“Anjing Datang dan Memakan Anggota Tubuh Orang Tua Saya yang Telah Meninggal”

6 February 2025, 11:33.

Anak-anak Hassouna—Lina (14), Yousef (13), Yasmine (10), dan Alaa (6)—menjadi sasaran dan yatim piatu akibat serangan serdadu “Israel” di Kota Gaza pada Maret 2024. Foto: Milik keluarga

(DCI-P) — Serdadu “Israel” membunuh orang tua keluarga Hassouna di depan keempat anak mereka di Kota Gaza pada bulan Maret 2024, meninggalkan anak-anak itu dengan trauma dan masa depan yang tidak menentu.

Berdasarkan dokumentasi yang dikumpulkan oleh Defense for Children International-Palestine (DCI-P), serdadu “Israel” secara sengaja menargetkan keluarga Hassouna, termasuk Lina (14), Yousef (13), Yasmine (10), Alaa (6), beserta kedua orang tua mereka, Amer dan Nida, di Kota Gaza pada pagi hari tanggal 23 Maret 2024.

Serdadu “Israel” menembak Amer dan Nida di depan anak-anak mereka, kemudian mengepung bangunan tempat mereka bersembunyi. Anak-anak itu bersembunyi selama dua hari tanpa makanan atau air, dan menyaksikan anjing-anjing liar memakan bagian-bagian tubuh orang tua mereka hingga sang paman menyelamatkan mereka.

Selama invasi darat “Israel” di kawasan Yaffa, kamp pengungsi Jabalia, di sebelah utara Kota Gaza pada Februari 2024, Amer Hassouna, istrinya Nida, dan anak-anak mereka, Lina, Yousef, Yasmine, dan Alaa, dipaksa meninggalkan rumah mereka. Mereka mencari perlindungan di Asosiasi Panti Asuhan Turkiye, di mana mereka dikepung oleh serdadu “Israel” selama 22 hari, tidak dapat pergi keluar atau memperoleh kebutuhan dasar, seperti makanan dan air.

Seiring dengan meningkatnya intensitas serangan “Israel”, keluarga itu berlindung di bawah sebuah tangga selama serangan berlangsung karena khawatir akan keselamatan mereka. Yousef naik ke lantai atas untuk mengambil beberapa barang, namun ia terlihat oleh seorang penembak jitu “Israel” yang ditempatkan di sebuah bangunan di seberang Asosiasi Turkiye. Tak lama kemudian, sebuah rudal yang ditembakkan dari drone “Israel” menghantam area terdekat.

Saudara-saudara Amer berusaha mendekati lokasi tersebut untuk memberikan bantuan, namun tidak bisa karena para serdadu “Israel” mengawasi gerak-gerik mereka. Amer memutuskan untuk pergi bersama istri dan anak-anaknya setelah menyadari bahwa Asosiasi Turkiye kemungkinan besar akan menjadi target. Begitu mereka melangkah keluar, penembak jitu “Israel” menargetkan keluarga tersebut. Amer terkena 32 peluru, Nida terkena tiga peluru, dan putri mereka, Lina, terkena satu peluru di bagian dada.

Meskipun terluka, keluarga tersebut terus berlari hingga mencapai sebuah bangunan terbengkalai yang masih dalam tahap konstruksi sebagian. Di sana, Amer dan Nida terus mengalami perdarahan di depan anak-anak mereka dari pukul 7 pagi hingga 11:30 pagi, hingga akhirnya mereka mengembuskan napas terakhir karena luka-luka yang diderita.

Dua hari terjebak bersama jenazah orang tua

“Momen tersulit yang saya alami adalah saat melihat jasad ibu dan ayah saya,” kata Yousef kepada DCIP. “Saya menangis sangat banyak untuk ayah dan ibu saya. Pada saat itu, saya tidak peduli dengan diri saya sendiri atau saudara-saudara saya. Kami menghabiskan dua hari tanpa air atau makanan.”

Keempat anak itu terjebak di lantai bawah bangunan bersama dengan jenazah orang tua mereka. Lina, yang masih terluka, terus mengalami perdarahan, dan dadanya mulai membengkak akibat luka tersebut.

