Dua Masjid ‘Umari di Gaza, Dua Sejarah Hebat

Masjid 'Umari. Foto: wikimedia

JALUR GAZA, Jum’at (Sahabatalaqsha.com): Seharusnya cerita ini diturunkan minggu lalu, sehabis kami solat Jum’at di masjid itu dengan imam-khatib PM Palestina Ismail Haniyah, tapi karena berbagai kegiatan lain yang sambung-menyabung tulisan ini baru diizinkan Allah terbit sekarang.

Selama kami di Gaza, dua Masjid ‘Umari ini meninggalkan kesan yang sangat dalam di hati kami. Masjid ‘Umari yang pertama ialah masjid tertua dan terbesar di Gaza, terletak di tengah Madinah Gaza; sedangkan Masjid ‘Umari yang kedua masjid terbesar di Jabaliya, Gaza Utara, adalah tempat pertama kalinya meletus gelombang Intifadhah rakyat Palestina 1987.

Masjid ‘Umari pertama resminya disebut Masjid Agung Gaza (Jāmi’ Ghazza al-Kabīr) tapi kebanyakan orang yang kami temui lebih suka menyebutnya Masjid Agung ‘Umari alias Jāmi’ al-ʿUmarī al-Kabīr.

Suatu sore kami diajak solat maghrib di masjid ini oleh Ya’qub Sulaiman, Ketua Yayasan Salam yang menjadi mitra Sahabat Al-Aqsha di Gaza. Seperti masjid-masjid tua di Timur Tengah, masjid ini terletak di tengah pasar dan jalan-jalan yang sibuk.

“Di bulan Ramadhan jalan ini lebih ramai lagi, terutama menjelang maghrib seperti ini,” kata Abu Muhammad sembari menyetir van-nya perlahan. Kebanyakan lelaki dan perempuan di situ jalan-jalan sore sambil belanja makanan kecil untuk dinikmati bersama keluarga di malam hari. Aneka makanan tradisional dan buah-buahan dijual berderet-deret.

Pintu utama Masjid Agung ‘Umari terletak di sebuah pelataran yang masuknya lewat Jalan ‘Umar Mukhtar, salah satu jalan utama di Madinah Gaza. Ingat kan nama itu?

Ya betul. Nama jalan itu merupakan penghormatan orang Gaza terhadap pahlawan ‘ulama dan mujahid Libya yang dihukum gantung karena melawan penjajah Italia, ‘Umar Mukhtar. Di Indonesia film tentang jagoan ini diberi judul “Lion of the Desert (Singa Padang Pasir)”.

Tapi bukan karena ‘Umar yang ini nama Masjid Agungnya diberi nama ‘Umari. Melainkan dari nama Khalifah ‘Umar bin Khattab (semoga Allah meridhainya), yang singgah di tempat ini, solat dan lalu mengubah gereja Romawi Byzantium yang sudah berusia 200 tahun dan sepi, menjadi masjid.

Waktu itu Khalifah ‘Umar sedang dalam perjalanan menuju Masjidil Aqsha yang baru dibebaskan para panglima bawahannya, yang berlokasi sekitar 70 kilometer di sebelah utara Gaza.

Kolom-kolom arsitektur dalam masjid ini sungguh indah. Menurut Ibrahim Al-Hirtsani, guru sejarah dan bahasa Arab di sekolah UNRWA (milik Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang sore itu juga menemani kami, jauh sebelum jadi gereja bangunan ini adalah tempat ibadahnya para penyembah matahari, kaum Majusi.

“Lihat itu,” kata Ibrahim menunjuk ke sebuah jendela kaca di sisi utara dinding masjid yang nampak menjulang dari dalamnya. Jendela itu berbentuk mozaik kaca warna-warni khas gereja kuno. “Dari jendela itu masuk sinar matahari yang mengarah ke altar ini. Di sinilah dulu kaum Majusi menyembah matahari. Na’udzubillaah…

Jadi urut-urutan sejarahnya begini:

  • Dibangun pertama kali oleh kaum Majusi (tak ada keterangan waktu)
  • Dibangun kembali oleh Romawi Byzantium menjadi gereja lebih dari 500 tahun sesudah Nabi ‘Isa ‘alayhissalam
  • Diubah jadi masjid oleh ‘Umar bin Khattab saat membebaskan Palestina dan Negeri Syam pada abad ke-7
  • Mengalami kerusakan, termasuk robohnya menara masjid akibat gempa pada tahun 1033
  • Direbut oleh Pasukan Salib dan diubah menjadi gereja lagi dengan nama Katedral John the Baptist pada tahun 1149
  • Dibebaskan kembali menjadi masjid oleh Salahuddin Al-Ayyubi saat beliau membebaskan Masjidil Aqsha tahun 1187
  • Dibangun kembali oleh Dinasti Mamluk pada abad ke-13
  • Dihancurkan oleh pasukan Mongolia pada tahun 1260, tapi kemudian dibangun kembali untuk hancur lagi akibat gempa kedua yang terjadi di akhir abad ke-13
  • Sekitar 300 tahun kemudian Khilafah Utsmaniyah Turki membangunnya kembali
  • Lalu dirusak dengan hujan bom oleh armada Inggris pada Perang Dunia Pertama
  • Kemudian direstorasi oleh Majelis Tinggi Muslimin Palestina pada tahun 1925

