jazeera menunjukkan pasukan “Israel” menargetkan warga Palestina tak bersenjata di dekat Bundaran Nabulsi, barat daya Kota Gaza. Salah satu pria membawa bendera putih, namun tetap menjadi sasaran tembakan. Kemudian, dua jenazah terlihat dikubur menggunakan buldoser.

Profesor Richard Falk, mantan pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Palestina, menyebut penembakan itu sebagai “konfirmasi nyata atas kekejaman Israel yang terus berlanjut.”

“Pandangan dunia telah diserang secara langsung dengan bentuk perilaku genosida ini,” ujar Falk.

Menurut Har-Zahav, kode etik dan pedoman militer “Israel” telah “diabaikan sepenuhnya sejak 7 Oktober.” Ia menambahkan bahwa garis batas di Jalur Gaza terus berubah dan tidak jelas bagi warga Palestina.

“Mereka mengetahuinya dengan cara yang paling menyakitkan: mereka ditembak mati saat mendekati garis imajiner yang ditetapkan oleh serdadu Israel, yang terus berubah dari waktu ke waktu,” katanya.

Har-Zahav menambahkan, entah mereka warga sipil yang berada di tempat yang salah atau anggota Hamas yang sedang mengumpulkan intelijen, begitu seorang warga Palestina ditembak mati, “Mereka secara resmi menjadi teroris dan masuk dalam statistik yang akan muncul keesokan harinya dalam pernyataan juru bicara serdadu Israel.” (Middle East Eye/Mera Aladam)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« UNRWA: Hampir 1 Juta Warga Gaza yang Mengungsi Terancam Menghadapi Musim Dingin yang Ekstrem
Di Tengah Genosida terhadap Warga Gaza, Kekerasan di Tepi Barat Kian Meningkat  »