Kisah Mohammad Hatta Menolak Pengakuan Kedaulatan ‘Israel’ 

16 March 2023, 10:06.

Oleh: Pizaro Gozali Idrus (Pengajar HI di Universitas Al-Azhar Indonesia) 

Usai mendeklarasikan diri sebagai “negara” pada 1948 dengan menjajah tanah Palestina, ‘Israel’ memutar otak guna mendapatkan pengakuan dari Indonesia. Bagi Israel, ‘Indonesia’, yang merupakan negara Muslim terbesar, memiliki nilai yang sangat penting secara ekonomi dan politik. 

Akhirnya, pada 5 Desember 1949, Ya’acov Shimoni, Kepala Departemen Asia Kementerian Luar Negeri ‘Israel’, meminta Presiden negara palsu ‘Israel’ agar Kedutaan, atau Konsulat Jenderal ‘Israel’ dapat dibuka di Indonesia. 

Menyambut usulan Shimoni, Presiden Chaim Weizmann dan Perdana Menteri David Ben-Gurion lalu mengirimkan telegram kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta. Isi telegram tertanggal 9 Januari 1950 tersebut berisi ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia. 

Merespons surat kawat yang misi utamanya timbal balik atas pengakuan ‘Israel’, Hatta tidak banyak bicara. Ia hanya mengucapkan terima kasih tanpa memberikan pengakuan balik atas kedaulatan ‘Israel’.  

Hatta tentu memahami siapa ‘Israel’ sesungguhnya. Pembagian PBB terhadap tanah Palestina pada tahun 1947 telah memantik amarah dari Indonesia. 

“Bangsa Indonesia yang sedang memerangi kezaliman dan penjajahan menentang sekuat-kuatnya pembagian Palestina dan berdiri di samping saudara-saudaranya negara-negara Arab,” siar Radio Republik Indonesia Yogyakarta pada 3 Oktober 1947 seperti ditulis M. Zein Hassan dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri (Bulan Bintang, 1980). 

‘Israel’ lagi-lagi kembali “melobi” Hatta. Kali ini dijalankan Menteri Luar Negeri ‘Israel’ Moshe Sharett. Ia mengirimkan telegram kepada bapak Proklamator RI itu untuk mengabarkan pengakuan penuh ‘Israel’ terhadap kemerdekaan Indonesia. Alih-alih antusias menerima kabar itu, Hatta lagi-lagi hanya menjawab singkat “thanks”. 

Karena khawatir Indonesia mengelak mengakui ‘Israel’, Shimoni mengatur cara lain dengan berencana mengirimkan misi diplomasi “niat baik” ke Indonesia.  

Sharett mendukung usulan Shimoni dan meneruskan proposal ini kepada Hatta. Namun, Hatta hanya merespons secara diplomatis dan meminta agar ide itu ditunda di kemudian hari tanpa ada batas waktu yang jelas. (Lihat: Moshe Yegar dalam The Republic of Indonesia and Israel, Routledge, 2008)

Sikap Hatta semakin jelas ketika perhelatan Asian Games 1962. Meski tidak setuju karena pesta olahraga itu menelan biaya besar, Hatta mengatakan alasan utama lainnya adalah adanya hasrat ‘Israel’ untuk ikut serta. Bagi Hatta, partisipasi ‘Israel’ sama saja bentuk pengakuan kedaulatan ‘Israel’. 

“Bagaimana pula soal lagu kebangsaan mereka? Konsekuensi ini agak berat,” kata Hatta dalam suratnya kepada Perdana Menteri Djuanda pada 24 Juni 1958 seperti dikutip Deliar Noer dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik (LP3ES, 1990). 

Hatta sejatinya telah lama menyoroti penjajahan zionis atas Tanah Palestina. Dalam tulisannya Politik Inggris di Palestina, Hatta mengungkapkan bagaimana penderitaan bangsa Palestina yang menjadi korban tipu muslihat Inggris dan Zionis. Hatta mengatakan Inggris sengaja menguasai Palestina demi kepentingan ekonominya di Terusan Suez. 

“Itulah sebabnya maka negeri itu jatuh ke tangan Inggris dan tidak ke tangan Prancis. Kalau Inggris duduk di Palestina, ia selalu dapat mengontrol Terusan Suez, jalannya yang terutama untuk pergi ke Asia,” tulis Hatta. 

Hatta kemudian menegaskan politik Zionisme hanyalah akal bulus Yahudi mengubah demografi Palestina. Tindakan itu, tekan Hatta, telah memunculkan perselisihan antara bangsa Arab dan Yahudi; meski sebelumya mereka dapat hidup bersama-sama dalam perdamaian di Palestina. 

“Di situ Inggris dapat lagi melakukan politik devide et impera, sedangkan kaum Yahudi menjadi perkakasnya. Dalam tahun 1929 sudah terjadi satu pertumpahan darah yang maha sedih antara Arab dan Yahudi, yang mengguncangkan seluruh dunia. Orang Arab merasa dirinya tertipu oleh Inggris,” terang Hatta. (Lihat: Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan Jilid II, Balai Buku Indonesia, 1953) 

Meski mengalami penindasan oleh Inggris dan entitas Zionis, Palestina masih bisa berdiri memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Hal itulah yang membuat Hatta menyempatkan diri bertemu Mufti Palestina Syeikh Amin Al Husaini dan para tokoh Arab lainnya di Kairo usai memimpin Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949. Sebuah tindakan yang kontras dengan sikap Bung Hatta kepada ‘Israel’. 

“Beliau mengambil kesempatan itu untuk mengucapkan terima kasih kepada segala pihak yang menyokong perjuangan Indonesia sampai menang,” tulis Zein Hassan. 

Hatta menegaskan politik luar negeri Indonesia harus berdiri di jalan memperjuangkan negeri-negeri yang masih terjajah. 

Dalam bukunya Dasar Politik Luar Negeri (Tintamas: 1953), Hatta menasbihkan bahwa politik luar negeri Indonesia adalah anti-kolonialiasme dan bertujuan untuk mewujudkan perdamaian internasional. “Karena dengan tak adanya kemerdekaan, maka tak akan tercapai persaudaraan dan perdamaian internasional,” tegas Bung Hatta. (*)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Muhajirin dan Aktivis Tak Yakin Proyek Pemulangan 1.000 Muhajirin Rohingya ke Arakan Bakal Berhasil  
Warga Suriah Terdampak Gempa Diabaikan dan Ditelantarkan di Saat-saat Genting  »