Suriah Kembali Dibangun, Krisis Air Masih Menjadi Tantangan 

14 January 2025, 17:33.

Foto: Wikimedia Commons CC BY 2.0

SURIAH (downtoearth.org) – Ketersediaan air yang aman akan menjadi ujian besar bagi pemerintahan baru Suriah. Sejak 2011, kelangkaan air telah menjadi faktor pokok dalam kekerasan berkepanjangan di negara itu, yang dimanipulasi untuk keuntungan politik dan ekonomi. 

Wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim, kekeringan, dan kekurangan air yang berkepanjangan telah memperburuk keadaan negara yang hancur akibat perang selama 13 tahun itu. 

Sebelum tahun 2010, 98 persen penduduk perkotaan Suriah dan 92 persen penduduk pedesaan memiliki akses yang layak terhadap air bersih.

Saat ini, PBB memperkirakan hampir dua pertiga fasilitas pengolahan air, separuh stasiun pompa air, dan sepertiga menara air telah rusak akibat perang.  

Selain itu, antara 50 hingga 95 persen sistem irigasi Suriah telah hancur; terutama karena serangan yang dilakukan oleh Rusia, rezim Assad, dan ISIS. 

Saat ini, Suriah menjadi rumah bagi 6,7 hingga 7 juta pengungsi internal, sementara 12,3 juta hingga 13 juta warga Suriah telah meninggalkan negara itu.  

Dengan 90 persen penduduk hidup dalam kemiskinan, lebih dari 16 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Sekitar 80 persen di antaranya membutuhkan bantuan air, sanitasi, dan kebersihan.  

Ketidakamanan pangan memengaruhi 12 juta warga Suriah, dengan 1,8 juta berisiko mengalami kerawanan pangan. Wabah kolera ikut menempatkan 6,5 juta orang pada risiko tinggi sejak 2022. 

Krisis Air dalam Konflik Suriah 

Kekeringan tahun 2006-2010 sering disebut sebagai penyebab awal pemberontakan terhadap rezim Assad yang meletus pada tahun 2011.  

Perang itu sendiri telah menjadi preseden berbahaya bagi ketersediaan air. Akses ke sumber daya penting ini telah dirampas, tidak hanya melalui penghancuran infrastruktur, tetapi juga sebagai alat untuk meraih kendali atas warga sipil. 

Penghancuran fasilitas air telah menjadi ciri suram dari kekerasan tersebut. Pada tahun 2019 saja, UNICEF melaporkan 46 serangan terhadap infrastruktur air.  

Bahkan wilayah yang kaya air seperti Latakia menghadapi kekurangan air karena sabotase jaringan pipa dan pencurian sumber daya, yang sering kali melibatkan tokoh-tokoh yang terkait dengan rezim Assad. 

Contoh lain, sejak tahun 2017, kota al-Bab di Suriah barat laut telah diputus dari stasiun pompa lokalnya oleh rezim Assad sebagai “hukuman”. 

Damaskus pun tak luput dari dampaknya. Pada Desember 2017, sumber air Ain al-Fijeh di Wadi Barada terputus, menyebabkan 5 juta orang di ibu kota tersebut tidak memiliki air minum yang aman.  

Masalah ini diperparah oleh dampak perubahan iklim dan bencana alam, seperti gempa bumi tahun 2023. Sejak musim panas tahun 2017, permukaan air di mata air dan danau kawasan selatan mulai menurun.  

Pada tahun 2021, Suriah mengalami curah hujan terendah yang pernah tercatat, yang menyebabkan penurunan tajam aliran Sungai Efrat. 

Sementara itu, pendudukan negara palsu ‘Israel’ atas Dataran Tinggi Golan terus memengaruhi ketersediaan air Suriah. Dirampasnya Gunung Hermon dan sumber air utama di Quneitra telah membebani irigasi pertanian, yang sudah terdampak oleh penggunaan berlebihan dan curah hujan rendah. 

Membangun Paradigma Baru 

Jatuhnya rezim Bashar al-Assad oleh pasukan yang dipimpin oleh Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), menawarkan harapan untuk perubahan, tetapi tidak serta merta mengubah krisis air Suriah.

Negara tersebut masih terbebani oleh perang selama bertahun-tahun dan warisan salah urus era partai Ba’ath. 

Membangun kembali infrastruktur air Suriah sangat penting, yang membutuhkan langkah-langkah adaptif dan paradigma baru. Termasuk memastikan akses yang sama terhadap sumber daya dan menolak kebijakan sektarianisme di dalam negeri.  

Sementara di tingkat regional, Suriah harus mengatasi hubungannya yang rumit dengan negara-negara tetangga, khususnya mengenai sumber daya air bersama. 

Mengembangkan praktik pengelolaan air yang berkelanjutan dan membangun kembali kepercayaan adalah langkah-langkah penting menuju stabilitas. Juga dengan mengatasi tantangan politik dan lingkungan secara langsung. (*)

Artikel ini ditulis oleh Paolo Maggiolini, Associate Professor di Universitas Katolik Milan (Italia). Ia juga mengajar di Magister Studi Timur Tengah (MIMES) di Alta Scuola di Economia e Relazioni Internazionali (ASERI).

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Banyak Beredar Daftar Penjahat Perang, Aktivis Suriah: Percayakan Penindakan pada Pemerintahan Baru 
Justice for All Desak Thailand Batalkan Rencana Deportasi 48 Warga Uyghur   »