“Saya tertembak peluru di dada, dengan lubang masuk dan keluar, yang menyebabkan atrofi pada paru-paru, namun sebagian telah berhasil diobati. Saya terus-menerus meniup balon untuk memperkuat otot paru-paru,” kata Lina kepada DCIP. “Yang paling mengganggu saya adalah efek dari cedera di dada saya, ada bekas luka yang terlihat jelas, yang terkadang membuat saya kehilangan kepercayaan diri. Saya perlu menjalani operasi.”

Yousef menghubungi paman-pamannya untuk meminta bantuan dan memberi tahu mereka bahwa mereka terjebak, orang tua mereka telah dibunuh, dan saudara perempuannya sedang mengalami perdarahan. Ketika malam tiba, anjing-anjing liar datang ke lantai dasar di mana anak-anak dan mayat orang tua mereka berada dan mencoba memakan mayat-mayat tersebut.

“Yang saya pikirkan hanyalah ayah dan ibu saya yang telah dibunuh,” kata Yousef. “Saya tidak bisa melupakan saat anjing datang dan memakan anggota tubuh orang tua saya yang telah meninggal.”

“Sebuah quadcopter ‘Israel’ memasuki tempat itu dan mulai menembak mayat ayah dan ibu saya,” kata Yousef. Ia memanggil saudara perempuannya untuk turun dan menarik saudara perempuannya yang terluka ke ruang bawah tanah, mereka bersembunyi di balik tong-tong air karena takut ditembak.

Anak-anak itu terjebak selama dua hari tanpa makanan atau air dan terpaksa memakan makanan busuk yang mereka temukan. Pada hari ketiga, meskipun terjadi penembakan terus-menerus, paman-paman mereka mengambil risiko dan masuk ke dalam bangunan untuk menyelamatkan anak-anak tersebut.

Ketika mereka melarikan diri, salah satu paman tertembak peluru di bagian mata sehingga kehilangan satu mata dan sebagian pendengarannya akibat luka tersebut. Lina dibawa ke Rumah Sakit Yordania, yang merupakan rumah sakit terdekat.

Namun, rumah sakit tersebut awalnya menolak menerima mereka karena serdadu Zionis mengancam, “masuknya setiap orang yang terluka berarti rumah sakit akan menjadi target langsung.” Setelah mereka memohon bantuan dan memohon berkali-kali, akhirnya pihak rumah sakit mengizinkan mereka masuk dengan risiko besar.

Harus merawat 23 anak

“Saya merawat 23 anak,” kata Ali Hassouna, wali dan salah satu paman dari anak-anak tersebut, kepada DCI-P. “Termasuk anak-anak saya, anak-anak dari saudara saya, Muhammad yang terluka ketika mencoba menyelamatkan anak-anak saudara saya, Amer, serta anak-anak dari saudara saya yang lain yang berangkat dua hari sebelum perang dimulai dan tidak dapat kembali karena penutupan penyeberangan oleh ‘Israel’.”

Ali menggambarkan kesulitan menjadi wali bagi semua anak-anak ini dan menambahkan, “Hal paling sulit yang saya hadapi adalah banyaknya anak yang harus saya rawat. Masing-masing dari mereka memiliki keinginan berbeda dalam bermain, makan, atau minum, dan saya harus memenuhi semua keinginan tersebut.”

Pembantaian Tepung

“Waktu kami mengalami kelaparan parah adalah periode tersulit dalam hidup kami, karena saya membeli sekantong tepung terakhir seharga 2.800 shekel (sekitar $776 USD), yang merupakan uang terakhir yang saya miliki saat itu,” kata Ali kepada DCI-P. “Saya harus memastikan bahwa kantong tepung tersebut bertahan selama mungkin, jadi saya hanya mengizinkan setiap anak makan satu kali sehari, hanya setengah roti agar tepung tidak habis. Sementara itu, untuk orang dewasa, bagian kami kurang dari setengah roti per hari, dan kami harus menahan rasa lapar demi anak-anak ini.”

“Pembantaian di Bundaran Al-Kuwait terjadi ketika saya berada di sana, setelah itu saya memutuskan untuk tidak pernah kembali ke sana, meskipun kami harus mati kelaparan,” kata Ali kepada DCI-P. “Suatu ketika kami kehabisan tepung, saya harus menggunakan kedelai, dan saat itulah perjalanan penderitaan baru dimulai, karena semua anak alergi terhadap kedelai.”

