Shimon Peres dan Kejahatannya Terhadap Manusia
30 September 2016, 12:08.

Foto: AFP/Ahmad Gharabli
LONDON, Jum’at (Middle East Monitor): Shimon Peres meninggal dunia Rabu (28/9) lalu pada usia 93 tahun setelah terkena stroke pada 13 September. Peres merupakan contoh perbedaan antara citra ‘Israel’ di Barat dengan realitas kebijakan-kebijakan berlumuran darah dan penjajahannya atas Palestina, serta kawasan lebih luas.
Peres dilahirkan di Belarusia pada 1923 dan keluarganya pindah ke Palestina pada tahun 1930-an. Ketika muda, Peres bergabung dengan Haganah, kelompok militer yang bertanggung jawab atas pembersihan etnis di wilayah-wilayah Palestina pada kurun waktu 1947-1949, selama Nakba.
Meskipun kekerasan dalam bentuk pengusiran terhadap warga Palestina menjadi hal yang tercatat dalam sejarah, Peres selalu saja bersikeras bahwa pasukan Zionis “menjunjung tinggi kemurnian perang” saat mendirikan ‘Israel’. Tentu saja, ia bahkan mengklaim itu terjadi sebelum ‘Israel’ berdiri, “Tidak ada masalah dalam hal ini,” katanya.
Selama tujuh dekade, Peres menjadi perdana menteri selama dua periode dan kemudian menjabat sebagai presiden, meskipun dia tidak pernah memenangkan pemilu sama sekali. Dia merupakan anggota dari kabinet 12 dan dia menjalankan tugas sebagai menteri pertahanan, luar negeri dan menteri keuangan.
Ia mungkin dikenal Barat atas perannya dalam perundingan yang mengarah pada Perjanjian Oslo 1993 yang membuat ia bersama Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat meraih penghargaan Nobel Perdamaian. Namun bagi rakyat Palestina dan beberapa negara tetangganya di kawasan Timur Tengah, rekam jejak Peres sangat berbeda dengan reputasinya di Barat sebagai “burung merpati” yang tak kenal lelah. Beberapa hal di bawah ini sama sekali bukan ringkasan komprehensif mengenai catatan pengabdian Peres terhadap kolonialisme dan apartheid. Hanya sekadar catatan kecil mengenai sepak terjang Peres:
Senjata Nuklir
Pada rentang waktu antara tahun 1953 dan 1965, itulah kali pertama Peres menjabat sebagai direktur jenderal di Kementerian Pertahanan ‘Israel’ dan kemudian menjabat sebagai wakil menteri pertahanan. Karena tanggung jawabnya pada saat itu, Peres digambarkan sebagai “arsitek program senjata nuklir ‘Israel’” yang hingga kini program tersebut “tetap berada di luar pengawasan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).”
Pada 1975, sebuah rahasia terungkap, Peres bertemu dengan Menteri Pertahanan Afrika Selatan PW Botha dan “menawarkan hulu ledak nuklir kepada rezim apartheid.” Pada 1986, Peres meresmikan operasi Mossad yang menculik pembocor rahasia nuklir ‘Israel’, Mordechai Vanunu, di Roma.
Rampas Tanah Warga Palestina
Peres memiliki peran penting dalam pemberlakuan rezim militer terhadap warga Palestina sampai tahun 1966, dimana otoritas ‘Israel’ melakukan perampasan tanah dan pengusiran massal warga Palestina. Salah satu alatnya adalah Pasal 125 yang mengizinkan tanah warga Palestina dinyatakan sebagai zona militer tertutup. Bagi para pemilik tanah yang menolak, tanah tersebut akan disita sebagai “tanah yang tak digarap”. Peres menggunakan Pasal 125 untuk melanjutkan upaya pembangunan permukiman ilegal Yahudi dan imigrasi orang-orang Yahudi.”
