Sejarah Perundingan Gencatan Senjata Antara “Israel” dan Hamas, Sejak 2008–Sekarang

27 January 2025, 11:15.

Oleh Zachary Foster, Sejarawan Palestina

(Palestine Nexus) – “Israel” dan Hamas menandatangani setidaknya enam perjanjian gencatan senjata pada tahun 2008, 2012, 2014, 2019, dan 2021. Setiap perjanjian berlanjut ke arah yang serupa. Hamas, pada umumnya, mematuhi perjanjian. “Israel”, pada umumnya, tidak (mematuhi perjanjian tersebut). Akhirnya, kebrutalan “Israel” memicu serangan roket Hamas, lalu “Israel” menjadikannya alasan untuk melakukan agresi di Gaza sehingga menghasilkan gencatan senjata lagi, dan kemudian pola itu berulang. Berikut ini sejarah singkat perundingan gencatan senjata antara “Israel” dan Hamas, sejak tahun 2008 hingga saat ini.

2008

“Israel” dan Hamas menandatangani perjanjian gencatan senjata pada tanggal 19 Juni 2008. Perjanjian ini terjadi setelah satu tahun kebrutalan “Israel” yang diawali oleh blokade darat, udara, dan laut “Israel” di Jalur Gaza; blokade yang diperketat pada tahun 2006 dan 2007 untuk menghukum rakyat Palestina di daerah kantong itu karena telah berpihak pada yang salah: Hamas.

Tujuan dari blokade “Israel” adalah untuk membuat Gaza “berada di ambang kehancuran,” seperti yang dikatakan oleh para pejabat “Israel” kepada Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada tahun 2008. Atau, mengutip Dov Weisglass, penasihat Perdana Menteri “Israel” Ehud Olmert, tujuannya adalah untuk membuat warga Palestina “berdiet”.

Butuh waktu cukup lama untuk mencapai gencatan senjata pada Juni 2008. Setelah Hamas memenangkan pemilihan umum yang bebas dan adil pada Januari 2006, “Israel”, Otoritas Palestina (PA), dan Amerika Serikat (AS) bersekongkol untuk melakukan kudeta terhadap mereka. Hamas mengetahui rencana tersebut, perang saudara pun terjadi di Jalur Gaza, dan Hamas mengambil alih kekuasaan.

Hal ini memperburuk ketegangan, dan aksi saling balas antara militer “Israel” dan kelompok-kelompok perlawanan Palestina di Gaza semakin meningkat. Sejak tahun 2006 hingga penandatanganan perjanjian gencatan senjata pada Juni 2008, pasukan “Israel” telah membunuh 1.179 warga Palestina di Gaza, termasuk 218 anak-anak, sedangkan pasukan Palestina di Jalur Gaza menewaskan 10 tentara “Israel” dan 0 warga sipil.

Kemudian terjadilah gencatan senjata. Menurut Amnesty, gencatan senjata tersebut menjadi “faktor terpenting dalam mengurangi korban sipil dan serangan terhadap warga sipil ke tingkat terendah” dalam 8 tahun terakhir. Sejak 19 Juni 2008 hingga 4 November 2008, Hamas menembakkan 0 roket dan mortir ke “Israel”, serta mengendalikan kelompok-kelompok Palestina lainnya, menurut juru bicara “Israel” Mark Regev pada 9 Januari 2009.

Segera setelah perjanjian itu ditandatangani, “Israel” mengumumkan bahwa mereka tidak akan membuka perbatasan atau melonggarkan blokade hingga Hamas membebaskan Gilad Shalit, seorang serdadu “Israel” yang disandera Hamas. “Israel” telah menempatkan sebuah syarat baru dalam perjanjian tersebut.

