Ini yang Dilakukan Muhajirin Agar Bahasa Rohingya Tidak Punah

27 June 2023, 13:49.

Kamp di Faridabad ini terletak di dalam tempat pembuangan sampah dan sebagian besar laki-laki Rohingya di sini bekerja sebagai pemulung. Foto: Nidhi Suresh/DW

Ayesha Siddique, anak Rohingya berusia 11 tahun, bergegas masuk ke kelasnya. Dia mengambil sapu, menyapu lantai, dan meletakkan tikar plastik di depan papan putih kecil.

Ayesha lahir di kamp pengungsi Cox’s Bazar, Bangladesh, beberapa saat setelah keluarganya hijrah dari Myanmar. Keluarga Siddique menghabiskan beberapa tahun di kamp pengungsi itu, kemudian pindah ke India pada 2019.

Gadis muda itu kini masih tinggal di kamp pengungsi. Lokasinya di tempat pembuangan sampah di Faridabad, pinggiran ibu kota India, Delhi. Sehari-hari sebagian besar Muhajirin menjadi pemulung.

“Kakek-nenek saya sering menggambarkan Burma sebagai tanah yang indah dengan pegunungan,” kata Siddique, mengacu pada negara yang sekarang dikenal sebagai Myanmar. “Mereka juga bercerita tentang pepohonan di belakang rumah kami. Suatu hari, saya ingin menulis lagu tentang ini dalam bahasa saya sendiri.”

India saat ini menampung sekitar 40.000 Muslim Rohingya yang lolos dari persekusi di Myanmar. Hampir 50% dari mereka telah terdaftar di Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).

Martabat

Maulvi Mohammad Ismail, seorang pencari suaka Rohingya, berusaha mengajari anak-anak seperti Siddique cara membaca dan menulis dalam bahasa ibu mereka. Ia dan keluarganya menyiapkan sebuah ruang kelas kecil yang terbuat dari dinding anyaman bambu dan atap kardus. Ada sekitar 30 anak antara usia 5 dan 15 tahun yang belajar.

Pada tahun 2013, keluarga Ismail juga menjadi penghuni kamp pengungsi Cox’s Bazar. Lima tahun kemudian, dia dan keluarganya pergi ke India, menetap di kamp Faridabad bersama 50 keluarga Rohingya lainnya.

Orang-orang di kamp pengungsi itu berbicara satu sama lain dalam bahasa Rohingya. Mereka juga fasih berbahasa Bengali dan Hindi. Namun, kebanyakan tidak mengetahui cara membaca atau menulis naskah Rohingya.

“Ketika kami melarikan diri dari Burma, kami tidak membawa apa-apa selain pakaian. Satu-satunya barang yang kami bawa dari rumah adalah kenangan dan bahasa kami. Penting bagi kami untuk mempelajari dan mengajarkan ini kepada anak-anak kami,” kata Ismail.

Sabber Kyaw Min, pendiri dan Direktur the Rohingya Human Rights Initiative (ROHRingya) di India, menjelaskan mengapa sangat penting bagi anak-anak untuk mempelajari bahasa tersebut.

“Kami sebagai komunitas tidak memiliki banyak dokumentasi. Anak-anak kami harus belajar menulis bahasa dan cerita kami, yang akan menjadi sejarah kami. Cerita-cerita ini harus diterjemahkan dan dibaca. Ada martabat dalam hal ini,” katanya kepada Deutsche Welle.

“Melalui cerita-cerita ini, semoga kami bisa menuntut keadilan suatu hari nanti,” imbuhnya.

Reefa Akhtar (10 tahun) dan Abdul Shukur (12) adalah dua anak yang belajar bahasa Rohingya di kelas Ismail. Saat ditanya apakah ingin pulang, kedua kakak beradik itu langsung menjawab, “Ya.”

Akhtar dengan cepat menambahkan, “Tetapi, saya juga tidak ingin kembali ke tempat yang membuat ayah sedih.”

Penghapusan Sistematis

Bahasa Rohingya terus menjadi tradisi lisan sampai tahun 1980-an. Akhirnya, ada Mohammad Hanif, seorang sarjana Islam, yang mengembangkan naskah berdasarkan huruf Arab dan satu set angka desimal.

Rohingya adalah bahasa Indo-Arya timur. Di Myanmar, bahasa ini dituturkan tidak hanya oleh komunitas Rohingya, tetapi juga oleh kelompok Hindu dan Buddha tertentu.

Skrip bahasa Rohingya akhirnya bisa ditulis pada akhir 1980-an. Namun, karena tindakan keras militer dan penutupan internet, sebagian besar penduduk tidak dapat mengaksesnya.

“Apa yang terjadi dalam setiap genosida adalah penghapusan identitas budaya secara sistematis,” kata Shehzar Doja, pendiri dan penyunting Luxembourg Review. Dia juga salah satu editor buku I am Rohingya: Poetry from the camps and beyond.

Penghapusan budaya Rohingya dimulai pada tahun 1964. Diktator militer Myanmar saat itu, U Ne Win, mengeluarkan bahasa Rohingya dari Burmese Broadcasting Service (BBS).

Pada tahun 1982, pemerintah militer memberlakukan Undang-Undang Kewarganegaraan, yang mengecualikan Rohingya dari daftar kelompok etnis yang diakui negara.

Sejak tahun 1989 dan seterusnya, junta militer melakukan misi menghapus jejak sejarah budaya Rohingya. Praktik tradisi komunitas dan populasi Rohingya diusir dengan kejam dari kampung halamannya.

Pada tahun 2017, Myanmar melancarkan tindakan keras militer yang disebut banyak orang sebagai genosida terhadap Muslim Rohingya. Hal ini menyebabkan eksodus massal. Lebih dari 1 juta orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dan negara lain.

Bahasa di Pengasingan

Mayyu Ali, saat ini tinggal di Kanada. Ia seorang penyair Rohingya dan penulis buku Exodus: Between Genocide and Me.

Ali sendiri mempelajari bahasa Rohingya pada tahun 2013 saat bekerja di sebuah pusat penelitian di Myanmar yang memiliki akses internet.

“Sebagai seorang penyair, sangat penting bagi saya untuk menceritakan kisah saya sendiri dalam bahasa saya sendiri. Ini adalah salah satu hal yang paling berkesan bagi saya,” katanya kepada Deutsche Welle.

Ali juga termasuk di antara ribuan warga Rohingya yang hijrah ke Bangladesh. Saat tinggal di kamp Cox’s Bazar, dia membuat situs web the Art Garden Rohingya, yang mewadahi ratusan penulis, penyair, dan seniman Rohingya.

Platform yang diluncurkan pada 2019 ini juga mendokumentasikan dan melestarikan cerita rakyat Rohingya kuno, peribahasa, dan teka-teki. Dokumentasi ini diterbitkan dalam bahasa Rohingya, Burma, dan Inggris.

Ada faktor yang mempercepat hilangnya bahasa Rohingya, kata Ali. Yakni, sebagian besar warga fokus pada asimilasi cepat ke negara tuan rumah.

“Ketika saya berada di Cox’s Bazar, saya melihat teman-teman mencoba beradaptasi dengan budaya Bangladesh dan berbicara seperti penduduk setempat secepat mungkin,” katanya. (Nidhi Suresh/Deutsche Welle)

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« Ironi Negara-negara Arab: Kunjungi Turkistan Timur, Sebut Masyarakat Harmonis dan Makmur 
Organisasi HAM Desak Pembentukan Lembaga Baru PBB, Usut Penghilangan Paksa Lebih dari 100.000 Warga Suriah  »