‘Kami Membunuh Seorang Anak Kecil, tetapi Itu Sesuai Aturan’
13 August 2022, 19:05.

Ayah dari Alaa Qaddoum–gadis Palestina berusia lima tahun–menggendong jenazah putrinya setelah Alaa tewas akibat serangan udara ‘Israel’ di lingkungan Shuja’iyya, Kota Gaza, 5 Agustus 2022. Foto: Mohammed Zaanoun
Oleh: Yuval Abraham, wartawan dan aktivis yang tinggal di Baitul Maqdis
Serangan terbaru penjajah zionis di Gaza berakhir dengan 49 warga Palestina tewas, termasuk 17 anak-anak. Penjajah zionis ‘Israel’ mengklaim bahwa 15 dari warga Palestina itu tewas oleh roket yang ditembakkan Jihad Islam Palestina (PIJ), yang mendarat di dalam Jalur Gaza, dan bahwa serangan udara ‘Israel’ menewaskan 24 militan PIJ dan 11 “non-pejuang”.
Situs berita ‘Israel’ Ynet mengutip pejabat militer zionis yang membual bahwa rasio antara “non-pejuang” dan pejuang yang tewas adalah “yang terbaik dari semua operasi.” Akan tetapi, ‘Israel’ mengakui bahwa serangan itu menewaskan sedikitnya 11 orang yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan militan, termasuk gadis berusia lima tahun.
Penjajah zionis juga mengakui bahwa mereka menembak orang-orang yang tidak bersenjata, menurut seorang serdadu wanita yang diwawancarai oleh Ynet setelah serangan gencar terakhir. “Anggota (PIJ) turun dari posisinya karena tidak bersenjata, dan saya melepaskan tembakan,” katanya. “Ketika dia jatuh, saya menembak lebih banyak.”
Mayoritas pemukim ilegal Yahudi percaya bahwa setiap anak atau keluarga yang tewas di Gaza selama operasi militer ‘Israel’ dibunuh secara tidak sengaja. Berbeda dengan organisasi teroris, mereka berpikir, pasukan ‘Israel’ tidak sengaja membunuh orang yang tidak bersalah. Mekanisme ini memungkinkan pemukim ilegal Yahudi ‘Israel’ untuk melupakan adegan berdarah dan mengerikan, serta mendorong keluar dari kesadaran mereka ratusan anak yang telah dibunuh serdadu zionis di Gaza selama bertahun-tahun.
Akan tetapi, kenyataannya jauh lebih kompleks. Percakapan dengan orang-orang ‘Israel’ yang bertugas di berbagai unit Korps Intelijen IDF selama beberapa bulan terakhir mengungkap bahwa selama operasi militernya, dalam banyak kasus serdadu tahu sebelum serangan bahwa mereka akan membunuh warga sipil yang tidak bersenjata. Keputusan untuk membunuh mereka bukanlah sebuah kesalahan, melainkan sebuah aksi penuh perhitungan dan kesadaran.
Mantan serdadu bersaksi mereka diberitahu oleh atasan mereka bahwa ada sejumlah “non-pejuang”–yang berarti keluarga dan anak-anak–yang serdadu diperbolehkan untuk membunuh selama kegiatan operasional. Selama jumlah ini tidak terlampaui, pembunuhan dapat disetujui terlebih dahulu.
‘Mereka membunuh anggota Hamas dan anak kecil’
Dana–bukan nama sebenarnya, seperti semua mantan serdadu zionis yang diwawancarai untuk artikel ini–adalah seorang guru taman kanak-kanak yang tinggal di sebuah apartemen berperabotan kayu yang penuh dengan buku-buku filsafat di pusat Tel Aviv. Selama dinas militernya, dia mengambil bagian dalam operasi pembunuhan di mana seorang anak laki-laki berusia lima tahun tewas di Gaza.
“Ketika saya bertugas di Divisi Gaza, kami mengikuti seseorang dari Hamas, karena (serdadu) tahu dia menyembunyikan roket,” ujarnya. “Mereka membuat keputusan untuk melenyapkannya.”
Dana bertugas sebagai petugas analisis lalu lintas sinyal di ruang operasi, di mana tugasnya adalah memastikan bahwa rudal itu mengenai orang yang tepat. “Kami mengirim UAV [Unmanned Aerial Vehicle/pesawat tanpa awak-pen] untuk mengikuti pria itu untuk membunuhnya,” katanya, “tetapi kami melihat dia bersama anaknya. Seorang anak laki-laki berusia lima atau enam tahun, saya kira.
