Perang Gaza dari Sudut Pandang Anak Berusia 12 Tahun: ‘Seorang Gadis Muda Terbunuh di Depan Kami’

6 December 2023, 20:49.

Kesedihan anak-anak saat pemakaman keluarga Faojo, yang syahid dalam pengeboman ‘Israel’ di Rafah, Jalur Gaza selatan, pada 11 November 2023. Foto: AFP

Oleh Hala Alsafadi*

Sejak Farah pertama kali membuka matanya, dia tinggal di penjara terbuka terbesar di dunia.

Saya tidak percaya dia baru berusia 12 tahun. Setelah mengalami tiga serangan ‘Israel’ sebelumnya di Gaza, dia tahu lebih banyak tentang perang daripada perdamaian.

Farah mengikuti perkembangan berita, mengetahui nama-nama politisi Palestina dan ‘Israel’, serta mempelajari Konvensi Jenewa Keempat dan hukum perang. Adegan yang dia gambarkan seharusnya membuat setiap anak ketakutan dan sedih, tetapi tidak lagi bagi Farah.

Saat ini, dia tampak tidak peduli dengan kengerian yang sedang terjadi. Bagi banyak anak di Gaza, pemandangan seperti itu sudah menjadi hal yang sangat normal.

Berikut kisah Farah mengenai perang yang terjadi saat ini, mulai dari pengeboman rumahnya hingga keputusan keluarganya mengungsi ke Gaza selatan.

Rumah kami dibom. Aku tidak ingat tanggal pastinya. Aku tidak tahu lagi hari apa sekarang;  yang aku tahu adalah kami telah berperang selama sekitar dua bulan sekarang. 

Kami tinggal di dekat Rumah Sakit al-Quds di wilayah Tel al-Hawa di Gaza. Ayahku memutuskan bahwa kami semua akan pergi ke rumah sakit karena berpikir itu akan aman. Awalnya kami tidak bisa pergi ke selatan karena ayahku tidak bisa menemukan tempat untuk kami tinggal–tetapi sejujurnya, kami terlalu takut setelah melihat video orang-orang yang dibunuh oleh ‘Israel’ saat mereka mengungsi. Beberapa orang yang kami kenal dari utara telah syahid di selatan.

Tinggal di rumah sakit pada masa perang adalah pengalaman yang mengerikan. Rasanya seperti aku sedang menunggu kematian. Semua orang di rumah sakit ketakutan.

Bersama kakak perempuanku, yang berusia 16 tahun, aku tidur di lorong lantai atas bersama perempuan-perempuan lain, sedangkan ayah dan saudara laki-lakiku tinggal di lantai dasar bersama para laki-laki. Malam hari adalah saat yang paling menakutkan: ‘Israel’ sering melakukan pengeboman pada malam hari, dan karena suasananya sangat sepi, bomnya terasa sangat keras dan dekat. 

Menyaksikan seseorang terbunuh

Orang tuaku sudah bercerai. Aku bersama ayahku ketika perang dimulai; rumah ibuku juga dibom, tetapi dia harus mengungsi ke rumah seorang teman di daerah lain. Setiap malam, aku berharap bisa bersama ayah dan saudara laki-lakiku, tetapi kami tidak bisa bolak-balik di antara lantai rumah sakit.

Aku tidak tahu apakah aku akan bertemu ibuku lagi. Terakhir kali aku melihatnya, aku tidak mengucapkan selamat tinggal dengan pantas. Aku masih ingin berpelukan dengan ibuku, tetapi aku juga mengkhawatirkannya. Bagaimana jika dia syahid sebelum aku? Kita tidak tahu siapa yang lebih aman. Aku kehilangan kontak dengan ibuku sekali selama tiga hari karena sinyal telepon di rumah sakit terlalu lemah.

Serdadu ‘Israel’ terus menelepon rumah sakit, mendesak kami untuk mengungsi. Para dokter sangat kuat. Mereka mengatakan tidak akan meninggalkan orang-orang yang terluka.

Tel al-Hawa terus-menerus dibombardir dengan brutal. Aku tidak tahu bangunan apa yang mereka bom, tetapi aku bisa mendengar semuanya. Aku tidak dapat membayangkan masih ada yang tersisa untuk dibom, namun tetap saja, mereka menjatuhkan bom.

Suatu malam, tank-tank ‘Israel’ mulai mengepung rumah sakit, dan kami tidak dapat tidur–bahkan sedetik pun. Kami bisa mendengar tank-tank bergerak. Seorang gadis muda melihat ke luar jendela dan dengan cepat ditembak oleh penembak jitu ‘Israel’. Dia terbunuh di depan kami.

Ini pertama kalinya aku melihat seseorang terbunuh di depanku. Ibunya menangis sepanjang malam. Tidak ada yang berani mendekati jendela setelah itu. Aku menangis sangat lama malam itu.

‘Israel’ ingin kami mengungsi dari rumah sakit, namun tidak memberikan perinciannya. Kami tidak tahu cara untuk keluar. Serdadu penjajah menembaki apa pun yang bergerak. Para dokter memberi tahu kami bahwa Palang Merah telah berkoordinasi dengan ‘Israel’, dan mereka menunggu “sinyal” dari ‘Israel’ bahwa kami dapat pergi dengan aman.

