Ketakutan, 20 Tahun Terakhir Penjajah Zionis Penjarakan Sekira 10.000 Anak Palestina
5 March 2025, 22:11.
PALESTINA (TRT World) – Anak-anak Palestina yang masih berusia 12 tahun mengalami penangkapan, penyiksaan, dan pemenjaraan di bawah rezim brutal penjajah ‘Israel’.
Kejahatan tersebut merupakan taktik dalam skema yang luas untuk mengendalikan dan mengintimidasi warga Palestina agar mau tunduk dan tak melawan.
Penjajah zionis ‘Israel’ sepertinya merasa begitu terancam oleh anak-anak Palestina. Jiwa perlawanan mereka yang tak bisa dipatahkan itu menjadi musuh besar pendudukan ‘Israel’ yang ilegal.
Penjajah ‘Israel’ melihat anak-anak Palestina sebagai ancaman atas keberlangsungan negara palsu ‘Israel’.
Oleh karena itu, mereka melakukan teror untuk membuat anak-anak Palestina tunduk, guna memastikan agar ketika anak-anak itu dewasa tidak mengganggu penjajahan yang ‘Israel’ lakukan.
Sampai saat ini, ‘Israel’ adalah satu-satunya “negara” yang secara sistematis menyeret anak-anak di bawah umur ke pengadilan militer.
Hilangnya Masa Kanak-Kanak
Saat ini, sedikitnya 340 anak dipaksa mendekam di penjara-penjara ‘Israel’, dengan 95 lainnya mendapat “penahanan administratif”, tanpa dakwaan jelas, tanpa proses peradilan, dan masa tahanannya bisa diperbarui setiap 6 bulan sehingga berujung pada masa tahanan yang tak terbatas.
Apa dakwaan yang paling sering? Melempar batu; yang bisa berakibat hukuman sampai 20 tahun penjara.
Dalam 20 tahun terakhir, ‘Israel’ telah memenjarakan kurang lebih 10.000 anak Palestina.
Artinya setiap tahun, penjajah ‘Israel’ menyekap dan menyeret 500 hingga 700 anak Palestina ke “meja hijau”.
Ditambah setelah ‘Israel’ melancarkan agresi genosida ke Gaza pada 7 Oktober 2023, angka itu melonjak drastis.
Pada bulan pertama saja, penjajah ‘Israel’ sudah menahan 145 anak-anak.
Kekejaman ‘Israel’ terhadap tahanan anak-anak juga semakin brutal.
Omar, yang disekap saat umur 17 tahun, mengatakan; “Perlakuan mereka berubah jauh setelah 7 Oktober. Mereka mulai bertindak brutal dan biadab, menyiksa secara fisik dan mental, melecehkan, dan memindahkan dari penjara satu ke penjara lain.”
Di bawah penjajahan ‘Israel’, warga Palestina diatur menggunakan hukum yang berbeda tergantung di mana mereka tinggal.
Namun, satu kesamaannya, mereka semua menjadi korban sistem opresif yang dengan sengaja menargetkan anak-anak.
Warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki, hidup di bawah undang-undang militer ‘Israel’, yang sudah sejak lama memperbolehkan pendakwaan dan penahanan anak-anak 12 tahun ke atas.
Sementara itu, warga Palestina di wilayah timur Baitul Maqdis hidup di bawah undang-undang sipil/umum ‘Israel’.
November 2024, Knesset mengesahkan undang-undang biadab yang menurunkan usia minimal penahanan anak-anak Palestina dari 14 menjadi 12 tahun di seluruh wilayah jajahan ‘Israel’.
Melanggar Hukum Internasional
Penjajah ‘Israel’ sama sekali tidak menjunjung hukum internasional di Gaza, mereka telah membantai dan menyerang puluhan ribu anak-anak sejak Oktober 2023.
Oleh karena itu, bukan hal yang mengejutkan ketika ‘Israel’ melakukan pelanggaran hukum internasional lagi, termasuk melanggar perjanjian mengenai hak anak-anak, dengan memenjarakan anak-anak Palestina berikut dengan siksaan fisik dan mental.
Pelanggaran ini bahkan sudah terjadi sebelum anak-anak itu dibawa ke penjara.
Aparat ‘Israel’ secara rutin mengadakan penyergapan malam yang dibalut dengan kekerasan. Anak-anak Palestina yang tak berdaya diseret dari tempat tidur mereka dan dipukuli.
Yousef Meshem, yang disekap saat umur 15 tahun, mengatakan; “Saya sedang tidur, dan terbangun ketika seorang serdadu memukuli saya. Saya masih trauma dan terus dibayangi kejadian itu.”
Anak-anak disekap, kemudian diinterogasi ketika masih setengah sadar. Sementara itu, orang tua mereka dibiarkan begitu saja tanpa diberitahu informasi apa pun mengenai keberadaan anak mereka maupun kejahatan yang didakwakan.
Pasal 37 Konvensi Hak Anak menyatakan, “Tidak boleh ada anak yang menjadi sasaran penyiksaan maupun kekejaman, dan perlakuan atau siksaan yang tidak manusiawi dan melecehkan lainnya.”
Meski begitu, penyiksaan dan perlakukan yang kejam maupun tidak manusiawi, terus dilakukan tanpa halangan oleh ‘Israel’.
