LAPORAN KHUSUS: Muhajirin Anak Suriah dan Akses Pendidikan di Turki

19 February 2018, 16:43.
Foto: Sahabat Al-Aqsha

Foto: Sahabat Al-Aqsha

ISTANBUL, Senin (Sahabat Al-Aqsha): Sejak pecahnya perang di Suriah pada tahun 2011, lebih dari tiga juta orang melarikan diri, menerobos perbatasan dan mengungsi ke Turki – yang secara umum menerapkan kebijakan “pintu terbuka” kepada mereka yang mencari perlindungan.

Tulisan di bawah ini dipetik dan diadaptasi dari laporan Human Rights Watch tentang akses pendidikan bagi anak-anak Suriah dan Palestina yang mengungsi di Turki.

Turki kini menjadi negara penerima Muhajirin tertinggi di dunia. Badan-badan internasional seperti UNHCR (Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi) memuji tingginya kualitas respon Turki terhadap para pendatang itu. Tahun 2018 ini, konflik berdarah di Suriah memasuki tahun ke tujuh dan kebijakan Turki terhadap masalah Muhajirin terus berkembang – dimulai dari sekadar memberikan respon kedaruratan sampai kini akhirnya lebih mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan pengungsian jangka panjang.

Menurut pemerintah Turki, sampai Februari 2015, pihaknya membelanjakan US$6 miliar untuk mengatasi permasalahan Muhajirin di Turki. Padahal, total sumbangan yang diterimanya dari berbagai badan donor internasional hanya mencapai $300 juta.

Data Direktorat Manajemen Migrasi Kementerian Dalam Negeri Turki hingga pertengahan Januari lalu menunjukkan, Turki mengurus sekitar 3,42 juta Muhajirin Suriah – jumlah terbesar di dunia. Muhajirin Suriah mencapai 3,63 persen dari keseluruhan populasi di Istanbul.

Provinsi di sebelah selatan Turki, Sanliurfa, menerima sekitar 463.000, sementara lebih dari 457.000 Muhajirin Suriah tinggal di provinsi Hatay di perbatasan Turki-Suriah. Di bagian tenggara perbatasan provinsi Kilis, ada sekitar 132.000, sementara populasi non-Muhajirin di kota tersebut sekitar 131.000.

Dengan demikian, jumlah Muhajirin Suriah yang terdaftar lebih tinggi dari populasi regular kota tersebut. Jumlah terendah Muhajirin Suriah –hanya 57 orang– tinggal di provinsi Bayburt di kawasan Laut Hitam.

Dari 3,42 juta Muhajirin Suriah yang terdata di Turki, sekitar 1,85 juta dari mereka adalah pria dan 1,57 juta wanita. Lebih dari 228.000 Muhajirin Suriah tinggal di 21 kamp di 10 provinsi di Turki.

Sebagai negara yang menandatangani Konvensi Pengungsi 1951, di awal hari-hari krisis Suriah pemerintah Turki menyebut warga Suriah yang melarikan diri ke kawasan Turki sebagai “tamu.” Pada Oktober 2011, Turki menetapkan berlakunya peraturan “perlindungan sementara” yang memungkinkan warga Suriah dan Palestina masuk ke Turki tanpa visa, melindungi mereka dari pemaksaan kembali ke Suriah, dan akses untuk mendapatkan bantuan kemanusiaan.

Pada bulan April 2014, Undang-undang tentang Orang Asing dan Perlindungan Internasional diberlakukan dan memperkuat skema perlindungan bagi warga Suriah dan Palestina dari Suriah dengan cara memberi mereka status legal formal, dan memungkinkan mereka hidup di luar kamp-kamp.

Turki juga membentuk Direktorat Jenderal Manajemen Migrasi di bawah Kementerian Dalam Negeri, dengan tanggung jawab pemberian suaka serta pendaftaran Muhajirin Suriah. Sebelumnya, tugas mendirikan kamp-kamp dan mengkoordinasi pelayanan bagi Muhajirin di dalam dan di luar kamp merupakan tanggung jawab Otoritas Manajemen Bencana dan Kedaruratan di bawah kantor Perdana Menteri Turki.

Peraturan berikutnya yang diterbitkan pada Oktober 2014 lebih memperjelas prosedur dan aturan pendataan orang-orang yang mendapat perlindungan sementara, sekaligus juga hak dan jatah mereka. Termasuk di antaranya adalah Muhajirin mendapat akses perawatan kesehatan kedaruratan secara cuma-cuma; kartu identitas yang menunjukkan bahwa mereka penghuni legal di Turki; akses ke berbagai “tempat akomodasi” yang menyediakan tempat berteduh; makanan dan pelayanan lainnya; hak untuk tidak ditangkap karena cara masuk mereka ke Turki (tanpa visa); akses terhadap bantuan untuk mengumpulkan kembali keluarga yang terpisah; akses konsultasi hukum dan jasa penerjemahan; serta perlindungan terhadap pengembalian secara paksa ke negeri asal mereka.