Semakin memperkeruh keadaan, pada 4 November 2008, “Israel” dengan seenaknya melanggar bagian lain dari perjanjian gencatan senjata, yaitu dalam hal penghentian serangan. “Israel” menyerbu Jalur Gaza dengan pasukan darat, membunuh enam warga Gaza pada hari Pemilihan Presiden AS, berharap tidak ada yang menyadarinya. Serangan itu segera disusul dengan rentetan puluhan roket yang ditembakkan oleh kelompok-kelompok pejuang Palestina ke kota-kota di “Israel” bagian selatan.

Militer “Israel” menyimpulkan bahwa Hamas kemungkinan besar ingin melanjutkan gencatan senjata, meskipun ada serangan tersebut, dengan keyakinan bahwa mereka dapat mengganggu gencatan senjata “tanpa perlu mengganggu gencatan senjata”. “Israel” pun memanfaatkan keadaan itu.

Kurang dari dua bulan kemudian, “Israel” mengobarkan perang besar-besaran terhadap 1,5 juta penduduk Gaza, membunuh 1.400 warga Palestina, termasuk di antaranya 700–900 warga sipil dan 288 anak-anak. Sebuah misi pencari fakta PBB, yang dikenal dengan Laporan Goldstone, menyimpulkan di halaman 408 bahwa tujuan perang “Israel” adalah untuk “menghukum, mempermalukan, dan meneror penduduk sipil” di Gaza.

Perang di Gaza tahun 2008–2009 tidak pernah benar-benar berakhir. “Israel” mengumumkan gencatan senjata sepihak pada 17 Januari 2009, namun tidak segera menarik pasukannya dari Gaza dan juga tidak setuju untuk mencabut blokade. Hasilnya adalah permusuhan yang terus berlanjut. Pertanyaannya bukan apakah “Israel” akan melakukan agresi lagi, melainkan kapan.

2012

Sementara itu, pada bulan November 2011, aktivis “Israel” Gershon Baskin mulai mengadakan pembicaraan rahasia dengan para pejabat “Israel” dan Hamas untuk mengamankan gencatan senjata “jangka panjang” setelah ia memainkan peran kunci sebagai mediator selama perjanjian Gilad Shalit pada awal tahun itu.

Para pejabat Hamas menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menyusun sebuah draf. Mereka membaginya dengan Baskin, yang bertemu dengan Menteri Pertahanan “Israel”, Ehud Barak, untuk memberitahukan bahwa Hamas sedang merumuskan tawaran gencatan senjata. Baskin mengklaim bahwa Barak merasa skeptis, namun tetap mengadakan pertemuan tingkat tinggi dengan perwakilan Kantor Perdana Menteri, Shin Bet, tentara “Israel”, Kementerian Luar Negeri, dan Mossad. Setelah satu setengah bulan berunding, pihak “Israel” “mengambil keputusan untuk tidak memutuskan,” menurut Baskin.

Namun, seperti yang ditegaskan Baskin, Hamas ingin “memutus siklus kekerasan”. Inilah sebabnya, pada Maret 2012, ketika faksi Jihad Islam Palestina (PIJ) terlibat baku tembak dengan militer “Israel”, Hamas tidak ikut bertempur, dan bahkan dikritik oleh PIJ. Kabarnya, Hamas tidak ingin bentrokan tersebut memicu perang habis-habisan. Ahmed Ja’abari, orang kedua dalam komando sayap militer Hamas dan “orang yang paling berkuasa di Gaza”, bertindak beberapa kali untuk memblokir serangan roket ke “Israel”. Baskin bahkan mengklaim bahwa, dalam beberapa kesempatan, ketika Hamas terseret ke dalam eskalasi yang tidak diinginkan, Ja’abari mengarahkan para pejuangnya untuk menembak ke tempat terbuka untuk mencegah pembalasan “Israel”.

Baskin menerima kabar dari Hamas bahwa draf perjanjian akan siap pada keesokan harinya, lantas informasi itu ia sampaikan kepada rekan-rekannya dari “Israel” dan Mesir.