Tanggung jawab Peres lainnya dalam kapasitasnya sebagai direktur jenderal kementerian pertahanan adalah melakukan ”Yahudisasi” di Galilea; demi melanjutkan kebijakan-kebijakan yang bertujuan mengurangi proporsi wilayah warga Palestina dibandingkan wilayah Yahudi.
Pada 2005, sebagai wakil perdana menteri dalam kabinet Ariel Sharon, Peres memulai lagi serangannya terhadap warga Palestina demi mendorong warga Yahudi ‘Israel’ pindah ke Galilea. Rencana “pembangunannya” meliputi 104 daerah dimana 100 di antaranya untuk orang Yahudi.
Pada sebuah percakapan rahasia dengan para pejabat Amerika Serikat di tahun yang sama, Peres mengklaim ‘Israel’ “telah kehilangan satu juta dunam (1.000 kilometer persegi) tanah Negev dan Bedouin”. Peres menyatakan bahwa “pembangunan” Negev dan Galilea dapat “mengurangi apa yang dia sebut dengan istilah ancaman demografi.”
Dukung Permukiman Ilegal di Tepi Barat
Saat proyek permukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat dikaitkan terutama dengan Likud dan partai-partai nasionalis sayap kanan lainnya, sebenarnya Partai Buruh-lah yang memulai penjajahan wilayah Palestina yang baru saja dikuasai – dan Peres merupakan orang yang sangat antusias mengenai hal tersebut.
Selama Peres menjabat sebagai menteri pertahanan dari tahun 1974-1977, pemerintahan Rabin mendirikan sejumlah permukiman ilegal Yahudi utama di Tepi Barat, termasuk Ofra, sebuah kompleks permukiman ilegal luas yang berdiri di atas tanah milik warga Palestina yang mereka rampas.
Setelah memainkan peran penting pada masa awal pembangunan permukiman ilegal Yahudi, beberapa tahun terakhir, Peres melakukan intervensi untuk mengikis langkah-langkah apapun –tak peduli seberapapun sederhananya itu– terkait sanksi penjajahan illegal. Tentu saja, selalu atas nama melindungi “perundingan perdamaian”.
Pembantaian di Qana
Sebagai perdana menteri pada 1996, Peres memerintahkan dan mengawasi operasi “Grapes of Wrath” dimana pasukan bersenjata ‘Israel’ membunuh sekitar 154 warga sipil di Lebanon dan melukai 351 orang lainnya. Operasi tersebut diyakini merupakan unjuk kekuatan sebelum pemilu, karena memperlihatkan warga sipil Lebanon dengan sengaja dijadikan target.
Berdasarkan situs (berbahasa Ibrani, bukan Inggris) resmi Angkatan Udara ‘Israel’, operasi ini melibatkan “pemboman massal desa-desa Syiah di Lebanon Selatan untuk mengakibatkan arus pengungsian warga sipil di utara, menuju Beirut, dengan demikian memberi tekanan terhadap Suriah dan Lebanon untuk mengendalikan Hizbullah.”
Insiden paling terkenal adalah pembantaian di Qana, ketika itu ‘Israel’ menembaki kompleks PBB dengan meriam dan menewaskan 106 orang pengungsi dari kalangan warga sipil. Laporan PBB menyebutkan –bertentangan dengan bantahan ‘Israel’– penyerangan tersebut “tidak mungkin hasil dari kesalahan teknis dan/atau prosedural.”
Belakangan, para penembak meriam ‘Israel’ mengatakan pada televisi ‘Israel’ bahwa mereka tidak merasa menyesal atas pembantaian tersebut, karena yang tewas “hanyalah sekelompok orang Arab”. Bagi Peres, juga sangat jelas: “Segalanya dilakukan berdasarkan logika jelas dan dengan cara yang bertanggung jawab. Saya merasa damai,” katanya.
