Tiada Jalan Pulang ke Gaza?

15 July 2013, 08:13.
Tentara Mesir di atas gerbang Rafah. foto: Electronic Intifada

Tentara Mesir di atas gerbang Rafah. foto: Electronic Intifada

YOGYAKARTA, Senin (Electronic Intifada):

oleh Rami Almeghari, jurnalis dan dosen di Jalur Gaza

“Kami menghabiskan sekitar empat hari di koridor selebar tiga meter dan panjang sepuluh meter di bandara internasional Kairo. Hari Senin ketika saya kembali ke Tunisia, ada puluhan orang terlantar lainnya seperti saya, termasuk dua keluarga dengan beberapa anak. Mereka menunggu untuk bisa masuk kembali ke Gaza,” ujar Salama Marouf kepada Electronic Intifada lewat sambungan telepon.

Marouf kini sudah kembali ke Tunisia. Ia adalah satu dari ribuan orang yang dilarang masuk oleh otoritas Mesir ke negaranya untuk kembali ke Gaza. Mesir merupakan satu-satunya jalan masuk dari luar negeri bagi sebagian besar warga Gaza.

Sejak pengepungan zionis atas Gaza, penyeberangan Rafah di perbatasan Mesir dan Gaza yang berjarak sekitar enam jam perjalanan dari bandara Kairo adalah satu-satunya terminal keluar masuk bagi sekitar 1,7 juta warga Gaza. Mesir menutup penyeberangan Rafah setelah kudeta militer pada 3 Juli lalu terhadap presiden terpilih Muhammad Mursi.

Warga Palestina Dideportasi

“Saya sendiri bisa mendapat visa untuk kembali ke Tunisia dengan bantuan pihak penyelenggara konferensi,” ujar Marouf yang habis menghadiri sebuah konferensi selama sepekan. “Tapi banyak orang lainnya yang terlantar bersama saya, kesulitan untuk kembali ke negara asal mereka. Di sini kami melihat bahwa keputusan otoritas Mesir masih berlaku dan tidak ada jalan bagi ratusan warga Palestina untuk bisa kembali ke Gaza.”

Setelah menutup Rafah, Mesir mulai mendeportasi warga Gaza yang tiba di bandara Kairo. Maskapai-maskapai internasional juga diperintahkan untuk menolak menerbangkan penumpang yang memegang paspor Otoritas Palestina.

Kontributor Electronic Intifada, Yousef Aljamal termasuk di antara mereka yang dideportasi ketika ia tiba di Kairo dari Malaysia pekan lalu. Ia dalam perjalanan pulang ke Gaza. Aljamal melihat puluhan warga Palestina lainnya yang juga dideportasi ke Aljazair, Yordania, Pakistan, Kanada dan Malaysia. Mesir juga mendeportasi ratusan warga Suriah yang tiba di sana.

“Ini sangat tidak adil karena otoritas Mesir sepertinya menyalahkan warga Palestina atas beberapa insiden yang terjadi di sini dan di sepanjang Mesir. Sangat tidak adil karena banyak keluarga dan anak harus dideportasi dengan alasan ketidakstabilan keamanan di Mesir,” kata Marouf.

Rumor Anti-Palestina

Ada sejumlah serangan terhadap militer Mesir oleh kelompok militan di Semenanjung Sinai sejak kudeta militer di Mesir. Militer Mesir berulang kali menuduh Palestina dan Hamas yang menjalankan pemerintahan di Gaza, terlibat dalam serangan itu. Padahal tidak ada bukti atas tuduhan ini.

Lina Atallah dan Mohamad Salama Adam dari kantor berita Mesir Mada Masr melaporkan pada 9 Juli bahwa klaim militer Mesir atas ketidakstabilan kondisi di Sinai yang digunakan sebagai pembenaran atas penutupan Rafah, terlalu dibesar-besarkan.

Salah seorang hakim Mesir yang mendukung kudeta militer, bahkan menyalahkan Hamas atas kekurangan pasokan bahan bakar di Mesir yang terjadi beberapa hari setelah Mursi dilengserkan. Hakim ini mengklaim dalam harian New York Times pada 10 Juli, pemerintahan Mursi menahan pasokan bahan bakar dari Mesir untuk dikirimkan ke Gaza. Klaim ini sangat tidak berdasar.