Masjid 'Umari setelah dibombardir tentara Inggris pada tahun 1917 (tampak luar). Foto: Wikimedia

Waktu kami akan berwudhu, Ibrahim Al-Hirtsani guru sejarah dan bahasa Arab yang periang itu, menggoda kami, “Kamu mau mengambil senjata ya di situ…?”

Kami agak nggak nyambung dengan guyonannya.

Lalu dia menunjuk sebuah tulisan yang tertera di atas salah satu kolom berbentuk kubah, bunyinya, “Wudhu itu senjatanya orang beriman (Al-Wudhu shilahul Mu’min…).” Dikutip dari sebuah hadits.

Ibrahim terkekeh-kekeh memandangi wajah kami.

Markas Suara-suara Merdu

Sehabis solat maghrib berjama’ah, masjid itu diramaikan oleh anak-anak dan remaja yang belajar membaca, menghafal, dan memahami Al-Quran. Seru. Imam masjid yang suaranya indah mendatangi kami. Bersorban putih, mengenakan rompi hitam, dan berjubah abu-abu. Wajahnya ramah dan bersih, jenggotnya lebat sampai ke leher.

Belakangan baru kami tahu dia orang yang sangat terkenal di Gaza, namanya ‘Ahid Zino, hafizh dan qari internasional kesayangan rakyat Gaza. Usianya baru awal 30-an. Mungkin lebih muda lagi.

Dengan ramah beliau mengundang kami masuk ke sebuah ruangan di salah satu sudut masjid. Sebuah kelas dengan meja dan kursi yang rapi. Karpetnya pun bagus. Di depan tersedia meja panjang lengkap dengan hiasan bunga.

Rupanya, secara mendadak Imam Zino dan para pemuda-remaja masjid itu menyelenggarakan penyambutan istimewa untuk tamu-tamu dari Indonesia. Jadi malu. Sesudah seorang pria yang diperkenalkan sebagai Kepala Bagian Sejarah dan Penerimaan Tamu menjelaskan sejarah ringkas masjid ini, kami diberi suguhan istimewa. Apa suguhannya?

Suara merdu Imam Zino membaca potongan surat-surat Al-Quran, dengan menirukan gaya bacaan para Qari dan Imam terkenal sedunia. Subhanallaah…

Jadi, setiap yang hadir, terutama tamu-tamu dari Indonesia, diminta menyimak, lalu menebak siapa Qari/Imam terkenal yang suaranya ditirukan Imam Zino. Siapa yang bisa menebak dengan tepat mendapatkan hadiah mushaf Al-Quran istimewa. Asiiik…

Imam 'Ahid Zino. Foto: Sahabat Al-Aqsha

Imam Zino secara menakjubkan mengeluarkan suara-suara indah para Qari/Imam internasional satu per satu: Shuraim, Ghamidi, Abdullah Basfar, Al-Minsyawi, Al-Afasyi… Tapi yang paling mengejutkan beliau juga menirukan suara Al-Hafizh Ismail Haniyah. Ya, Perdana Menteri Palestina yang sanad hafalan dan bacaan Al-Qurannya tersambung ke Rasulullah Sallallaahu ‘alayhi wa sallam. Subhanallah…

Semua tamu yang hadir berhasil menebak. Ada yang memang tahu. Ada juga yang dibantu. Hadiah mushaf yang istimewa itu, diberikan oleh seseorang yang istimewa, di masjid yang istimewa, dengan cara penyerahan yang sangat istimewa. Alhamdulillah.

Sebagai balasan, salah seorang anggota Tim Amanah Indonesia (SA2Gaza), meminta izin untuk membalas kebaikan mereka dengan membacakan juga beberapa potong ayat Al-Quran: bagian akhir surat An-Naziat dan surat Abasa’, yang mengabarkan tentang keadaan Hari Kiamat. Bacaan itu direkam dan menjadi koleksi mereka.