Dukung Blokade dan Kekejaman Militer Zionis
Peres memosisikan dirinya sebagai salah satu duta besar global paling penting ‘Israel’ dalam sepuluh tahun terakhir, ketika Jalur Gaza menjadi sasaran blokade yang menghancurkan kawasan tersebut dan tiga serangan besar. Meskipun kemarahan dunia sangat besar terhadap kebijakan tersebut, Peres secara konsisten mendukung hukuman kolektif dan kekejaman militer Zionis.
Pada Januari 2009, misalnya, terlepas dari seruan “organisasi-organisasi hak asasi manusia…agar menghentikan operasi Cast Lead, Peres mengutarakan “solidaritas nasional di balik operasi militer” sebagai “waktu terbaik bagi ‘Israel’.” Menurut Peres, tujuan dari serangan adalah “untuk memberikan pukulan keras terhadap rakyat Gaza sehingga mereka akan kehilangan selera untuk menembak ‘Israel’.”
Selama operasi Pillar of Defence pada November 2012, Peres “menangani pekerjaan kehumasan ‘Israel’, yang mengkomunikasikan narasi tentang Israel kepada para pemimpin dunia. Pada malam serangan ‘Israel’, Peres memperingatkan Hamas bahwa jika menginginkan kehidupan normal bagi masyarakat Gaza, maka hendaklah menghentikan penembakan roket ke ‘Israel’.”
Pada 2014 –selama terjadi pemboman yang belum pernah terjadi sebelumnya di Gaza– Peres sekali lagi berusaha untuk menutupi kejahatan-kejahatan perang ‘Israel’. Setelah pasukan ‘Israel’ membunuh empat anak kecil yang sedang bermain di pantai, Peres tahu siapa yang harus ia salahkan, yakni warga Palestina: “Itu merupakan area yang telah kami peringatkan akan dibom,” ujarnya. “Dan sayangnya mereka tidak menjauhkan anak-anak (dari area tersebut).”
Blokade yang mencekik –dikecam oleh dunia internasional sebagai bentuk hukuman kolektif yang dilarang– juga dibela mati-matian oleh Peres. Pada 2014, Peres mengatakan: “Jika Gaza berhenti menembak, maka tidak perlu ada blokade.”
Tidak Menyesal Sampai Akhir
Peres selalu jelas tentang tujuan perjanjian damai dengan rakyat Palestina. Sebagaimana ia katakan pada 2014: “Prioritas utama adalah menjadikan ‘Israel’ sebagai negara Yahudi. Hal itulah yang menjadi tujuan utama kita, hal inilah yang kita perjuangkan.” Tahun lalu ia menegaskan kembali pernyataan tersebut dalam sebuah wawancara dengan AP, dia berkata: “’Israel’ harus mengimplementasikan solusi dua negara untuk kepentingannya sendiri,” agar tidak “kehilangan mayoritas kita (Yahudi).”
Hal ini mengingatkan pada bentuk dukungan dari partai Buruh terhadap Perjanjian Oslo. Rabin, mengatakan kepada Knesset tidak lama sebelum pembunuhan terhadap dirinya pada 1995, jelas bahwa apa yang dicari oleh ‘Israel’ dari perjanjian Oslo adalah “entitas” Palestina. Baitul Maqdis akan sepenuhnya menjadi ibukota ‘Israel’, permukiman-permukiman utama akan dicaplok dan ‘Israel’ akan tetap berada di Lembah Yordan.
Beberapa tahun lalu, Peres menyatakan warga Palestina “mengorbankan diri sendiri.” Dia mengatakan: “Mereka mengorbankan diri mereka sendiri. Mereka adalah korban atas kesalahan-kesalahan yang tidak perlu mereka lakukan.” Sikap merendahkan seperti itu merupakan karakteristik dari seorang pria yang baginya “perdamaian” selalu berarti pengamanan penjajahan.* (Middle East Monitor | Sahabat Al-Aqsha)
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.