Setelah berbulan-bulan melakukan diskusi internal, sebuah draf diselesaikan pada Rabu pagi, 12 November 2012. Draf tersebut dibagikan kepada Musa Abu Marzuk, Wakil Ketua Biro Politik Hamas, Khalid Misy’al, Ketua Biro Politik, dan Ahmed Ja’abari. Mereka diharapkan untuk menyetujuinya hari itu juga. Namun, pada pukul 4 sore tanggal 12 November, para pemimpin “Israel” memilih untuk tidak menerima tawaran gencatan senjata dari Ja’abari. Sebaliknya, mereka memilih untuk membunuhnya.

“Israel” mengubah kesempatan gencatan senjata menjadi pertumpahan darah, yang dikenal sebagai Operasi “Pilar Pertahanan”. Dalam operasi tersebut “Israel” membunuh 171 warga Palestina, sebagian besar warga sipil, sedangkan Hamas menewaskan 6 warga “Israel”, 4 di antaranya warga sipil. Ini adalah babak lain dari “memotong rumput”, seperti kata pepatah di “Israel”, yakni kehidupan warga Palestina diibaratkan sebagai rumput liar yang tumbuh terlalu tinggi.

Perjanjian gencatan senjata lainnya dicapai pada tanggal 21 November 2012. Polisi “Israel” mengatakan bahwa 12 roket mendarat di “Israel” “dalam beberapa jam” setelah gencatan senjata diberlakukan, meskipun Hamas membantah laporan tersebut. Jika benar, tidak jelas apakah roket-roket tersebut ditembakkan sebelum perjanjian berlaku dan mendarat di “Israel” beberapa menit setelahnya, atau apakah roket-roket tersebut ditembakkan oleh PIJ. Yang jelas, keesokan harinya, kedua belah pihak menghentikan serangan.

Sama seperti perjanjian Juni 2008, perjanjian ini juga menyerukan untuk “membuka penyeberangan dan memfasilitasi pergerakan keluar masuk orang dan pengiriman barang; tidak membatasi pergerakan bebas penduduk atau menargetkan penduduk di daerah perbatasan.”

Menurut OCHA, dalam waktu seminggu setelah penandatanganan perjanjian gencatan senjata, “Israel” melonggarkan pembatasan yang telah diberlakukannya terhadap akses ke Laut Mediterania dan daerah-daerah di dekat pagar pembatas, tetapi tidak pada pergerakan orang dan barang ke dan dari Gaza melalui penyeberangan Erez dan Kerem Shalom yang dikuasai “Israel.” “Israel” gagal melonggarkan blokadenya.

Perjanjian itu juga gagal menghentikan pertempuran. Dalam beberapa bulan, tentara “Israel” terus melakukan serangan rutin ke Gaza, menembaki para petani Gaza dan mereka yang mengumpulkan barang bekas dan puing-puing di seberang perbatasan, menembaki perahu dan menolak akses nelayan Gaza ke perairan pesisir mereka, yang merupakan pelanggaran lain dari perjanjian tersebut.

Selama tiga bulan pertama, sejak 22 November 2012 hingga 22 Februari 2013, tidak ada roket dan hanya ada dua peluru mortir yang keluar dari Gaza, sedangkan “Israel” menyerang warga Palestina di Gaza puluhan kali, membunuh empat orang dan melukai 91 lainnya. Hal ini bahkan diakui oleh konsul jenderal “Israel” di Los Angeles: “Selama tiga bulan terakhir, tidak ada roket yang ditembakkan dari Gaza.”

Selama dua tahun berikutnya, “Israel” melanggar perjanjian gencatan senjata dua kali lipat lebih sering daripada Hamas. Dari 191 pelanggaran yang dilakukan “Israel”, 10% mengakibatkan kematian dan 42% mengakibatkan cedera atau penahanan; dari 75 pelanggaran yang dilakukan pihak Palestina, 4% mengakibatkan cedera dan tidak ada yang mengakibatkan kematian. Dengan kata lain, kekerasan tingkat rendah yang sama terus berlanjut, dengan “Israel” melakukan sebagian besar kekerasan dan seluruh pembunuhan.

