Kisah Sedih Sisa-sisa Bandara Gaza
5 February 2014, 10:04.

Bandara Internasional Gaza menjadi tempat terbengkalai sejak ‘Israel’ membom dan membuldozer bangunan, menara radar, dan landasan pacu. Foto: Al-Monitor
JALUR GAZA, Rabu (Al-Monitor): Tidak jauh dari gerbang perbatasan Rafah, di mana ribuan orang tertahan karena ditutup pemerintah Mesir, terletak Bandar Udara Internasional Gaza. Bandara ini terdiri dari tiga bangunan besar yang dihiasi mosaik Maroko.
Bangunan pertama adalah untuk kalangan VIP, lengkap dengan kubah emasnya. Bangunan kedua adalah ruang keberangkatan dan kedatangan. Bangunan ketiga adalah kantor administrasi maskapai Palestinian Airlines. Di balik bangunan tersebut ada landasan pacu yang panjang.
Dari jauh, seolah tidak ada yang salah dengan bandara ini. Tetapi ketika dilihat lebih dekat, semakin jelas kehancuran bandara ini. Tidak ada penumpang atau pun pesawat. Gedung-gedung rusak karena dibom ‘Israel’. Landasan pacu telah dipenuhi rumput sehingga menjadi tempat makan bagi domba-domba. Di dekatnya bahkan ada seekor kuda mati tergeletak begitu saja.
Inilah yang terjadi setelah ‘Israel’ membuldoser Bandara Gaza pada 4 Desember 2001. Delapan hari kemudian, pesawat tempur ‘Israel’ membom menara radar bandara. Pada 15 Desember, serangan udara lainnya menghancurkan landasan pacu. Selanjutnya pada 26 Juni 2006, militer ‘Israel’ menjajah bandara dan menggunakannya sebagai pangkalan militer.
1.000 Karyawan
“Bandara ini sangat penting bagi rakyat Palestina. Ini memudahkan mereka melakukan perjalanan tanpa harus menggunakan bandara negara lain. Ini simbol kedaulatan negara Palestina setelah penandatanganan perjanjian Oslo,” kata Osama Shahaibir, bagian penjualan Palestinian Airlines.
Menurut Shahaibir, dulu pernah ada 1.000 karyawan, pilot, pramugari, insinyur, staf administrasi, dan lainnya di Palestinian Airlines. Mereka melayani lebih dari 250 penumpang setiap harinya. “Dulu kami punya tiga pesawat, dua Fokker 50s dan Boeing 727. Tetapi sekarang sudah tidak bisa digunakan,” Shahaibir menjelaskan.
Menurut Khalil Shehin, seorang ahli hukum di Pusat Hak Asasi Manusia Palestina, penghancuran bandara ini menyulitkan rakyat Palestina untuk bepergian dan berkumpul dengan orang yang mereka cintai. Kini, untuk mengadakan perjalanan, rakyat Palestina harus menghadapi biaya tinggi, kelelahan, dan penghinaan di bandara negara lain.
Israa Sawarka, umur 18 tahun, yang tinggal di dekat Bandara Gaza mengisahkan kenangannya, “Aku ingat keluar rumah dan melihat pesawat-pesawat lepas landas dan mendarat. Ayah dan pamanku bekerja di Bandara tersebut sebelum dibom. Ketika itu hari-hari terasa sangat indah.”
Ketidakpastian
Keberadaan Bandara Gaza akan menghindarkan penderitaan bertahun-tahun yang dialami rakyat Palestina di gerbang perbatasan Rafah. Shehin mengatakan bahwa penghancuran Bandara menyebabkan pembatalah ribuan keberangkatan. Ini memengaruhi penduduk Gaza yang akan belajar di luar negeri, juga pendatang yang akan berwisata atau menghadiri konferensi. “Ini melanggar hak asasi manusia untuk bepergian yang seharusnya dijamin konvensi internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,” tutur Shehin.
Kini keluar masuk Gaza menjadi sesuatu yang penuh ketidakpastian. Tidak jauh dari sisa-sisa Bandara Gaza, terlihat sekelompok penumpang bus yang menunggu menyeberang perbatasan Rafah dan memulai delapan jam perjalanan darat ke Kairo. Berharap mereka bisa mengejar penerbangan ke Arab Saudi. Tetapi bahkan tidak ada jaminan mereka dapat melewati tahap pertama, yaitu gerbang perbatasan Rafah. * (AL-MONITOR)


Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.
