Para Kakek dan Nenek Gaza Ini Juga Alami Trauma Akibat Perang

9 June 2015, 16:53.

GAZA, Selasa (Electronic Intifada): Populasi terbanyak di Gaza adalah generasi muda, rata-rata berusia 18 tahun. Sekitar 45 persen penduduk Jalur Gaza yang berjumlah 1,8 juta merupakan anak-anak berusia 14 tahun atau lebih muda.

Ketika Zionis membombardir Gaza selama 51 hari musim panas lalu, perhatian tercurah pada penderitaan anak-anak di Gaza. Namun, sesungguhnya para lansia Palestina juga termasuk populasi yang paling rentan karena mengalami trauma berulang seumur hidup mereka. Yang tertua di antara mereka adalah korban selamat dari pembersihan etnis Palestina pada 1948, yang dikenal dengan Nakba. Mereka dipaksa meninggalkan rumah mereka dan memasuki kamp pengungsian.

Nakba (yang berarti bencana dalam bahasa Arab) kemudian diikuti dengan invasi ‘Israel’ dan pembantaian pada tahun 1950, pendudukan militer dan penjajahan pada tahun 1967, pemberlakuan koloni permukiman, dan dua pemberontakan yang terkenal. Terakhir, hampir satu dekade pengepungan dan tiga serangan militer berskala besar dalam rentang waktu enam tahun.

Semua itu mengakibatkan rumah dan bisnis yang dibangun para lansia Gaza hancur. Dalam beberapa kasus mereka harus kembali menjadi pengasuh cucu-cucu mereka yang menjadi yatim piatu akibat kekejaman ‘Israel’. Mereka juga berperan penting dalam menjaga stabilitas keluarga, meski mengalami rasa kehilangan yang mendalam.

Foto-foto karya Anne Paq berikut ini menggambarkan betapa para kakek dan nenek di Gaza juga mengalami trauma akibat perang. Anne Paq merupakan fotografer lepas asal Perancis dan anggota dari fotografi kolektif ActiveStills. Koleksi foto ini didedikasikan sebagai bentuk penghormatan terhadap generasi tua Palestina yang juga melakukan pengorbanan tak terbayangkan.* (Electronic Intifada | Sahabat Al-Aqsha)

Rizka Abu Rujeila, 70 tahun, memeluk cucunya di luar rumah sakit di Khan Younis, selatan Gaza pada 24 Juli lalu. Sang cucu terluka saat terjadi serangan di desa Khuza’a. Saat Zionis melakukan serangan darat sebagian besar penduduk desa itu berusaha mengungsi dan mereka diserang secara brutal saat coba meninggalkan desa. Khuza’a terisolasi selama beberapa hari. Tentara Zionis menghalangi pekerja medis dan jurnalis masuk. Sebagian besar penduduk mencari tempat perlindungan di rumah sakit, yang penuh sesak oleh korban tewas dan terluka.

Rizka Abu Rujeila, 70 tahun, memeluk cucunya di luar rumah sakit di Khan Younis, selatan Gaza pada 24 Juli lalu. Sang cucu terluka saat terjadi serangan di desa Khuza’a. Saat Zionis melakukan serangan darat sebagian besar penduduk desa itu berusaha mengungsi dan mereka diserang secara brutal saat coba meninggalkan desa. Khuza’a terisolasi selama beberapa hari. Tentara Zionis menghalangi pekerja medis dan jurnalis masuk. Sebagian besar penduduk mencari tempat perlindungan di rumah sakit, yang penuh sesak oleh korban tewas dan terluka.

 

Salima Smeri, 62 tahun, pengungsi dan ibu dari enam anak, berdiri di tengah puing-puing rumahnya di desa Qarara pada 9 November 2014. Saat itu ia tinggal di tempat penampungan sementara. Pada Maret 2015, ia mendapat tempat penampungan baru yang terbuat dari kayu hibah dari sebuah badan amal. Namun, tempat itu tak dialiri listrik. Atapnya terbuat dari seng sehingga akan terasa sangat panas saat musim panas.

Salima Smeri, 62 tahun, pengungsi dan ibu dari enam anak, berdiri di tengah puing-puing rumahnya di desa Qarara pada 9 November 2014. Saat itu ia tinggal di tempat penampungan sementara. Pada Maret 2015, ia mendapat tempat penampungan baru yang terbuat dari kayu, hibah dari sebuah badan amal. Namun, tempat itu tak dialiri listrik. Atapnya terbuat dari seng sehingga akan terasa sangat panas saat musim panas.

