Diplomat Sudan: Paramiliter RSF Lakukan Kejahatan Perang di Darfur Utara

4 November 2025, 12:45.

SUDAN (Al Jazeera) – Seorang diplomat senior Sudan mengatakan bahwa milisi paramiliter Rapid Support Forces (RSF) telah melakukan kejahatan perang di wilayah Darfur Utara.

Para penyintas dari Kota El-Fasher menceritakan ngerinya pembunuhan massal dan pemerkosaan brutal yang dilakukan oleh pasukan tersebut.

Imadeldin Mustafa Adawi, Duta Besar Sudan untuk Mesir, menyampaikan tuduhan itu pada hari Ahad (2/11/2025), seraya menuding Uni Emirat Arab (UEA) membantu RSF dalam perang saudara yang masih berkecamuk di Sudan.

Pernyataan Adawi muncul setelah Perdana Menteri Sudan Kamil Idris menyerukan agar RSF diadili di pengadilan internasional dalam wawancaranya dengan surat kabar Blick asal Swiss.

Seruan untuk mengambil tindakan muncul sepekan setelah RSF merebut ibu kota Darfur Utara, El-Fasher, melalui pengepungan dan operasi kelaparan paksa selama 18 bulan yang menewaskan ribuan warga sipil. Kota itu merupakan benteng terakhir tentara Sudan di wilayah Darfur.

Sejak kejatuhan El-Fasher, para penyintas melaporkan maraknya eksekusi massal, penjarahan, pemerkosaan, dan kekejaman lainnya, yang memicu gelombang kecaman internasional.

Pemerintah Sudan melaporkan sedikitnya 2.000 orang dibunuh, tetapi saksi mata meyakini jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi. Sementara itu, puluhan ribu warga sipil diperkirakan masih terjebak di dalam kota tersebut.

“Mereka Menembak Semua Orang—Pria, Perempuan, dan Anak-Anak” 

Adam Yahya, seorang ayah empat anak yang berhasil melarikan diri, menceritakan bahwa istrinya tewas akibat serangan drone RSF; beberapa jam sebelum El-Fasher jatuh. Ia dan anak-anaknya tak sempat berduka, mereka langsung diburu oleh pasukan paramiliter itu. 

“Jalanan penuh dengan mayat. Kami sampai di salah satu barikade pasir yang dijaga RSF. Mereka menembaki orang-orang—pria, perempuan, anak-anak—dengan senapan mesin. Saya mendengar salah satu dari mereka berkata, ‘Bunuh semuanya, jangan biarkan satu orang pun hidup,’” tutur Yahya.

“Kami berlari dan bersembunyi. Malamnya, saya merangkak keluar bersama anak-anak dan menyeberangi barikade itu. Kami berjalan ke sebuah desa, dan seseorang yang kasihan pada kami memberi tumpangan ke kamp pengungsian ini.”

“Mereka Memerkosa Saya, Saya Katakan Saya Sudah Cukup Tua untuk Menjadi Ibu Kalian”

Seorang perempuan berusia 45 tahun yang kini berada di kamp pengungsian Al Dabbah di Sudan bagian utara juga menceritakan penderitaannya. Ia memperkenalkan diri hanya dengan nama Rasha.

Ketika pasukan RSF merebut markas besar militer Sudan di El-Fasher, Rasha meninggalkan kedua putrinya di rumah untuk mencari dua anak lelakinya yang hilang.

“Mereka bertanya saya mau ke mana. Saya bilang saya mencari anak-anak saya. Mereka memaksa saya masuk ke sebuah rumah dan mulai memerkosa saya,” ungkapnya.

“Saya bilang kepada mereka, saya cukup tua untuk menjadi ibu kalian. Saya menangis.”

Setelah itu, ia dilepaskan. Namun, harus meninggalkan putra-putranya yang hingga kini tak diketahui nasibnya.

“Saya membawa putri-putri saya dan melarikan diri. Kami berlari melewati mayat-mayat di jalanan, hingga akhirnya menyeberangi barikade dan tiba di sebuah desa kecil di luar El-Fasher,” ujarnya lirih. (Al Jazeera)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« United Council of Rohang (UCR) Didirikan, Wadah Perjuangan Muhajirin Rohingya
Klaim Sepihak “Lewati Garis Kuning”, Penjajah Bunuh Dua Warga Gaza di Tengah Gencatan Senjata »