2014

Pada bulan Juni 2014, Fatah dan Hamas menyetujui perjanjian persatuan, yang membuat marah “Israel” yang telah lama berusaha untuk membuat kedua partai politik dominan Palestina itu terpecah belah.

Beberapa minggu kemudian, sebuah kelompok di Al-Khalil, kemungkinan besar bertanggung jawab atas pembunuhan brutal terhadap tiga remaja pemukim ilegal “Israel” di Tepi Barat. “Israel” kemungkinan besar tahu bahwa kepemimpinan Hamas di Gaza tidak terlibat, namun insiden tersebut menjadi dalih yang sempurna, meski tidak benar, untuk menyabotase perjanjian persatuan Fatah-Hamas. Selama beberapa minggu berikutnya, menurut sumber-sumber militer “Israel”, “Israel” menangkap 419 warga Palestina di Tepi Barat, termasuk 335 orang yang berafiliasi dengan Hamas, dan membunuh enam orang, serta melakukan puluhan serangan di Gaza, membunuh lima anggota Hamas pada 7 Juli, ketika Hamas menembakkan roket-roketnya ke “Israel”.

Yang terjadi selanjutnya adalah operasi pembantaian tanpa pandang bulu oleh “Israel”, Perang Juli 2014. “Israel” membunuh 2.200 warga Palestina di Jalur Gaza, termasuk 1.500 warga sipil Gaza dan 550 anak-anak, melukai 10.000 orang dan menghancurkan 18.000 rumah, sedangkan Hamas menewaskan 67 serdadu “Israel” dan 6 warga sipil “Israel”.

Setelah 51 hari perang, “Israel” dan Hamas menandatangani perjanjian gencatan senjata. Perjanjian itu, seperti yang dikatakan oleh Guardian, “hampir sama” dengan apa yang telah disepakati 21 bulan sebelumnya, dan sangat mirip dengan perjanjian tahun 2008.

Selain penghentian pertempuran, “Israel” setuju untuk (1) membuka penyeberangan di perbatasannya untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan dan bahan bangunan masuk ke Gaza; (2) memperluas zona penangkapan ikan yang diizinkan hingga enam mil di lepas pantai Gaza; dan (3) membuka pelintasan perbatasan Rafah antara Gaza dan Mesir.

Bagi “Israel”, tak satu pun dari ketentuan-ketentuan ini yang berarti mengakhiri blokade sehingga kondisi kekerasan tingkat rendah dan saling balas terus berlanjut selama bertahun-tahun. “Israel” melanjutkan serangan daratnya sesekali ke Jalur Gaza, sedangkan Hamas sesekali menembakkan roket ke “Israel”. Setiap beberapa bulan, seperti pada November 2018 atau Mei 2019, berbagai perseteruan memuncak menjadi bentrokan, dan bentrokan tersebut menyebabkan—lebih banyak perjanjian gencatan senjata.

Sementara itu, blokade terus berlanjut sehingga perang “Israel” di Gaza terus berlanjut, dan kebrutalan mereka pun terus berlanjut.

2021

Putaran kekerasan besar berikutnya terjadi pada Perang Mei 2021, ketika “Israel” membunuh 261 warga Palestina di Gaza, sebagian besar warga sipil, sedangkan kelompok pejuang Palestina menewaskan 14 warga “Israel”. Hamas dan “Israel” menandatangani perjanjian gencatan senjata lagi pada 20 Mei 2021.

Dalam waktu satu bulan, “Israel” melanggarnya dua kali: pertama, pada 16 Juni 2021, “Israel” mengebom Khan Yunis, kedua, pada 18 Juni 2021, “Israel” mengebom sebelah utara Beit Lahia. Tidak ditemukan laporan tentang adanya pelanggaran oleh Hamas.