Dipotret pada 16 September 2014. Mariam al-Nawasra menangis saat mengingat kembali rumah cucunya Awad al-Nawasra diserang. Empat anggota keluarganya terbunuh dalam serangan 9 Juli 2014 itu, yakni cucunya Salah al-Nawasra beserta istrinya Aisha yang tengah hamil empat bulan, serta cucu Mariam, Mohammed Khalaf (2) dan Nidal Khalaf (4). Saat terjadi serangan, Mariam ada di dalam rumah dan terjebak di bawah reruntuhan rumah selama dua jam. Ia menjadi buta dan telinga kirinya tuli akibat luka-luka yang dideritanya. Kakinya patah dan ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Salah seorang putrinya, Filastine, terbunuh musim panas lalu dalam serangan terpisah di sekolah Beit Hanoun yang digunakan sebagai tempat penampungan. Salah seorang dari anak lelakinya dibunuh oleh pasukan Zionis pada tahun 1993. Mariam, berasal dari desa Julis di utara Palestina. Saat peristiwa Nakba 1948 terjadi, ia berusia 12 tahun.

Dipotret pada 16 September 2014. Mariam al-Nawasra menangis saat mengingat kembali rumah cucunya Awad al-Nawasra diserang. Empat anggota keluarganya terbunuh dalam serangan 9 Juli 2014 itu, yakni cucunya Salah al-Nawasra beserta istrinya Aisha yang tengah hamil empat bulan, serta cucu Mariam, Mohammed Khalaf (2) dan Nidal Khalaf (4). Saat terjadi serangan, Mariam ada di dalam rumah dan terjebak di bawah reruntuhan rumah selama dua jam. Ia menjadi buta dan telinga kirinya tuli akibat luka-luka yang dideritanya. Kakinya patah dan ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Salah seorang putrinya, Filastine, terbunuh musim panas lalu dalam serangan terpisah di sekolah Beit Hanoun yang digunakan sebagai tempat penampungan. Salah seorang dari anak lelakinya dibunuh oleh pasukan Zionis pada tahun 1993. Mariam, berasal dari desa Julis di utara Palestina. Saat peristiwa Nakba 1948 terjadi, ia berusia 12 tahun.

Foto Ibrahim Abdallah Abu Aita (67) dan istrinya, Jameela Saleem Abu Aita (55) di reruntuhan rumah mereka di kamp pengungsian Jabaliya. Mereka terbunuh dalam serangan roket Zionis pada 23 Juli 2014. Pasangan itu tewas bersama dengan anak mereka, Muhammad dan Ahmad, serta cucu lelaki mereka yang berumur empat tahun, Adham. Mahmoud, anak Ibrahim dan Jameela yang selamat mengatakan, “Berdasarkan apa yang saya lihat, saya pikir tak akan ada keadilan. Namun, saya tetap berharap mereka yang melakukan kejahatan itu akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, terutama karena kami semua adalah rakyat sipil.”

Foto Ibrahim Abdallah Abu Aita (67) dan istrinya, Jameela Saleem Abu Aita (55) di reruntuhan rumah mereka di kamp pengungsian Jabaliya. Mereka terbunuh dalam serangan roket Zionis pada 23 Juli 2014. Pasangan itu tewas bersama dengan anak mereka, Muhammad dan Ahmad, serta cucu lelaki mereka yang berumur empat tahun, Adham. Mahmoud, anak Ibrahim dan Jameela yang selamat mengatakan, “Berdasarkan apa yang saya lihat, saya pikir tak akan ada keadilan. Namun, saya tetap berharap mereka yang melakukan kejahatan itu akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, terutama karena kami semua adalah rakyat sipil.”

Seorang pria lansia Palestina sedang mengisi dirigen dengan air di rumahnya yang telah hancur di distrik Shujaiya, timur kota Gaza pada 4 September lalu. Seluruh bagian Shujaiya benar-benar hancur akibat serangan Zionis dan mengakibatkan ribuan warga Palestina kehilangan rumah mereka. Tak punya pilihan, sebagian besar kembali untuk tinggal di rumah mereka yang telah hancur parah dan tidak aman, serta tanpa saluran air dan listrik usai gencatan senjata.

Seorang pria lansia Palestina sedang mengisi dirigen dengan air di rumahnya yang telah hancur di distrik Shujaiya, timur kota Gaza pada 4 September lalu. Seluruh bagian Shujaiya benar-benar hancur akibat serangan Zionis dan mengakibatkan ribuan warga Palestina kehilangan rumah mereka. Tak punya pilihan, sebagian besar kembali untuk tinggal di rumah mereka yang telah hancur parah dan tidak aman, serta tanpa saluran air dan listrik usai gencatan senjata.

Dipotret pada 9 November 2014. Ghalia Suleiman Odeh (70) dan suaminya Naim (75) di depan karavan tempat tinggal mereka. Sekitar 400 warga Palestina tinggal di kamp pengungsian ini. Rumah mereka hancur akibat serangan Zionis di desa Khuza’a. Naim mengatakan bahwa ia telah tinggal di rumah yang dibangun oleh ayahnya itu sejak kecil.

Dipotret pada 9 November 2014. Ghalia Suleiman Odeh (70) dan suaminya Naim (75) di depan karavan tempat tinggal mereka. Sekitar 400 warga Palestina tinggal di kamp pengungsian ini. Rumah mereka hancur akibat serangan Zionis di desa Khuza’a. Naim mengatakan bahwa ia telah tinggal di rumah yang dibangun oleh ayahnya itu sejak kecil.