Menunggu sinyal itu sangat menyiksa, tetapi itu memberiku harapan. Berjam-jam berlalu; saat matahari terbit, kami masih berada di lorong rumah sakit yang gelap dan sempit. Lalu, sebelum pukul 9 pagi, kami mendapat sinyal.

Nakba lagi

Di sekolah, kami mempelajari segala hal tentang Nakba Palestina pada tahun 1948. Kami menonton film tentang bagaimana warga Palestina diusir dan dibunuh. Kami mengetahui tentang pembantaian yang terjadi di desa-desa. Aku merasa bahwa aku sekarang berada di film yang sama.

Sedih sekali rasanya suatu saat nanti, kisah kami akan diajarkan di kelas sejarah. Akankah aku menjadi seperti nenek-nenek ini, yang memberi tahu cucu-cucuku tentang bagaimana kami harus meninggalkan kota kami karena mereka akan membunuh kami?

Kami akhirnya diizinkan keluar dari rumah sakit. Aku menelepon ibuku untuk memberi tahu dia bahwa kami sedang dalam perjalanan ke selatan, berharap aku bisa melihatnya di sana. Aku mengatakan kepadanya bahwa ada mayat di depanku di tangga rumah sakit. Sambil menangis, dia memintaku untuk tidak melihat. Namun, aku terus melihat sepanjang waktu saat aku berjalan pergi.

Bersama ratusan orang lainnya yang mengungsi pagi itu, kami mengambil Jalan Salahuddin, sesuai perintah serdadu ‘Israel’.

Kami berjalan cukup lama, dari sekitar pukul 9 pagi hingga pukul 2 siang. Aku merasa jantungku akan berhenti berdetak kapan saja. Terkadang aku memejamkan mata saat berjalan; aku tidak ingin ini nyata. Namun, aku juga ingin tetap membuka mata. Bagaimana jika serdadu ‘Israel’ menembak ayah atau saudaraku?

Di daerah-daerah tertentu, di mana serdadu atau tank ‘Israel’ berkumpul, kami tidak diperbolehkan melihat-lihat. Kami harus berjalan dengan tangan terangkat, orang dewasa memegang kartu identitas mereka di satu tangan. Kami tidak diperbolehkan mengeluarkan botol air dari tas kami, atau meminum seteguk air pun. Menggerakkan tangan atau meraih apa pun berarti kami berisiko ditembak. Aku tidak merasa lapar sama sekali, tetapi aku sangat haus. 

Checkpoint dan mayat bergelimpangan di jalan

Di suatu titik dalam perjalanan kami, serdadu ‘Israel’ menahan dua pemuda. Mereka tampak memilih secara acak, dan meminta mereka di bawah todongan senjata untuk melepas semua pakaian mereka, kecuali pakaian dalam. Mereka membiarkan satu orang kembali kepada kami dan menangkap yang lainnya. Kami tidak tahu apa yang terjadi kepadanya. Keluarganya menangis sepanjang perjalanan. Aku takut serdadu ‘Israel’ akan menangkap ayah atau saudara laki-lakiku.

‘Israel’ juga memasang pos pemeriksaan (checkpoint) keamanan, memerintahkan kami melewati detektor yang menggunakan teknologi pemindaian wajah. Aku takut salah satu dari kami akan ditembak karena dua serdadu ‘Israel’ mencoba memprovokasi kami dengan berteriak: “Terima kasih kepada kami dan terima kasih kepada Hamas atas hal ini.” Namun, orang-orang terus mengatakan kepada satu sama lain untuk mengabaikan apa yang serdadu katakan.

Semakin jauh kami berjalan, semakin banyak mayat yang kami lihat di tanah. Aku melihat seorang wanita berbaring di samping seorang anak kecil. Beberapa jenazah ditutupi selimut.  Ada juga mobil hangus dengan mayat terbakar di dalamnya.

Begitu kami menginjakkan kaki di selatan Wadi Gaza, puluhan warga Palestina sudah menunggu kami dan memberi tahu kami bahwa kami sudah aman sekarang. Mereka memberiku jus stroberi kecil dan kue cokelat. Aku duduk di tanah dan tidak bisa bergerak untuk beberapa saat. Aku memeluk ayahku erat-erat dan mulai menangis.

Ayahku bilang aku harus kuat. (Middle East Eye)

*Hala Alsafadi adalah wartawan Palestina yang bekerja dengan saluran internasional di Gaza. Dia koresponden selama perang ‘Israel’ di Gaza tahun 2012 dan 2014.

Update Kabar Al-Aqsha dan Palestina via Twitter @sahabatalaqsha
Berikan Infaq terbaik Anda. Klik di sini.


Posting ini berada dalam kategori : Kabar Al-Aqsha & Palestina

« ‘Israel’ Mengecap LSM Organisasi Teroris karena Laporkan Serdadu Penjajah Perkosa Anak Palestina
Penjajah Zionis Tembak Mati Dua Remaja, Tiga Terluka di Tubas »