“Sebelum pembunuhan, informasi dari dua sumber berbeda harus dirujuk silang sehingga kami tahu bahwa kami membunuh target yang tepat,” jelas Dana, “saya mengatakan kepada komandan, yang adalah seorang letnan kolonel, bahwa saya tidak dapat sepenuhnya mengidentifikasi target. Saya meminta untuk tidak mengonfirmasikan penembakan itu. Dia berkata: ‘Saya tidak peduli,’ dan mengonfirmasikannya. Dia juga benar. Itu adalah target yang tepat. Mereka membunuh anggota militer Hamas, dan anak laki-laki kecil yang ada di sebelahnya.”
Dana menawari saya segelas air, lalu saya bertanya kepadanya, “Bagaimana perasaanmu setelah semua itu?”
“Saya memiliki mekanisme pertahanan di militer,” kata Dana, menjelaskan bahwa dia dalam penyangkalan.
“Para komandan mengatakan ini sesuai aturan, jadi diperbolehkan,” lanjutnya. “Kami memiliki aturan di militer mengenai berapa banyak non-pejuang yang diizinkan untuk dibunuh di Gaza bersama dengan mereka yang menjadi sasaran pembunuhan.
“Mengapa sejumlah itu? Saya masih tidak tahu. Sekarang tampak gila bagi saya. Akan tetapi, ada aturan dan logika internal yang mereka buat, yang membuatnya lebih mudah untuk melakukannya. Semua itu membuat serangan seperti itu baik-baik saja.” Dana bertugas di Korps Intelijen hingga tahun 2011.
Mengubah kesedihan orang Palestina jadi pelajaran bahasa Arab
Penuturan Dana diiyakan oleh beberapa serdadu lain di Korps Intelijen yang saya ajak bicara, yang bertugas di korps selama perang sebelumnya di Gaza dalam beberapa tahun terakhir.
Tiga di antaranya, termasuk Dana, mengatakan bahwa setelah pengeboman ‘Israel’ di Gaza di mana warga Palestina dibunuh, para serdadu zionis diminta untuk memantau percakapan telepon anggota keluarga, untuk mendengar momen di mana mereka saling memberi tahu bahwa orang yang mereka cintai telah meninggal.
“Itu cara lain untuk memeriksa siapa yang tewas, dan cara untuk memastikan bahwa orang yang kami inginkan sudah mati,” jelas Dana. Ini adalah pekerjaannya setelah pembunuhan anak laki-laki berusia lima tahun itu. “Saya mendengar seorang wanita berkata: ‘Dia sudah mati. Anak itu sudah mati.’ Begitulah cara saya mengonfirmasikan hal itu terjadi.”
Beberapa dari percakapan ini disimpan dan kemudian digunakan untuk mengajarkan para serdadu zionis bahasa Arab, kata Ziv, yang menyelesaikan dinasnya di unit intelijen rahasia tiga tahun lalu. Kali pertama dia mendengar percakapan seperti itu adalah selama pelatihan. Dia mengatakan itu adalah momen yang terukir di benak para serdadu sebagai “sangat mengejutkan.”
“Selama pelatihan, kami belajar bahasa Arab melalui panggilan telepon dari orang-orang Palestina,” kenangnya. “Suatu hari, para komandan menunjukkan telepon dari seorang ibu yang suaminya mengatakan kepadanya di telepon bahwa anak mereka telah tewas. Dia mulai berteriak dan menangis–sangat sulit untuk mendengarkannya. Hal itu merobek hatimu. Kami harus menerjemahkan teriakannya ke dalam bahasa Ibrani. Kami adalah sekelompok anak-anak, berusia 18 tahun. Semua orang meninggalkan kelas dengan sangat kesal.
“Itu bahkan bukan tindakan politik–ada seorang sayap kanan di antara kami yang merasa ngeri karenanya,” lanjut Ziv. “Percakapan itu lebih memengaruhi anak laki-laki daripada anak perempuan–saya tidak tahu mengapa. Kemudian saya bertanya kepada komandan apakah kami harus belajar bahasa Arab dari percakapan semacam ini, tetapi mereka tidak menjawab. Mereka juga anak-anak, berusia 19 tahun.” (+972 Magazine)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.