Jaber Abu Said (70) duduk di luar tempat penampungan darurat di Juhor al-Dik, timur Gaza. Pada 6 November ia singgah di sudut rumahnya yang hancur musim panas lalu. Rumah Abu Said terletak sekitar 400 meter dari perbatasan Gaza dengan ‘Israel’. Keluarga ini telah menghadapi berbagai serangan selama bertahun-tahun, namun tetap berada di tanah mereka hingga musim panas lalu. Dalam serangan granat pada Juli 2010, Nimeh, menantunya tewas dan meninggalkan lima orang anak. Pada Juli 2014, rumahnya benar-benar telah menjadi puing-puing. Ladang mereka juga hancur oleh tank dan buldozer Zionis.

Jaber Abu Said (70) duduk di luar tempat penampungan darurat di Juhor al-Dik, timur Gaza. Pada 6 November ia singgah di sudut rumahnya yang hancur musim panas lalu. Rumah Abu Said terletak sekitar 400 meter dari perbatasan Gaza dengan ‘Israel’. Keluarga ini telah menghadapi berbagai serangan selama bertahun-tahun, namun tetap berada di tanah mereka hingga musim panas lalu. Dalam serangan granat pada Juli 2010, Nimeh, menantunya tewas dan meninggalkan lima orang anak. Pada Juli 2014, rumahnya benar-benar telah menjadi puing-puing. Ladang mereka juga hancur oleh tank dan buldozer Zionis.

Jamila Abu Odeh (umur tak diketahui) bersama cucu lelakinya di rumahnya yang telah hancur di Beit Hanoun. Ketika serangan Zionis tahun 2014, keluarganya mengungsi ke sebuah sekolah milik PBB. Keluarga ini kembali untuk menemukan rumah mereka yang hancur parah. Jamila mengatakan, “Pada 1948, rumah kami dibakar. Namun, ternyata ada yang lebih buruk dari itu, yakni perang terakhir lalu.  Saya tidak akan melihat Palestina merdeka. Saya kehilangan semuanya.” Ibu dari sepuluh anak itu ditembak serdadu Zionis ketika ia tengah bekerja di ladangnya yang terletak di perbatasan antara Gaza dan ‘Israel’ pada tahun 2006. Akhirnya, ia kehilangan satu matanya. “Saya bicara pada serdadu agar mereka berhenti membuldozer tanah saya, tapi mereka malah menembak saya,” katanya.

Jamila Abu Odeh (umur tak diketahui) bersama cucu lelakinya di rumahnya yang telah hancur di Beit Hanoun. Ketika serangan Zionis tahun 2014, keluarganya mengungsi ke sebuah sekolah milik PBB. Keluarga ini kembali untuk menemukan rumah mereka yang hancur parah. Jamila mengatakan, “Pada 1948, rumah kami dibakar. Namun, ternyata ada yang lebih buruk dari itu, yakni perang terakhir lalu. Saya tidak akan melihat Palestina merdeka. Saya kehilangan semuanya.” Ibu dari sepuluh anak itu ditembak serdadu Zionis ketika ia tengah bekerja di ladangnya yang terletak di perbatasan antara Gaza dan ‘Israel’ pada tahun 2006. Akhirnya, ia kehilangan satu matanya. “Saya bicara pada serdadu agar mereka berhenti membuldozer tanah saya, tapi mereka malah menembak saya,” katanya.

Naima, pengungsi berusia 74 tahun dari Bir al-Saba, dengan cucu lelakinya Ahmed Duhair. Seluruh keluarga dekatnya terbunuh ketika mereka kembali ke rumah mereka saat Idul Fitri usai menginap di rumah Naima selama dua minggu. Ketika keluarga itu kembali ke rumah mereka, Ahmed mendesak kembali ke rumah neneknya dan karena itulah ia selamat. Dua puluh satu anggota keluarga Duheir terbunuh, termasuk ibunda Ahmed, Jamalat (putri Naima), ayahnya Mahmoud dan lima saudara lainnya. Suami Naima ditangkap dan dibunuh saat intifada pertama.

Naima, pengungsi berusia 74 tahun dari Bir al-Saba, dengan cucu lelakinya Ahmed Duhair. Seluruh keluarga dekatnya terbunuh ketika mereka kembali ke rumah mereka saat Idul Fitri usai menginap di rumah Naima selama dua minggu. Ketika keluarga itu kembali ke rumah mereka, Ahmed mendesak kembali ke rumah neneknya dan karena itulah ia selamat. Dua puluh satu anggota keluarga Duheir terbunuh, termasuk ibunda Ahmed, Jamalat (putri Naima), ayahnya Mahmoud dan lima saudara lainnya. Suami Naima ditangkap dan dibunuh saat intifada pertama.

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Poster: Masjidil Aqsha Sedang Dihancurkan
Ban Ki-moon Patuh pada Amerika, Cabut ‘Israel’ dari ‘Daftar Penindas Anak-anak’ »