Di dekat meja Imam Zino ada sebuah standing banner bertuliskan Al-Markaz Al-Ashwat Al-Nadiyyah (Pusat Suara-suara Merdu). Suara-suara calon penghuni Syurga insya Allah… Hebatnya, tidak sekalipun Imam Zino dan kawan-kawan mengeluh soal pengepungan Zionis yang sedang mereka alami saat ini.

56 Jam

Masjid hebat yang kedua adalah Masjid ‘Umari di kota Jabaliya, Gaza Utara, letaknya sekitar 4 kilometer di sebelah utara Masjid Agung ‘Umari. Pertama kali kami solat di situ saat maghrib. Masjid itu diterangi cahaya lampu-lampu yang dibantu sebuah genset yang meraung-raung. Seluruh bangunan dan rumah di sekelilingnya gelap gulita karena sebagian besar Gaza termasuk Jabaliya sedang mendapat giliran pemutusan listrik. Gara-gara dikepung Zionis Israel.

Dari masjid inilah pertama kali bangkit Intifadhah, perlawanan rakyat Gaza dengan batu-batu melawan tentara Zionis bersenjata lengkap dan canggih. Selama enam tahun sejak Desember 1987 sampai Agustus 1993 anak-anak Palestina dikenal di seluruh dunia dengan sebutan “Children of Stones”  (anak-anak batu).

Tetapi sebenarnya dua tahun sebelum Intifadhah pertama meletus, Masjid ‘Umari telah menjadi saksi sebuah peristiwa hebat yang mungkin hanya terjadi di Jabaliya dalam sejarah umat Islam.

Yaitu dibangunnya perluasan Masjid ‘Umari yang baru yang mampu menampung ratusan jama’ah hanya dalam waktu 56 jam, dengan tangan ribuan rakyat.

Ceritanya, tahun 1985 seluruh Jalur Gaza –termasuk Jabaliya– berada dalam cengkeraman penjajah Zionis Israel secara resmi sejak tahun 1967. Namun rakyat Jabaliya tidak pernah mengakui penjajahan itu, bukan cuma dengan kata-kata tapi juga dengan perlawanan fisik yang tak pernah berhenti.

“Semua lelaki yang di masa itu berusia 12-70 tahun di Jabaliya pasti pernah merasakan dipenjara dan disiksa oleh Zionis Israel,” tutur Ya’qub Sulaiman, pria asli Jabaliya berusia 42 tahun.

Ya’qub mengisahkan, waktu itu Zionis melarang pendirian atau renovasi masjid manapun di seluruh Jalur Gaza. Padahal, jumlah jama’ah solat di Masjid ‘Umari Jabaliya yang sudah sangat tua itu begitu membludak lima kali sehari. Masjid hanya bisa menampung sekitar 200-an orang. Sedangkan solat maghrib yang kami hadiri petang itu jumlah jama’ahnya sedikitnya 500-an, belum termasuk yang masbuq dan datang sesudah solat jama’ah selesai.

Lalu apa yang dilakukan rakyat Jabaliya?

Lawan.

Bagaimana?

Menurut Ya’qub, seorang Syeikh yang sangat disegani meminta para pemuda di seluruh Jabaliya hadir suatu pagi di jam dan menit yang ditentukan. Apa yang mereka lakukan? Menyingsingkan lengan baju, dan tidak berhenti bekerja membangun sebuah masjid baru di samping Masjid ‘Umari yang kuno, sampai pekerjaan selesai sehingga tentara Zionis Israel tak mampu membongkarnya lagi.

Subhanallah, Allahu Akbar!!!

“Dalam waktu 56 jam ratusan bahkan ribuan pemuda Jabaliya bekerja non-stop seperti orang gila membangun masjid itu… Mereka tak punya senjata kecuali tangan mereka. Jadi mereka melawan penjajah dengan membangun masjid tanpa henti,” kata Ya’qub.

Tepat 56 jam kemudian, dengan izin Allah, sebuah bangunan baru yang lebih besar sudah berdiri di samping Masjid ‘Umari yang lama, dan siap digunakan solat Jum’at. Tentara Zionis yang datang belakangan sesudah bangunan masjid itu berdiri terbengong-bengong karena terlambat menerima laporan. Sedangkan ratusan rakyat Jabaliya solat di masjid itu seperti biasa, seakan-akan masjid itu sudah berdiri di situ dan mereka gunakan solat berabad-abad lamanya.

“Saya merasa bersyukur… dan bangga… sama sekali bukan untuk riya’, saya adalah salah satu remaja yang ikut membangun masjid ini,” kata Ya’qub. Wajahnya bersinar-sinar dengan senyum yang lebar, seperti baru saja melahap sebuah sejarah gemilang. “Waktu itu saya baru berumur 15 tahun.”