Rose Khwais, yang disekap saat usia 16 tahun, mengatakan; “Mereka menakut-nakuti dan mengancam kami, serta melakukan penggeledahan hingga kami dipaksa membuka pakaian. Seorang gadis akan dibawa ke sel isolasi dan nanti dikeluarkan lagi tanpa mengenakan hijab.”
Laporan Save the Children tahun 2023 mengungkap sebagian besar anak-anak Palestina yang disekap mendapat siksaan fisik dan mental.
– 86% dilaporkan dipukuli
– 69% digeledah sampai telanjang selama interogasi
– Sebagian anak dilaporkan mendapat pelecehan dan kekerasan seksual
– 60% ditahan di sel isolasi
Seorang anak yang berhasil bebas menyampaikan kesaksiannya bahwa kondisi di penjara-penjara ‘Israel’ sangat mengerikan, ditandai dengan sel-sel yang melebihi kapasitas, akses terbatas untuk sanitasi, dan hampir tidak ada bantuan penanganan medis.
Sel isolasi hanyalah satu dari banyak cara terlarang yang dilakukan ‘Israel’.
Ahmed Manasra baru berusia 13 tahun ketika disekap tahun 2015 dan masih berada di dalam penjara hingga hari ini, meski tidak ada bukti yang menyatakan dia bersalah.
Dia telah menghabiskan 3 tahun di penjara isolasi, menyebabkan kondisi kesehatan mental yang buruk, termasuk schizophrenia dan depresi.
Ketika masih muda, dia menjadi sasaran interogasi yang kejam tanpa didampingi seorang pengacara, yang merupakan pelanggaran jelas atas hukum internasional.
Konvensi Hak Anak menyatakan penahanan atas anak-anak harus digunakan sebagai langkah terakhir dan untuk waktu yang sesingkat mungkin.
Namun, ‘Israel’ terus-menerus melanggar prinsip tersebut dengan cara menggunakan penahanan administratif untuk memenjarakan anak-anak tanpa masa tahanan yang jelas.
Berdasarkan sistem itu, aparat ‘Israel’ dapat menahan seseorang berdasarkan bukti yang tidak perlu dijelaskan, menyebabkan orang yang ditahan dan pengacaranya tidak mengetahui apa pelanggaran yang dituduhkan kepadanya, dan tidak dapat menyiapkan perlindungan hukum baginya.
‘Israel’ juga sering memindahkan tawanan Palestina di wilayah Palestina terjajah – tindakan yang dapat termasuk kejahatan perang – membatasi kunjungan maupun akses hukum bagi keluarganya.
Pengadilan ‘Israel’ untuk warga Palestina sebagian besar dilakukan menggunakan bahasa Ibrani. Meski penerjemah sudah disediakan, informasinya seringkali tidak konsisten dan tidak lengkap.
Represi Berkelanjutan
Penyiksaan tidak berhenti ketika seorang anak akhirnya dibebaskan, baik ditahan dalam waktu bulanan maupun tahunan, ‘Israel’ memastikan bahwa siklus represi akan terus berlanjut, guna menanamkan ketakutan kepada generasi muda Palestina selama bertahun-tahun.
Setelah pembebasannya dalam sebuah pertukaran tawanan, Ahmed Salaymeh (14 tahun) berharap bisa kembali berkumpul bersama teman-temannya di sekolah, namun kemudian dilarang masuk ke sekolahnya di wilayah timur Baitul Maqdis.
“Kami kembali ke sekolah setelah seminggu. Mereka mengajak ayah saya ke pinggir lalu memberitahu: ‘Anakmu tidak dibolehkan masuk ke sekolah ini’,” ujarnya.
Ketika dia bertanya kenapa, mereka menjelaskan bahwa tawanan yang dibebaskan selama masa agresi dilarang masuk sekolah.
‘Israel’ tidak hanya merenggut hak anak-anak ini untuk hidup normal, tetapi juga membebankan denda yang berat kepada keluarganya, seringkali mencapai ratusan bahkan ribuan dolar.
Sebagai bagian dari “hukuman kolektif”, penjajah ‘Israel’ merobohkan rumah keluarga Mohammed al Zalbani (15 tahun) yang baru-baru ini divonis 18 tahun penjara.
Tel Aviv, yang didukung oleh kemunafikan media-media Barat sering menampilkan anak-anak Palestina sebagai calon teroris yang berhak mendapat hukuman dan penjara.
Ini adalah cara tidak manusiawi lain terhadap warga Palestina, tak peduli berapa pun usia mereka, dalam upaya mencari pembenaran atas kejahatan brutal terhadap mereka, di bawah narasi “tindakan pengamanan”.
Organisasi kemanusiaan memperingatkan anak-anak Palestina yang dibebaskan dari tahanan semakin sulit untuk memulihkan kembali kehidupan mereka, tak mampu mengatasi trauma yang mereka dapat selama di penjara, dan khawatir akan ditahan kembali.
Ayham al Salaymeh (14 tahun) yang didakwa karena melempar batu, mengatakan; “Saya berada di tahanan rumah selama 18 bulan. Sekarang saya divonis satu tahun penjara, dan lima hari lagi saya harus masuk ke tahanan.”
“Kami masih anak-anak, tidak seharusnya kami dipenjara. Semestinya kami melanjutkan sekolah kami dan pergi bermain bersama teman kami. Kami seharusnya bisa berjumpa keluarga kami,” ujarnya. (TRT World)
https://www.instagram.com/reel/DGtLiDxtPxe/?igsh=aXNqdDlra3lzZzVj
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.