Penyeberangan Rafah sempat dibuka selama beberapa jam pada Rabu dan Kamis lalu, setelah enam hari ditutup. Namun menurut pejabat Palestina, masalah ratusan orang yang pergi dari Gaza, termasuk para jama’ah umrah dari Saudi Arabia, belum terselesaikan.

Di antara jumlah orang terlantar yang terus meningkat di kedua sisi perbatasan Gaza dan Mesir, hanya para pasien yang harus berobat ke luar Gaza, pemegang paspor asing dan warga Mesir yang boleh masuk ke Mesir dari Gaza.

Situasi Sulit

Pada Rabu lalu, otoritas Mesir mengizinkan lebih dari 1.200 warga Palestina terlantar yang terdiri dari pasien, pelajar dan orang-orang yang habis mengunjungi keluarganya di Mesir untuk kembali ke Gaza.

Khitam Abdulrahman, seorang wanita berusia 50 tahunan akhirnya bisa kembali ke Gaza lewat Rafah setelah ia dipaksa untuk tinggal di kota Syeikh Zuwayid, Mesir yang berjarak beberapa kilometer dari terminal Rafah.

“Alhamdulillah saya diterima dengan baik oleh sebuah keluarga di kota Syeikh Zuwayid,” ujar  Abdulrahman yang habis menjalani perawatan luka di lututnya di Kairo selama tiga pekan. Dia merasa beruntung karena menemukan tempat untuk tinggal sementara di dekat perbatasan Gaza. “Namun kami semua yang dipaksa tinggal di dekat perbatasan merasa terlantar. Mereka seharusnya mengizinkan kami kembali ke keluarga kami di Gaza bukannya menutup terminal Rafah.”

Penduduk Gaza lainnya, Hazim al-Bashiti terpaksa tidur di dekat perbatasan Mesir. “Saya sudah berada di sini selama sekitar enam hari. Situasi saat ini sangat sulit. Pria, wanita, anak-anak sangat bersemangat untuk bisa kembali ke Gaza untuk menjalani Ramadhan ini bersama keluarga di sana,” ujar al-Bashiti, 30.

Selama lebih dari satu tahun, terminal Rafah sudah berulang kali ditutup oleh Mesir dan warga Palestina terpaksa menghadapi penundaan yang lama dan penolakan yang sewenang-wenang. Menurut pejabat Palestina, otoritas Mesir menolak masuk dua sampai tiga bus hampir setiap harinya, baik karena alasan ‘keamanan’ atau pun karena jam kerja petugas perbatasan sudah selesai.

“Orang-orang yang melakukan perjalanan keluar Gaza sebagian besarnya karena alasan kebutuhan, seperti pasien atau pelajar. Setiap hari, kami bertanya-tanya mengapa mereka mengembalikan 50 sampai seratus orang yang hendak keluar Gaza,” ujar Khaled al-Shaer, Direktur Rafah Terminal di Gaza.

“Kami melakukan kontak rutin dengan petugas Mesir di perbatasan. Kadang, beberapa dari petugas ini menunjukkan simpatinya kepada orang-orang yang hendak menggunakan terminal Rafah,” sambungnya.

“Kami berharap ada perubahan yang nyata pada sistem di terminal Rafah agar bisa memudahkan perjalanan orang-orang Palestina. Pembatasan perjalanan saat ini masih berlaku. Contohnya, beberapa hari kadang 500 orang boleh melintas, pada hari lainnya 700 orang boleh melintas dan kadang sampai seribu orang yang diizinkan melintas,” tutur al-Shaer.* (MR/ Electronic Intifada | Sahabat Al-Aqsha)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina - Mendobrak Tembok Gaza

« Ratusan Pemukim Yahudi Berteriak-teriak di Masjidil Aqsha: “Masjid Ini Akan Dihancurkan, Kuil Akan Dibangun!”
Penguasa Mesir Berencana Hancurkan Semua Terowongan Gaza »