Peraturan tidak mencakup hak untuk bekerja atau bantuan sosial, namun membuka kemungkinan sumber-sumber daya itu tersedia bagi Muhajirin Suriah dan Palestina.

Fasilitas Pendidikan

Pada September 2014, Kementerian Pendidikan Nasional Turki mengeluarkan Peraturan Nomor 21/2014 tentang penyediaan pendidikan bagi para penerima perlindungan sementara – sejalan dengan Undang-undang Migrasi April 2014. Dengan peraturan ini, didirikanlah komisi-komisi provinsi yang bertugas melaksanakan kebijakan pendidikan, menciptakan sistem akreditasi bagi “pusat-pusat pendidikan sementara” Suriah dan menetapkan bahwa “dokumen identitas asing” (bukan iqamah/izin tinggal) sudah cukup bagi pendaftaran di sekolah umum Turki.

Pemerintah Turki sudah menyatakan komitmen untuk mendidik anak-anak Muhajirin Suriah. Pada Oktober 2015, Wakil Menteri Pendidikan Yusuf Buyuk menyatakan, “Kalau kami tidak bisa mendidik anak-anak ini maka mereka akan jatuh ke tangan-tangan yang salah, mereka akan dieksploitasi geng penjahat. Kami mencoba memperbaiki standar (pendidikan) bagi negeri kami dan itu artinya memperbaiki juga standar (pendidikan) orang Suriah.”

Peraturan Nomor 21/2014 ini dikeluarkan sebab kementerian mengakui perlu ikhtiar “menghapuskan berbagai rintangan, termasuk hambatan bahasa, legislatif dan teknis infrastruktur” yang menghalangi pelajar-pelajar Suriah bersekolah di Turki.

Ada dua sistem pendidikan formal yang berjalan paralel untuk anak-anak Suriah usia SD dan SMP di Turki, sekaligus juga tersedianya beberapa jalur pendidikan non-formal. Penyediaan fasilitas pendidikan di sekolah-sekolah umum Turki dan berbagai pusat pendidikan sementara adalah hasil kerja sama antara Kementerian Pendidikan, UNICEF, UNHCR dan badan-badan donor lainnya. Kementerian Pendidikan bertanggung jawab atas koordinasi dan pengawasan pelayanan-pelayanan pendidikan ini, sementara UNICEF dan UNHCR menyediakan dukungan teknis dan finansial.

Kementerian Pendidikan memperkirakan diperlukan sedikitnya 700 juta lira (sekitar $252 juta dolar) untuk pendidikan anak-anak Suriah.

Sekolah-sekolah umum Turki secara resmi terbuka bagi semua anak Suriah usia sekolah – asalkan mereka terdaftar sebagai penerima perlindungan sementara. Kalau mereka memiliki kartu identitas “orang asing” yang dikeluarkan pemerintah Turki, maka mereka bisa masuk ke sekolah Turki mana saja. Pendaftaran gratis, tapi pelajar harus membayar “uang kegiatan”.

Sistem pendidikan Turki, sampai 2012, memberlakukan apa yang disebut sebagai sistem wajib belajar “4+4+4” yakni 12 tahun lamanya wajib belajar gratis, terdiri dari empat tahun pendidikan dasar, empat tahun pendidikan sekolah menengah pertama, dan empat tahun sekolah menengah utama. Sejak kelas lima, siswa sudah dapat mendaftarkan diri di pelatihan keterampilan termasuk pendidikan keagamaan.

Pada tahun 2014-2015, terdapat sedikitnya 36.655 pelajar Suriah (atau 0,22 persen dari seluruh anak usia sekolah) terdaftar di sekolah-sekolah Turki. Angka ini jauh lebih tinggi daripada angka sebelumnya, yaitu hanya 7.875 anak.

Akan tetapi, angka ini hanya enam persen dari semua jumlah anak usia sekolah di kalangan Muhajirin Suriah – dan itu artinya sebagian besar anak Suriah yang secara teoritis memiliki akses terhadap sekolah umum Turki ternyata tidak bersekolah.

Sistem pendidikan di Turki sangat tersentralisasi, dan sekolah-sekolah tidak mendapatkan dana dari pemerintah yang dapat mereka kelola sendiri. Ini menyulitkan sekolah-sekolah untuk menciptakan program dan dana yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak Suriah. Sekolah-sekolah di kawasan tenggara Turki yang sudah sejak awal mengalami kesulitan sendiri, misalnya dalam hal besarnya jumlah murid dalam satu kelas serta perbandingan antara guru dan murid yang kurang ideal, menjadi kewalahan ketika kota-kota mereka dibanjiri Muhajirin Suriah.

