Menakar Dampak Tumbangnya Rezim Diktator Assad terhadap Kebebasan Pers di Suriah
9 January 2025, 19:17.
SURIAH (Indexoncensorship.org) – Selama lebih dari lima dekade, rakyat Suriah hidup di bawah rezim represif yang membuat kebebasan pers dan kebebasan berekspresi menjadi mimpi yang sulit digapai.
Di bawah rezim Bashar al-Assad, kebebasan dibatasi oleh undang-undang represif dan sensor ketat. “Badan keamanan” digunakan sebagai alat untuk membungkam suara-suara yang tidak setuju.
Sekarang rezim Assad telah digulingkan, bagaimana masa depan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di negara itu?
Kebebasan Berekspresi di Bawah Rezim Assad
Ada banyak ‘perangkat’ dalam rezim Assad yang digunakan untuk membungkam mereka yang kritis terhadap pemerintah.
Yang pertama adalah undang-undang represif. Selama beberapa dekade pemerintahan keluarga Assad, undang-undang dirancang untuk melayani “badan keamanan” dan memastikan dominasi politik di tengah masyarakat.
Undang-undang darurat, yang berlaku sejak 1963 hingga 2011, memberikan kewenangan tak terbatas kepada “badan keamanan” untuk mengadili oposisi dan pengunjuk rasa, sekaligus membatasi kebebasan.
Undang-undang kejahatan dunia maya pada tahun 2022 digunakan untuk membungkam suara-suara anti-rezim di dunia maya, dan menjadikan kritik publik terhadap rezim sebagai kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman penjara.
Alat kedua yang digunakan adalah media “resmi”, yang menjadi satu-satunya suara rezim. Media resmi difokuskan untuk membentuk citra rezim Assad di publik, dan menyajikan berbagai peristiwa dengan versinya tanpa ada ruang bagi pendapat lain.
Semua saluran TV dan surat kabar media massa berada di bawah kendali langsung negara, yang memastikan ideologi rezim tersampaikan sekaligus mengaburkan kebenaran.
Jurnalis dan penulis Ali Safar mengenang bahwa saat bekerja untuk organisasi media pemerintah, kreativitas awak media ditolak. Pihak keamanan menekan setiap upaya untuk menyimpang dari garis “resmi”.
Senjata ketiga adalah penindasan langsung terhadap aktivis dan jurnalis. Suriah adalah salah satu negara paling berbahaya bagi jurnalis.
Menurut Reporters Without Borders, Suriah tertinggal dalam Indeks Kebebasan Pers Global, yang secara konsisten berada di antara 10 negara terburuk sejak pecahnya revolusi Suriah pada tahun 2011.
Di bawah rezim Assad, jurnalis menjadi sasaran penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan penghilangan paksa.
Sedikitnya 300 jurnalis terbunuh saat meliput perang belasan tahun itu. Sementara yang lain hidup di pengasingan atau di bawah ancaman terus-menerus. Ribuan orang telah diancam, ditangkap, dan dihilangkan secara paksa.
Dampak Revolusi Suriah terhadap Kebebasan Berekspresi
Dengan pecahnya revolusi Suriah, platform media sosial mulai memainkan peran penting dalam memutus monopoli rezim atas media.
Aktivis telah menggunakan platform seperti Facebook dan Twitter untuk menyampaikan kebenaran kepada dunia, dan mengungkap berbagai pelanggaran rezim diktator tersebut.
Meskipun awalnya menjanjikan, kebebasan berekspresi menghadapi banyak tantangan karena konflik berubah menjadi perang berskala besar.
Penindasan rezim berlanjut dalam bentuk-bentuk baru, termasuk melalui kampanye penindakan dengan dalih pencemaran nama baik maupun pengawasan digital intensif.
Transisi Kepemimpinan
Setelah jatuhnya rezim Suriah pada 8 Desember 2024, timbul pertanyaan tentang nasib media yang bebas dan terbuka di Suriah, terutama karena catatan negara tersebut yang puluhan tahun membatasi kebebasan pers, menekan jurnalis independen, dan mengekang media hanya untuk melayani tujuan politik dan kelompoknya.
Kekhawatiran ini terkait tantangan yang lebih besar dalam memastikan independensi media di masa transisi ini dan penetapan undang-undang untuk melindunginya dari pengaruh politik yang dapat mengalihkannya dari peran sejatinya.
Ali Safar, seorang penulis Suriah dan produser eksekutif Radio Sout Raya, sebuah stasiun radio Suriah yang berpusat di Istanbul, percaya bahwa satu-satunya jaminan kebebasan berekspresi adalah melalui undang-undang media yang modern dan dinamis; yang menghidupkan kembali ruang-ruang publik.
Aktor internasional juga akan memiliki peran kunci dalam membangun media yang terbuka. Kelancaran transisi Suriah sangat bergantung pada dukungan internasional.
Pengalaman yang didapat dari transisi negara lain diperlukan untuk menghindari kekacauan media dan politik. Peran organisasi masyarakat sipil dan aktivis di Suriah juga akan sangat penting. (*)
Diringkas dari tulisan Maha Ghazal, jurnalis Suriah
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.