2023–2025

Hal itu membawa kita ke bulan-bulan menjelang 7 Oktober, periode waktu yang tampaknya ada “gencatan senjata”. Sepanjang September 2023, warga Palestina melakukan unjuk rasa di pagar pembatas Gaza, menuntut diakhirinya blokade. Hal ini mengingatkan kita pada demonstrasi Great March of Return pada tahun 2018–2019. Selama serangan ini, militer “Israel” membunuh salah seorang pengunjuk rasa Palestina dengan tembakan di kepala dari arah belakang, dan melukai puluhan lainnya, termasuk empat jurnalis yang mengenakan perlengkapan pers.

Kemudian terjadi serangan 7 Oktober, Hamas dan kelompok-kelompok perlawanan lainnya di Gaza menyerbu “Israel”. Sebanyak 695 warga “Israel” terbunuh, termasuk 36 anak-anak, 373 anggota pasukan keamanan dan 71 orang asing, dengan total 1.139 orang.

Puluhan, bahkan mungkin ratusan dari mereka sebetulnya dibunuh oleh militer “Israel”, bukan Hamas, ketika “Israel” mengeluarkan perintah yang disebut dengan Hannibal Directive“massal” yang berlaku di seluruh wilayah tersebut. Ini adalah perintah rahasia “Israel” yang dikeluarkan pada 7 Oktober, yang memerintahkan pasukan “Israel” untuk membunuh warga sipil atau serdadu “Israel” daripada membiarkan mereka disandera atau ditawan.

Kita tahu apa yang terjadi selanjutnya. Tanggapan “Israel” adalah mengerahkan pasukan yang belum pernah terjadi sebelumnya, membunuh ratusan warga Palestina setiap hari selama berbulan-bulan. “Jeda kemanusiaan” selama seminggu pada akhir November 2023 membawa pertukaran sandera dan tawanan, serta jeda sementara bagi masyarakat Gaza. Namun, bahkan saat jeda selama seminggu itu, “Israel” melanggar perjanjian sebanyak 3 kali, menurut OCHA, membunuh 2 orang Palestina di utara kota Gaza.

Ketika perundingan gencatan senjata dilanjutkan, Perdana Menteri “Israel” Netanyahu tidak menjanjikan perjanjian dengan Hamas, melainkan menjanjikan pemusnahan total Hamas. Dan, barangkali jika ada keraguan, pada 2 Januari 2024, “Israel” membunuh juru bicara Hamas yang baru saja diangkat, Saleh Al-Arouri. Ini adalah kejadian pertama dari tiga kejadian yang, ketimbang bernegosiasi dengan anggota tim Hamas, “Israel” justru memilih untuk membunuh mereka. Akibatnya, Hamas membekukan perundingan gencatan senjata.

Pada Februari 2024, muncul laporan tentang draf perjanjian gencatan senjata, tetapi sikap “Israel” tetap sama: bukan perjanjian dengan Hamas, tetapi “kemenangan total” atas Hamas.

Pada tanggal 6 Mei, pemimpin Hamas Ismail Haniyah mengatakan bahwa kelompoknya telah menerima proposal gencatan senjata, bahkan mengarah pada perayaan singkat di Gaza. Namun, “Israel” mengatakan bahwa mereka tidak menyetujui persyaratan gencatan senjata, malah memutuskan untuk menyerang Rafah, ini bukan pertanda bahwa Netanyahu ingin menghentikan pertempuran. Kemudian pada akhir Mei, Presiden AS Joe Biden menyatakan “Israel” telah “menyetujui proposal gencatan senjata.” Hal itu ternyata juga salah. 

Selama bulan-bulan berikutnya, setiap kali perjanjian semakin mendekati hasil, Netanyahu menyabotase perjanjian itu dengan menambahkan persyaratan baru yang dia tahu tidak dapat diterima Hamas.

Pada akhir Juli 2024, “Israel” bersikeras akan mempertahankan kehadiran militer permanen di sepanjang perbatasan Gaza-Mesir dan tidak akan mengizinkan kembalinya para pengungsi ke rumah mereka di Gaza utara. Persyaratan baru ini tidak dapat diterima oleh Hamas, dan semua orang mengetahuinya. Bahkan surat kabar berbahasa Inggris yang pro-Netanyahu milik “Israel”, Jerusalem Post, memuat berita utama dengan mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya bahwa “Netanyahu (secara) aktif menyabotase (perjanjian) pertukaran sandera.” 