Pusat Pendidikan Sementara

Pusat pendidikan sementara merupakan sekolah dasar dan menengah yang menawarkan kurikulum Suriah yang sudah dimodifikasi dalam bahasa Arab. Mereka beroperasi baik di dalam maupun di luar kamp. Kurikulum yang mereka gunakan sebagian besar adalah sama dengan kurikulum resmi yang digunakan di Suriah, namun dengan menghapuskan rujukan kepada pemerintah Suriah, termasuk Bashar al-Assad dan keluarganya, serta Ba’athisme.

Kementerian Pendidikan Sementara Pemerintah Suriah, yang berpusat di Turki, mengelola dan mendistribusikan kurikulum tersebut bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) Turki. Pada musim gugur 2014, Kemendiknas mulai mendaftarkan pusat pendidikan sementara non-kamp sehingga mereka dapat dimasukkan ke dalam kerangka pendidikan nasional. Pada bulan Juni 2015, Kemendiknas juga mengawasi untuk kali pertama, administrasi ujian sarjana muda Suriah (dikeluarkan setelah menyelesaikan SMA) yang akan diakui oleh universitas di Turki. Sekitar 8.000 siswa terdaftar untuk ujian.

Pusat pendidikan sementara tidak didistribusikan secara luas ke seluruh negeri, namun berada pada 19 dari 81 provinsi di Turki, terutama di kota-kota yang menampung warga Suriah terbesar. Selama tahun ajaran 2014-2015, ada 34 pusat pendidikan sementara di kamp-kamp dan di luar kamp. Pada tahun 2014-2015, jumlah pendaftaran sekolah dasar dan menengah di pusat pendidikan sementara adalah 74.097 di kamp-kamp dan 101.257 di luar kamp.

Sedangkan beberapa pusat pendidikan sementara telah dioperasikan oleh pemerintah daerah dan yang lainnya didirikan oleh asosiasi amal, serta donor perorangan. Banyaknya biaya kuliah mulai dari 440 TL ($158 USD) sampai 650 TL ($234) per tahun, dan biaya transportasi tambahan berkisar antara 60 TL ($22) sampai 120 TL ($43) per bulan, tidak terjangkau bagi banyak keluarga. Sekolah lain menghadapi kesulitan dalam membatasi jumlah siswa yang dapat mengakses atau mengurangi kualitas pendidikan mereka.

Layanan Pendidikan Non-Formal

Beberapa anak di luar sekolah menerima pendidikan non-formal dari masjid, pusat pendidikan sementara yang tidak terdaftar, atau organisasi non-pemerintah (LSM). Tidak ada data komprehensif mengenai jumlah anak yang dapat mengakses layanan ini di Turki. Menurut orangtua yang anaknya mengikuti pelajaran di masjid tersebut, program semacam itu seluruhnya ditujukan untuk studi Al-Qur’an dan seringkali gratis. Pusat pendidikan sementara non-formal yang tidak terdaftar di pemerintah Turki atau yang belum memenuhi standar peraturan Kemendiknas tidak menerima akreditasi dalam bentuk apapun, dan siswa tidak menerima sertifikat yang diakui pada saat telah menyelesaikan studinya. Pusat layanan LSM menawarkan kelas dalam bahasa Inggris, Arab, Turki, komputer, musik, dan mata pelajaran lainnya satu atau dua kali dalam seminggu.

Tiga keluarga yang diwawancarai untuk laporan ini mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar Al-Qur’an di masjid-masjid lokal sebagai pengganti pendidikan formal. Program ini tidak diatur oleh pemerintah Turki dan bukan pengganti yang memadai untuk sekolah terakreditasi.

Alaa, 11 tahun, telah menghadiri program semacam itu selama beberapa bulan pada saat ia diwawancara, dan dia mengatakan kepada Human Rights Watch: “Saya tidak terlalu senang belajar di sana. Mereka hanya mengajarkan kita untuk menghafal hadits (perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa sallam), itu saja. Aku pandai dalam hal ini, tapi itu sangat membosankan. Saya suka belajar bahasa Arab, tapi kita hanya mempelajari alfabet, cara membaca dan menulis. Saya merindukan mata pelajaran lainnya.” *(Sahabat Al-Aqsha)

 

INFAQ SURIAH:

Bank Syariah Mandiri

No. Rek 77 55 12345 7

an. Sahabat Al-Aqsha Yayasan

BNI SYARIAH

No. Rek 77 55 12345 6

an. Sahabat Al-Aqsha Yayasan (Suriah)

Naimah 10

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina - Laporan Khusus 2017 Februari - Suriah

« LAPORAN KHUSUS: Perjuangan Anak Muhajirin Suriah Menghafal Al-Qur’an
LAPORAN KHUSUS: Begini Turki Kelola ‘Amanah’… »