Betapa beruntungnya Ya’qub menjadi bagian dari generasi itu. Yang ditindas tapi melawan, karena yakin perlawanan sekecil apapun bila dilakukan ikhlas dan hanya bergantung kepada Allah –tidak kepada selain Allah—akan langsung mendapat dukungan Allah. Dan jika dukungan Allah sudah turun, tak ada kekuatan apapun yang bisa melawannya, termasuk Zionis Israel.

Berkali-kali Tim Amanah Indonesia (SA2Gaza) solat di masjid yang penuh berkah itu. Shaf-shafnya selalu penuh sampai ke belakang, laksana solat Jum’at. Setiap orang di dalamnya selalu menyapa kami dengan senyum dan salam penuh persaudaraan.

Masjid ini adalah markas perlawanan. Setiap usai solat, orang berdiri dan duduk berkelompok-kelompok saling bertukar informasi. “Waktu Perang Al-Furqon (2009) tank-tank Zionis masuk ke Jabaliya sampai ke depan masjid ini,” kata seorang pemuda, “tapi tentaranya nggak ada yang berani keluar, karena kami gempur habis-habisan lalu kabur terbirit-birit.”

Jarak masjid itu dari perbatasan dengan wilayah yang dijajah Zionis hanya sekitar 2-3 kilometer.

Suatu kali kami solat di masjid itu bersama Tim Amanah Malaysia (Haluan Malaysia). Salah seorang dari kami dikerumuni remaja dan anak lelaki berusia antara 7 sampai 15 tahun. Sesudah memperkenalkan diri, para remaja itu mewawancarai kami.

“Kamu kepingin ke Masjidil Aqsha?”

“Tentu saja kami kepingin.”

“Sekarang? Saat masih dijajah Zionis Israel?”

“Tentu saja tidak. Kita akan membebaskannya bersama, lalu solat bersama di sana.”

Remaja pria berwajah tampan, dan belasan teman di sekitarnya kelihatan gembira mendengar jawaban kami. Soalnya, mengunjungi Masjidil Aqsha di kota Al-Quds atau Yerusalem saat masih dijajah Zionis berarti mengakui keberadaan negara penjajah bernama ‘Israel’.

Lalu dia bertanya lagi, “Apa pandangan kamu tentang kunjungan Mufti Mesir ke Masjidil Aqsha baru-baru ini?”

“Tentu saja itu sesuatu yang salah. Sengaja atau tidak, dia mengakui Israel yang sedang menjajah dan merampok tanah umat Islam,” jawab anggota Tim Amanah Indonesia itu.

Belasan anak lelaki dan remaja itu menggumamkan tasbih dan tahmid mendengar jawaban itu.

Masya Allah, pemahaman mereka tentang masalah Palestina dan Masjidil Aqsha sangat mendalam dan berakar kuat di hati dan fikiran mereka.

Di lain kunjungan, siang hari, seorang pemuda yang pandai berbahasa Inggris mendekati kami. Setelah memperkenalkan diri ia menjelaskan, “Semua pria di masjid ini Mujahid dan hampir semuanya pernah dipenjara oleh Zionis.”

Seorang pria tinggi besar mendekati kami sambil tersenyum, dan menyambut kami sambil menyebut namanya. Seseorang membisiki kami. Pria itu wakil komandan Brigade Izzuddin Al-Qassam di wilayah itu.

Iseng-iseng kami bertanya, “Komandan yang sesungguhnya yang mana?”

Pria berbahasa Inggris itu tersenyum sambil menunjuk ke arah seorang pria yang sudah terlewat kami salami. Pria itu sedang duduk bersila, berbincang serius dengan seorang pria lain. Komandan Al-Qassam Jabaliya itu berperawakan kecil, berjenggot lebat, sebagian sudah memutih, pakaiannya kemeja lengan pendek abu-abu sederhana tapi rapi, matanya tawadhu, dan suaranya lembut saat menyapa. Jabatan tangannya mantap. Subhanallah…

Bangun baru Masjid ‘Umari mampu menampung sekitar 2000 orang jama’ah di dua lantai. Setiap hari lima kali menjadi tempat berkumpulnya para Multazimin, orang-orang yang berpegang teguh pada agamanya.

Di papan pengumuman, seperti seluruh masjid yang kami singgahi di Jalur Gaza, terdapat majalah dinding yang diterbitkan oleh Hamas maupun Al-Qassam. Menggelorakan semangat berIslam dan ber-Quran yang menjadi bekal mereka melawan penjajah zhalim. Sesuatu yang paling ditakuti dan dibenci oleh semua orang yang tak mendapatkan hidayah Allah.* (Sahabatalaqsha.com)

Masjid Umari, Jabaliya, tempat pertama kali Intafadhah Palestina tercetus Desember 1987. Foto: Sahabat Al-Aqsha