Kemudian, pada tanggal 31 Juli, “Israel” membunuh kepala biro politik Hamas, Ismail Haniyah, yang merupakan tokoh penting dalam perundingan. Ini merupakan tanda yang paling jelas bahwa “Israel” tidak tertarik pada gencatan senjata.

Foto: PIC

Pembunuhan tak terduga “Israel” terhadap Yahya Sinwar pada Oktober 2024 membuat perjanjian semakin sulit dicapai, karena “tiba-tiba, tidak ada satu pun penentu, dan jauh lebih sulit untuk mendapatkan keputusan dari Hamas,” mengutip pernyataan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken.

Semua itu baru-baru ini dikonfirmasi oleh (sekarang mantan) Menteri Keamanan Nasional “Israel” Itamar Ben-Gvir, yang sesumbar bahwa “dengan kekuatan politik kami, kami telah berhasil mencegah perjanjian sejauh ini.”

Pada musim gugur 2024, pembicaraan gencatan senjata secara efektif mati karena “Israel” terus menekan di Lebanon. Biden dan Blinken lebih memilih penghancuran Hizbullatta daripada rekonstruksi Gaza sehingga mereka merestui perang “Israel” di Lebanon sebagai bagian dari strategi untuk membentuk kembali Timur Tengah sesuai dengan citra “Israel”.

Secara ajaib, pembicaraan gencatan senjata dihidupkan kembali pada Desember 2024. Tiba-tiba, perjanjian tampaknya sudah dekat dan tiba-tiba tercapai pada 15 Januari 2025. Teksnya persis sama dengan perjanjian Mei 2024 yang dikatakan Biden kepada kita sebagai perjanjian “Israel”, yang diterima oleh “Israel”, lebih dari enam bulan yang lalu.

Jadi, apa yang akhirnya memaksa Netanyahu untuk menyerah pada Januari 2025? Apakah tekanan dari tim Trump, seperti yang dikatakan sebagian besar analis? Itu hampir pasti memainkan peran penting. Apakah keinginan Netanyahu adalah memberikan “kemenangan” bagi Trump? Tekanan publik untuk membawa pulang para sandera? Pergeseran besar dalam opini publik di “Israel”, yang mengindikasikan bahwa 60% dan 70% warga “Israel” mendukung diakhirinya perang? Kesadaran Netanyahu bahwa ia mendapat lampu hijau dari pemerintahan Trump untuk melanjutkan pembantaian dalam 42 hari? Tekanan dari pimpinan tentara “Israel” bahwa tentara mereka sudah babak belur dan kelelahan? Ya, ya, ya, ya, dan ya.

Untuk kali pertama dalam 15 setengah bulan, 19 Januari 2025, adalah momen yang benar-benar menggembirakan bagi warga Gaza, bahkan bagi semua orang di “Israel” dan Palestina. Para tawanan Palestina dan sandera “Israel” akan mulai pulang ke rumah, kelaparan di Gaza Utara akan berakhir, rekonstruksi Gaza akan dimulai, warga Palestina dapat memakamkan orang-orang yang mereka cintai, berkumpul kembali dengan anggota keluarga yang masih hidup, dan mulai membangun kembali. Perjanjian gencatan senjata akan memberikan banyak kelegaan bagi para penyintas genosida di Gaza, namun, jika sejarah dapat menjadi panduan, masih banyak hari-hari kelam yang mungkin akan datang. (Palestine Nexus)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« “Beratnya Kesulitan yang Menimpa Warga Rohingya Imbas Apatisme dan Kelambanan Masyarakat Internasional”
Hamas Desak Penjajah Zionis Tak Ganggu Tahapan Kesepakatan Gencatan Senjata »