Serdadu dan tank “Israel” menembaki individu dan sekelompok warga Palestina, menewaskan 19 warga Palestina dan melukai 23 lainnya, yang  berusaha mendapatkan tepung dari konvoi bantuan kemanusiaan di Bundaran Al-Kuwait di Kota Gaza pada 23 Maret 2024, yang juga dikenal sebagai Pembantaian Tepung kedua, setelah pembantaian di Jalan Rashid pada 29 Februari 2024.

Insomnia, mengompol, menangis berjam-jam

Genosida “Israel” telah meninggalkan anak-anak dengan serangkaian gejala psikologis yang berkaitan dengan ketakutan terhadap pengeboman, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku, yang memengaruhi keamanan psikologis dan perkembangan pribadi mereka.

“Saya menghadapi kesulitan dalam mengurus Yousef karena dia tidak mau tinggal di rumah. Dia selalu lebih memilih bermain dan keluar pada malam hari, namun saya berusaha sebaik mungkin untuk melindunginya,” kata Ali.

“Ibu berpesan kepada kami untuk saling menjaga dan menyayangi satu sama lain,” kata Lina kepada DCI-P. “Aku sangat merindukan ibu dan ayahku. Aku terjaga sepanjang malam karena aku sangat merindukan mereka dan selalu memikirkan mereka.”

“Lina menderita insomnia dan tidak bisa tidur pada malam hari. Saya sering mendekatinya saat malam hari untuk membujuknya tidur, namun sia-sia,” kata istri Ali, yang bersama suaminya merawat anak-anak tersebut. “Saya memberikan tugas kepada semua orang. Para gadis harus belajar beberapa tugas rumah tangga, dan saya mencoba melibatkan semua orang dalam mengatur, mengisi air, membersihkan rumah, dan mencuci piring.”

“Yasmine menghabiskan waktu berjam-jam untuk menangis dalam diam dan itu adalah satu-satunya cara baginya untuk meredakan stres,” kata istri Ali kepada DCI-P. “Alaa mengalami masalah buang air kecil secara tidak sadar setelah insiden ini. Tidak ada obat psikiatri atau bahkan obat organik untuk mengobatinya. Saya mencoba untuk menyeimbangkan antara memberikan hadiah kepadanya di satu waktu dan mendisiplinkannya pada waktu lainnya, namun sia-sia.”

Ketiadaan pendidikan dan rutinitas harian di tengah kehancuran di Gaza telah menjadi sebuah krisis, yang mengancam kesehatan mental anak-anak secara keseluruhan.

“Aku merindukan sekolah, namun situasinya berbahaya. Sebelum perang, aku adalah siswa terbaik di kelas. Aku adalah siswa yang berprestasi. Aku berharap bisa kembali ke sekolah lagi,” kata Lina.

Serdadu “Israel” dengan sengaja menargetkan warga sipil Palestina, termasuk anak-anak, dengan tidak pandang bulu dan tidak proporsional dengan tujuan untuk membunuh mereka, memanfaatkan kekebalan hukum yang diberikan kepada “Israel”. Serdadu “Israel” telah menyebabkan luka fisik dan psikologis permanen bagi ribuan anak-anak Palestina di Gaza selama sekitar 15 bulan genosida, menurut dokumentasi yang dikumpulkan oleh DCI-P.

Hukum pidana internasional melarang kekejaman berat, termasuk kejahatan genosida, kejahatan agresi, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang, serta menetapkan pertanggungjawaban pidana individu bagi pelakunya.

Kejahatan genosida merupakan pembunuhan yang disengaja, baik secara keseluruhan maupun sebagian, terhadap suatu kelompok bangsa atau etnis tertentu dengan maksud untuk memusnahkan kelompok tersebut. Genosida dapat terjadi karena pembunuhan atau dengan menciptakan kondisi kehidupan yang sangat buruk sehingga menyebabkan kehancuran kelompok tersebut. Penggunaan kelaparan terhadap warga sipil sebagai metode peperangan merupakan tindakan dasar genosida dan setara dengan kejahatan perang. (DCI-P)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Presiden Suriah: “Saatnya Turkiye-Suriah Menjalin Kemitraan Strategis di Semua Sektor”
Menguak Motif Trump di Balik Rencana Ambil Alih Wilayah Gaza »